///

Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz

7 mins read
9

Tulisan kelima dari rangkaian tulisan “Jangan Tanya Ustadz YouTube”.

Pada banyak kesempatan kajian yang ada, ada beban yang mengintip dari lubang tak kasat mata. Begitu banyaknya pilihan kajian menimbulkan dua persoalan mendasar bagi masyarakat awam: kebingungan dan perseteruan. Terkadang kedua persoalan mendasar itu muncul dari kajian yang dibawakan. Tetapi, umumnya, beban tak kasat mata muncul dari sesi tanya jawab yang disediakan para ustadz dan panitia.

Jebakan tak kasat mata

Sesi tanya jawab di zaman sekarang telah banyak mengalami perubahan. Dalam konsep konservatif, bahkan di siaran langsung televisi, pertanyaan diajukan langsung oleh penanya. Muka si penanya tampak jelas, mimiknya terlihat, bahkan tuturannya dapat begitu panjang dengan tambahan latar belakang mengapa pertanyaan itu muncul dan harus diajukan. Pada majelis-majelis ilmu yang rutin diselenggarakan dengan kajian kitab yang tetap, konsep itu lebih matang. Ustadz dan jamaahnya sudah saling mengenal satu sama lain.

Tetapi dalam konsep zaman lesat – yang dengannya semua hal juga harus dibuat lebih padat, cepat, dan singkat – konsep tanya jawab diubah. Pertanyaan disodorkan dalam kertas. Nihil ekspresi. Tak ada yang tahu pula siapa si penanya: orang sungguhan atau anonim buatan. Tak ada yang tahu arah pertanyaannya: sungguhan untuk mendapatkan ilmu, mengetes ustadz, memicu perdebatan, atau malah menjadi jebakan. Siapa yang tahu?

Sayangnya, memang itulah jebakan yang istimewa di tengah megahnya panggung da’wah. Sesi tanya jawab sesungguhnya ada sesi paling rumit dalam da’wah dan pengajaran. Ketika ustadz mengajarkan kitab atau memberikan ceramah, mereka mampu mengatur konten yang akan disampaikan. Apa yang penting, apa yang harus diucapkan, kapan memberikan penekanan, dan kapan harus menghentikan materi. Tetapi, pada sesi tanya jawab, ustadz tak punya kemampuan untuk memprediksi apa saja yang akan dibahas. Tema pengajian boleh saja tentang semangat belajar Al Quran, tetapi pertanyaan yang datang sangat mungkin berkisar tentang haramnya vaksin, boleh-tidaknya jual beli kucing, cara memilih calon pasangan, bahkan isu politik yang tengah hangat dibicarakan di luar.

Dengan begitu, Ustadz masa kini punya beban berat. Mereka dipaksa memiliki kemampuan luar biasa. Di satu sisi, ini tampak positif karena orang-orang mulai berani bertanya dan merujuk kepada pemuka agama untuk mendapatkan jawaban atas kegelisahan hidup mereka. Ini harus disyukuri dengan baik dan tepat. Di sisi lain, ini duri bagi para ustadz. Sayangnya, dari banyak video yang beredar, hampir tak ada pertanyaan yang tak dijawab oleh ustadz.

Salahkah?

Tipe pertanyaan

Setidaknya, ada tiga tipe pertanyaan yang saya dapati muncul dalam sesi tanya jawab.

Pertama, pertanyaan umum yang jawabannya pun dapat dengan mudah pula diterima secara umum dengan kesepakatan semua pihak tanpa ada ruang perdebatan di dalamnya. Pertanyaan ini semisal ‘Bagaimana caranya agar saya dapat menghafal Al Quran dengan cepat?’. Beberapa pertanyaan hukum pun dapat masuk tipe ini, misalnya ‘Istri saya sering meninggalkan shalat karena sibuk bekerja, katanya. Apakah ia berdosa, Ustadz?’

Kedua, pertanyaan hukum yang memungkinkan perbedaan jawaban. Umumnya, pertanyaan ini terkait dengan hukum sesuatu: boleh-tidak, halal-haram, sunnah-bukan sunnah, atau sah-tidak sah. Karena status hukum dalam peribadatan Islam memungkinkan adanya perbedaan pandangan antar mazhab, maka jawabannya pun berpotensi variatif. Misalnya, ‘Apa hukumnya qunut dalam shalat subuh?’ Imam Syafi’i menyatakannya sebagai sunnah dalam shalat subuh, sedangkan Imam Hanafy menyatakannya bukan sebagai sunnah. Nanti akan ada bahasan lebih mendalam mengapa perbedaan-perbedaan semacam ini dapat muncul.

Ketiga, pertanyaan yang serupa dengan permohonan fatwa yang sangat kontekstual dan bergantung latar belakang pertanyaan tersebut. Pada situasi ini, jawaban mungkin akan jauh lebih rumit untuk diformulasikan dan seringkali membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat menjelaskannya secara rinci. Pertanyaan tipe ini, misalnya, ‘Anak saya sekolah di institusi katolik. Bolehkah dia ikut masuk ke gereja ketika sekolahnya mengadakan acara di gereja?’ Jawaban yang muncul dapat berupa jawaban umum seperti tipe pertanyaan di atas atau by default, membuka ruang perbedaan pendapat antar mazhab di dalamnya, bahkan jawaban finalnya dapat berubah dari pakem mazhab utama yang dipakai menjadi pendapat mazhab atau fatwa lainnya karena perbedaan konteks yang ada.

Ketiga tipe pertanyaan ini penting untuk dicermati oleh semua pihak, baik ustadz maupun penanya. Seringkali ustadz dengan sigap menjawab semua tipe pertanyaan ini, bahkan tidak memberi ruang untuk menghela nafasnya sendiri. Jedar! Jawabannya pun kadang menggelegar. Efeknya semakin menjadi-jadi setelah diedit pengunggahnya untuk menghentak atau membuat tawa penikmatnya.

Pada pertanyaan tipe kedua dan ketiga, seringkali ada celah untuk menjawab dengan nada serangan, baik secara tajam maupun dalam candaan. Jawaban seperti ini pun laku dalam rekaman dan potensi viralnya tinggi. Bukan tak mungkin jika jawaban dua tokoh agama yang berbeda disandingkan dengan judul, “Ustadz A bilang begini, lihat apa kata Ustadz B!” Perdebatan kemudian menyeruak di ruang maya, membuat pemirsanya tak mengerti lagi bahwa yang harus diterima dengan lapang adalah perbedaan cara pandang dalam masalah khilafiyah. Jika tidak, upaya untuk menuntut ilmu lewat media sosial hanya akan berujung pada ketersesatan. Ilmu tidak dituntut dalam rel yang jelas, melainkan hanya mencari pembenaran atas pendapatnya, mendebatkan hal yang tak penting, dan mengolok-olok orang lain yang pada akhirnya hanya akan menutup ruang hidayah.

—Bersambung—

 

Tulisan sebelumnya:

Jangan Tanya Ustadz YouTube (1)

Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)

Belajar Agama Lewat Gadget

Bagaimana Memilih Kajian Agama

Tingkatan Ijtihad

 

Tulisan berikutnya:

Teks dan Konteks

Arif Menyikapi Perbedaan

Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama

Jangan Tanya Ustadz YouTube (9-selesai)

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan