///

Jangan Tanya Ustadz YouTube (9-selesai)

7 mins read
8

Di sinilah rumitnya ber-da’wah dan mengajar. Tidak hanya butuh wawasan yang dalam dan luas, tetapi juiga kearifan. Maka, ada beberapa prinsip mengajar dan da’wah yang lahir dari perjumpaan-perjumapan saya dengan banyak orang di tengah lesatnya laju informasi dan da’wah ini.

  1. Minimalisir pembicaraan tentang hukum dalam forum besar serupa tabligh akbar atau pengajian umum.

Dalam forum besar seperti itu, kita tak pernah mengerti sepenuhnya karakteristik orang yang datang – sebaik apa pemahamannya dan seberagam apa konteks yang dibawa dalam pikiran orang masing-masing. Lebih baik mengambil tema yang umum, seperti bagaimana menumbuhkan semangat ber-Islam, memperbaiki akhlak, menguatkan persatuan, dan tema-tema sejenis yang kemanfaatannya dapat diterima secara umum. Seberapapun homogennya jamaah dalam forum besar semacam itu, lesatnya laju zaman memungkinkan amplifikasi pembicaraan kita keluar lewat video yang disebar melalui berbagai platform. Sang ustadz boleh saja tak berniat merekam pidatonya, tetapi siapa yang mampu menahan tangan jamaah yang di sakunya selalu ada telepon genggam yang siap merekam – menggantikan catatan-catatan pembelajaran yang dulu ditulis dalam buku dan catatan pinggir di sela-sela tulisan arab gundul. Kearifan inilah yang perlu dipahami oleh para mubaligh zaman now.

Jamaah pun harus arif pula. Sedikit demi sedikit harus memahami mana pertanyaan yang tepat disodorkan dan mana pertanyaan yang selaiknya diungkapkan secara personal. Tak perlu pula mengajukan pertanyaan yang menjebak ustadz untuk saling bersilang pendapat dengan ustadz lain jika tidak ada urgensi di dalamnya. Jika ada video yang saling membenturkan pendapat, segera tutup demi terjaganya hati dari segala potensi keburukan yang mungkin menjauhkan diri dari Allah.

 

2. Menjawab persoalan hukum perlu kearifan dan kehati-hatian

Terutama pada sesi tanya jawab yang seringkali dipicu oleh pertanyaan singkat melalui sodoran kertas, seringkali tak ada konteks yang jelas dan tidak terpampang pula mimik si penanya. Bukan tidak boleh menjawab persoalan hukum semacam itu karena orang seringkali dahaga atas keringnya ilmu dan fatwa. Tetapi, dalam menjawabnya, terutama pada permasalahan yang membuka kran perbedaan pendapat, perlu dijawab dengan memaparkan semua pendapat dan argumen ulama di dalamnya. Jika tak tahu jawabannya, tawaquf atau berdiam diri adalah opsi yang lebih baik.

Suatu saat, Abdullah Umar ra. ditunjuk sebagai qadhi dalam pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Ia didatangi oleh seorang yang bertanya tentang hukum yang Ibnu Umar tak tahu jawabannya. Apa jawabannya? “Aku tak tahu.” Setelah si penanya keluar, Ibnu Umar mengusap kedua tangannya dengan gembira sambil berkata, “Ibnu Umar didatangi seseorang yang bertanya tentang hukum sesuatu lalu ia menjawab ‘tidak tahu’.” Betapa pengakuan ketidaktahuan adalah bagian dari ilmu.

Begitupun banyak cerita tentang hal serupa, salah satunya tentang KH Syafii Hadzami – ulama terkemuka Betawi yang Namanya kini dijadikan pula nama jalan di sekitaran Gandaria, Jakarta Selatan. Jika ia ditanya perihal hukum dan belum yakin dengan jawabannya, maka ia menunda jawabannya hingga pekan depan waktu pengajiannya. Pekan depannya, ia datang dengan jawaban dari beberapa pendapat ulama, lalu ia nyatakan pendapat mana yang jadi pilihan sikapnya.

 

3. Jangan menutup ruang perbedaan

Jawaban ustadz tentang satu hukum di video atau diskusi pengajian tetaplah sebuah ilmu. Jamaah pun harus arif dalam menerima ilmu tersebut dan memahami bahwa persoalan hukum selalu memiliki ruang bagi perbedaan. Jika ada satu pendapat dan merasa sreg dengan pendapat tersebut, ambillah tanpa menutup ruang bagi munculnya pendapat lain yang berbeda. Jika ada pendapat yang berbeda, jangan terlalu cepat mempersalahkan.

Begitupun dengan para ustadz. Bagaimana pun nyatanya perbedaan tersebut, tidak elok bila masing-masing saling menyindir pendapat yang berbeda. Justru, betapa indahnya jika ustadz itu mengatakan, misalnya, “Ulama Syafiiyah berpendapat A dan menyatakannya sebagai sunnah, sedangkan ulama Hanabilah berpendapat B dan menyatakannya bukan sebagai keafdhalan atau sunnah.” Dalam berbagai kitab pun, para ulama terdahulu mengungkapkan pendapat yang mereka anut, namun memberi ruang dengan mengatakan bahwa ulama mazhab lain mengambil pendapat yang berbeda -seberapapun kecilnya dan pendeknya keterangan tersebut.

 

4. Di atas santai, di bawah pun harus santai

Satu hal yang sering saya temukan adalah para ustadz sebenarnya bisa memahami ada perbedaan pendapat hukum dan menanggapinya dengan santai sebagai bagian dari variasi khazanah keilmuan meski sebagian juga masih nampak tak santai. Tetapi, di bawah, jamaah sering bertengkar satu sama lain. Pada zaman dahulu, ‘pertengkaran’ itu muncul di warung kopi dan masjid atau mushalla. Di masa sekarang, ‘pertengkaran’ itu muncul di internet dengan video yang dibumbui komentar, caption, atau subtitle yang saling menyerang satu sama lain. Betapa indahnya jika kesantaian itu tersebar merata: yang di atas santai, di bawah pun harus santai. Untuk sampai ke titik itu, harus ada kelegawaan dan strategi da’wah yang tepat.

 

Jadi, bolehkah bertanya kepada Ustadz YouTube?

Pada banyak hal yang membuat dekat kepada Allah, menyemangati belajar agama, dan melapangkan dada atas saudara seagama, belajarlah dari mana saja. Ambil yang baik dan jadikan itu bagian dari anak tangga menuju Allah. Jika ustadz YouTube mulai berkata kasar, menjelek-jelekkan yang lain, dan berkeras pada pendapatnya meski terbuka ruang bagi perbedaan pendapat, maka sisihkanlah, tinggalkanlah segala yang membuat hati rusak dan mengeras, menjadi diri yang merasa paling benar. Jika ada kebaikan darinya, ambil. Jika nampak keburukan padanya, tinggalkan dan tutup aib-aibnya jika tidak mampu memberikannya nasihat untuk melakukan perbaikan.

—Selesai—

 

Tulisan sebelumnya:

Jangan Tanya Ustadz YouTube (1)

Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)

Belajar Agama Lewat Gadget

Bagaimana Memilih Kajian Agama

Tingkatan Ijtihad

Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz

Teks dan Konteks

Arif Menyikapi Perbedaan

Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan