Tulisan ketiga dari rangkaian “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.
Pada kondisi ini, seringkali muncul dua pertanyaan utama: (1) bolehkah saya belajar agama lewat internet dan (2) bagaimana memilih ustadz dan kajian yang tepat di tengah banyaknya pilihan kajian?
Belajar agama lewat gadget
Tidak ada jawaban tunggal untuk kedua pertanyaan ini karena harus disesuaikan dengan konteks dan situasi masing-masing pribadi. Jika dilarang, bisa jadi menghalangi orang untuk tersiram hikmah dan hidayah. Jika diperbolehkan, sejauh mana batasan yang lazim?
Ada satu syair terkenal yang mengemuka belakangan ini.
ومن يأخذ العلم من شيخ مشافهة # يكن عن الزيغ والتصحيف فى حرم
ومن يكن أخذا للعلم من صحف # فعلمـــه عند أهــــــــل العلم كالعدم
“Siapa saja yang mengambil ilmu dari seorang guru dengan musyafahah (atau berhadapan dan bertatap muka langsung), niscaya ia terpelihara dari ketergelinciran dan kekeliruan. Dan siap saja yang mengambil ilmu dari suhuf (buku-buku), maka pengetahuannya dalam kaca mata para ahli ilmu adalah nihil belaka.”
Artinya, by default, yang utama, pengajaran ilmu secara tertib membutuhkan guru dan rujukan langsung sehingga kekeliruan dapat diluruskan dan kesalahan dapat dibenahi. Yang belajar hanya dari membaca, apalagi menonton video, tentu akan menghadapi banyak keterbatasan.
Tetapi, siapa yang tak kenal kepada Syaikh Nashiruddin al Albani – ulama terkemuka yang sering dijadikan rujukan keagamaan belakangan ini? Ia mengambil jalur berbeda ketimbang orang lain yang belajar agama secara tertib pada masanya. Alih-alih belajar melalui metode dirasah, ia justru belajar secara otodidak dengan membaca buku di perpustakaannya sendiri di Damaskus. Tapi, dari upaya belajar otodidaknya, ia berhasil menyusun 117 buku dan dikukuhkan sebagai guru besar hadits di Universitas Madinah.
Sayangnya, tak semua orang dapat meniru Syaikh al Albani dalam keseriusan, ketahanan, dan pengorbanan belajarnya sendirian. Jauh dari beliau, pembelajaran agama sendirian masyarakat modern justru seringkali dimulai dari kekurangtahanan dan keinginan mengambil jalan pintas yang mudah – tetap belajar di tengah padatnya semesta dunia. Struktur pembelajarannya pun tak rapi, tak tertib. Bukan berarti tidak boleh, tetapi harus berhati-hati.
Sikap kehati-hatian itu harus dimulai dengan meluruskan niat bahwa pembelajaran melalui video atau internet adalah bagian dari upaya memperbaiki diri. Pada banyak situasi, orang belum siap untuk menerima pengajaran yang mendalam, duduk lama di tengah majelis ilmu, dan mengupas buku atau kitab secara runut bab-per-bab. Dan, tidak ada yang dapat memaksakan hal tersebut. Maka, ketika ada yang ‘baru mampu’ belajar lewat internet, lakukanlah dengan niat memperbaiki diri.
Niat memperbaiki diri merupakan pondasi utama dalam sebuah pembelajaran. Dengan begitu, seseorang menyiapkan diri untuk menampung ilmu dan mempraktikkannya – bukan untuk berbantah-bantahan. Seringkali, penuntut ilmu level pemula lebih banyak disetir oleh kegairahannnya sendiri setelah mendapatkan ‘ilmu baru’. Dengan pengetahuannya itu, seseorang merasa dirinya lebih tahu dari orang yang selama ini mempraktikkan hal yang berbeda dengan dirinya sekarang.
Kegairahan menuntut ilmu sesungguhnya penting untuk mendorong diri lebih banyak meraup ilmu. Tetapi, jika tidak dikendalikan dengan baik, kegairahan itu menjadi petaka bagi diri sendiri. Bukannya berubah menjadi ‘alim, penuntut ilmu level pemula sering terjebak pada kesombongan. Akibatnya, kerap mempersalahkan orang yang berbeda dan merasa diri dan kelompoknya lebih baik daripada kelompok yang lain. Ketika mengunggah video, caption-nya disusun dalam kalimat yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Ketika menulis artikel, seruannya galak dan kering kasih sayang kepada pendapat lain yang berbeda. Ketika menyebarkan gambar, tulisannya bernada sindiran dan menutup celah ruang perbedaan.
Jika seseorang mampu mengendalikan kegairahannya dengan baik, ia akan menyelami ilmu dengan bijaksana – melihat bahwa ada begitu banyak perbedaan pada persoalan agama. Tidak hanya satu pandangan yang menyebabkan fanatisme yang membutakan.
Mungkinkah seorang awam mencapai tingkat kebijaksaan seperti ini dalam mencari ilmu? Sangat mungkin. Seseorang tidak perlu menjadi spesialis pembelajar fiqih perbandingan untuk dapat arif melihat perbedaan. Ia hanya perlu mencari pendapat yang diyakini sambil tetap membuka ruang bagi kemungkinan-kemungkinan perbedaan pendapat yang diambil oleh orang atau kelompok lain.
Pada level berikutnya, ada mereka yang menuntut ilmu secara cermat dan teliti, membuka kitab secara runut, mengambil ilmu dari sumbernya langsung secara berhadap-hadapan. Mereka bukan sekadar membaca apa yang dapat dibaca, tetapi menempuh jalur sanad keilmuan yang kuat dan mengakar. Tentu, tidak banyak yang dapat menempuh tingkatan ini. Mereka yang mampu mencermati ilmu dan menghayati ragam perbedaan pendapat dengan alasan ilmiahnya masing-masing inilah yang dapat secara aman didaku sebagai ustadz rujukan keagamaan.
—Bersambung—
Tulisan sebelumnya:
Jangan Tanya Ustadz Youtube (1)
Jangan Tanya Ustadz Youtube (2)
Tulisan berikutnya:
Bagaimana Memilih Kajian Agama
Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz
Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama
Jangan Tanya Ustadz YouTube (9-selesai)