Asalkan Allah Tidak Murka

7 mins read

Sudah hari kelimabelas di Tha’if, namun Rasulullah shallallahu álayhi wassalam (Saw.) dan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ánhu (ra.) belum menemukan tanda-tanda menggembirakan dari usaha da’wahnya menyebarkan Islam dan meminta perlindungan. Mereka telah masuk ke lorong-lorong pasar Ukazh, telah menghampiri banyak orang di tepian jalan, dan telah menawarkan Islam ke pintu-pintu rumah dengan damai. Namun, mereka tetap tertolak. “Jika kalian menolak, biarkan aku pergi,” kata Rasulullah di ujung usahanya hari itu.

Namun, penduduk Tha’if tidak begitu saja membiarkan kepergiannya. Mereka memanggil banyak orang, membentuk dua barisan rapat manusia yang telah mengenggam batu untuk siap dilemparkan.  “Demi Allah, kau tidak akan bisa keluar sampai kau dilempari dengan batu,” teriak mereka. “Agar kau tidak akan pernah kembali lagi ke sini, selamanya!”

Dua kubu tak seimbang itu saling berhadapan. Sekali batu terlempar ke arah Rasulullah Saw. dan Zaid, puluhan batu ikut meluncur. Muhammad Saw. berlari dan mencari tempat sembunyi, tetapi batu-batu itu meluncur lebih cepat menuju tubuh dan kakinya. Ia kalah cekatan. Sandalnya basah, merah, dan bersimbah darah. Semua orang berteriak, bersorak-sorai, dan memakinya.

Berlari terus ia menjauh, hingga sampailah ia di sebuah kebun milik ‘Utba dan Syaiba –anak-anak Rabi’a. Penduduk Tha’if sepertinya telah puas, tak dikejarnya lagi Muhammad Saw. Rabi’a dan keluarganya menatap Muhammad Saw. dengan tatapan duka. Siapa yang tega melihat lelaki utama dilempari, diusir, dicacimaki, dan dibuat terluka berdarah?

Kecewakah Muhammad Saw.? Tidak. Sama sekali tidak. Bahkan, kita layak malu kepada diri kita sendiri jika menyimak lagi do’anya di kebun itu. “Allahumma, Ya Allah. KepadaMu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, serta kehinaan diriku di hadapan manusia,” begitu mula do’anya. Tidak ada kecaman, meski tubuh dan batin terluka. Tidak ada kebencian, meski kehormatannya dihina. Tidak ada dendam, meski makian bertubui-tubi diterimanya. Ia mengajarkan kita tentang mula-mula do’a yang rendah hati. Ia tak menjadi sombong, merasa benar, dan tinggi. Meski ia mampu meminta apapun kepada Allah karena kedekatannya denganNya, ia memilih tetap menjadi rendah. “Kepada siapa hendak Kau serahkan aku? Kepada orang yang jauh kah; yang berwajah muram kepadaku? Ataukah, kepada musuh yang akan menguasai diriku?

Air matanya meleleh. Bukan karena lemah, tapi justru karena ia telah ridha sepenuhnya. Apapun saja yang Allah ingin terjadi kepadanya, ia rela. “Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli! Sebab sungguh luas kenikmatan yang telah Engkau limpahkan kepadaku.”

Siapa yang merasa dirinya lebih mulia daripada Muhammad Saw? Siapa yang merasa dirinya lebih dekat kepada Allah daripada Muhammad Saw? Siapa yang merasa dirinya lebih terpercaya, lebih didengar perkataaannya oleh banyak orang, lebih teduh ucapannya, lebih jernih dan bersih tindakan dan komentarnya, ketimbang Muhammad Saw?

Namun, kita meminta-minta surga sambil merasa sebal dengan takdir-takdir yang Allah putuskan terhadap kita. Kita manyun saat rencana dan strategi tidak berjalan lancar. Kita mengeluh ketika keuntungan tak sebesar yang dibayangkan. Kita melemah ketika kegagalan demi kegagalan menghadang di depan. Bahkan, kita memprotes Allah, mengapa keadaan kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan, tidak ada kemenangan, dan tidak ada kemajuan-kemajuan yang didambakan. Namun, kita masih juga meminta-minta surga di timbunan keluh kesah kita.

Barangkali kita harus menyusun ulang keping-keping keinginan kita terhadap Allah. Kita layak berintrospeksi diri, menghitung sebanyak apa nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, dan seberapa sering pula kita terhijab untuk mensyukurinya. Kita lebih suka mengeluhkan yang tak tercapai, namun mengabaikan yang pernah kita terima. Kita lebih menyenangi tuntutan ketimbang perasaan syukur dari setiap detik yang Allah anugerahkan kepada kita.

Merasa tinggikah kita setelah malam-malam panjang kita lewatkan di masjid dan di atas hamparan sajadah? Merasa hebatkan kita setelah lembar-lembar mushaf kita habiskan dalam sekejapan malam? Merasa semakin dekatkah kita dengan Allah –dan dengannya merasa pantas masuk surgaNya, “Ya Allah, masukkan aku ke surgaMu”? Yang paling tinggi, jika perlu. Yang paling dekat dengan RasulMu, jika berkenan.

Namun, ridha kita terlepas dari takdir yang telah ditetapkanNya. Kita masih membenci makanan yang tak sesuai selera. Kita masih mencela pakaian yang tak sesuai pesanan. Kita masih mengadukan hal-hal sepele sambil berkata, “Ya Allah, mengapa Engkau timpakan ini kepadaku, kepada kami?”

Siapakah yang mendapati dirinya berada di tengah kerumunan yang lebih buruk ketimbang Muhammad Saw. –di Mekkah dan di Tha’if? Siapakah yang merasa dirinya lebih terasing dari komunitasnya daripada Muhammad Saw.? Siapakah yang merasa pemimpin kaumnya lebih zalim dan lebih aniaya ketimbang Muhammad Saw.?

Namun, sempatkah do’a-do’a terlepas ke langit untuk mengatakan, “Mereka kaum yang tak paham, maka ampunilah mereka.” Kita merasa lebih pantas untuk membela diri dan mencela balik. Kita merasa lebih berhak untuk mendo’akan keburukan yang lebih besar.

Padahal, Muhammad Saw. terduduk di kebun ‘Utba. Ia menghamparkan hatinya yang jernih itu di hadapan Allah. Bukan surga dan kemenangan yang ia inginkan. Bukan derajat dan kehormatan yang ia pintakan. Bukan dednam dan pembalasan yang ia tujukan.

Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli! Sebab sungguh luas kenikmatan yang telah Engkau limpahkan kepadaku.”

Permintaan-permintaan kita menjulang tinggi. Standar harapan kita diset terlampau pesat. Padahal, barangkali, kita kerap lupa untuk merelakan diri dihanyut takdir Allah ke mana saja Dia Inginkan. Kita lupa untuk menyadarkan diri kita sendiri bahwa hakikat hidup ini sederhana: Asalkan Allah Tidak Murka. Setelah itu, Cinta akan menjelang. Cinta akan Datang tanpa perlu kita undang.

Rotterdam, 27 Ramadhan 1439

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.youtube.com/watch?v=_dhy2l0X8rY

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan