///

Jangan Tanya Ustadz YouTube (2)

5 mins read
9

Fenomena gairah belajar keagamaan ini memang membelukar sedemikian dahsyat. Bukan hanya pada salinan video di dalam gawai, majelis-majelis riil dengan tatap muka pun makin bergairah dari hari ke hari. Seperti ada dahaga spiritual di tengah arus zaman yang kering, orang-orang kini menggeser perilaku kesehariannya. Pada terma populer, mereka menyebutnya sebagai ‘hijrah’.

Tradisi ‘hijrah’

Dalam beberapa dekade lalu hingga tahun 1980-an, kelompok Islam mudah teridentifikasi secara tradisional karena afiliasi keagamaan yang relatif sederhana pada organisasi keagamaan lokal seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Nahdhatul Wathan, untuk sekadar menyebut beberapa contoh. Di akhir 80-an hingga awal 2000-an, terlebih selepas masa reformasi, ada perubahan perilaku dan ideologi keagamaan dengan mengadopsi lebih banyak perilaku keagamaan (dan politik) dari organisasi keagamaan luar negeri. Beberapa ilmuwan menyebutnya sebagai ideologi dan gerakan transnasional. Perilaku keagamaan yang diadopsi ini ada yang beririsan dengan gerakan organisasi keagamaan lokal yang telah lebih dulu ajeg, namun juga kerap kali bertentangan.

Di tengah masyarakat yang kebanyakan – untuk tidak menyebutnya semua – berhaluan mazhab Syafi’i, perilaku keagamaan yang dipengaruhi gerakan transnasionalis ini memang memunculkan banyak perbedaan – dan karenanya muncul perdebatan dan gesekan. Sesungguhnya, perbedaan ini bukan hal baru karena selama berdekade telah berlangsung antar organisasi keagamaan yang dicontohkan di atas. Namun, seiring dengan meredanya gesekan antar NU dan Muhammadiyah, sebagai contoh, gesekan baru muncul. Perilaku keagamaan yang dipengaruhi gerakan semisal Al Ikhwan Al Muslimun, Hizbut Tahrir, atau Salafy, jelas merujuk pada haluan tradisi mazhab non-Syafi’i. Kebanyakan darinya mengikuti pemahaman mazhab Hanabilah, meski ada juga kelompok yang menarik diri dari label mazhab dan menginginkan jalan keagamaan yang murni mengikuti Qur’an dan Sunnah semata.

Pada beberapa situasi, kondisi ini menyebabkan perseteruan dalam sekam – bahkan, terkadang diliputi isu politik. Yang satu mendaku pendapatnya benar, yang lain merasa pendapatnya yang lebih benar. Yang satu menyerang, yang lain bertahan dengan serangan yang berbeda. Saya merasakannya bukan hanya pada video yang berseliweran di internet, tetapi hingga pada ceramah di kampung-kampung. Jika dulu perseteruan ‘lokal’ berlangsung sengit antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, kini kekisruhan terjadi antara tradisi Nahdhatul Ulama dengan kegairahan adopsi gerakan yang disebut transnasional itu. Ketika ada tuduhan bid’ah, maka terlempar pula tuduhan wahabi. Silang sengkarut.

Di satu sisi, tradisi ‘hijrah’ ini menggembirakan. Dulu, pengajian kerap disematkan hanya pada mereka yang belajar agama secara intens di madrasah atau pesantren. Sekarang, siapa saja tidak malu lagi untuk belajar agama. Celana ‘ngatung’ sudah dengan mudah dijumpai di mal-mal besar dengan segala macam variasi modelnya. Jilbab panjang sudah tidak lagi eksklusif milik santri hafizah Qur’an, tetapi juga perempuan yang dulu menjadi pesolek di layar televisi. Jenggot panjang yang dibiarkan menjuntai tak dicukur kini merajalela di kantor-kantor eksekutif dan menjadi corong gerakan keluar dari pekerjaan ribawi di bank-bank konvensional. Pengajian tersebar di mana-mana – tidak lagi hanya didominasi orang-orang tua dan anak kecil, tetapi anak-anak muda gagah dengan gawai terkini yang dibawa serta ke mana-mana. Ini sebuah kegembiraan bagi da’wah.

Temanya pun variatif sesuai dengan karakter kelompok masing-masing. Ragam variasi kelompok ‘hijrah’ ini begitu lebar, dari kelompok anak punk yang tetap mengaji di tengah hingar bingar, jamaah tabligh yang mengajak menuju keutamaan amal (fadhail ‘amal), Hizbut Tahrir yang menggelorakan semangat khilafah, Tarbiyah yang semangat bergerak dan kerap menyentuh isu politik, hingga Salafy yang mengajak kepada kemurnian ‘sunnah’. Di sela-sela itu, ada pula kelompok tengah yang mengampu seluruh paham, menyodorkan tokoh lintas kelompok, dan mengajak pada eratnya tali persaudaraan, meski juga tak sepi dirundung kecaman dari kelompok lainnya.

Meski beragam, pola penyebarannya kini semakin mirip satu dengan yang lainnya. Menggelinding lewat media sosial, digerakkan lewat teknologi digital. Mereka merekam kajiannya, mengedit videonya, dan menyebarkannya lewat saluran jejaringnya masing-masing. Tentu, dengan ustadz-nya masing-masing pula.

Pada kondisi ini, seringkali muncul dua pertanyaan utama: (1) bolehkah saya belajar agama lewat internet dan (2) bagaimana memilih ustadz dan kajian yang tepat di tengah banyaknya pilihan kajian?

— Bersambung —

Tulisan sebelumnya: Jangan Tanya Ustadz YouTube (1)

Tulisan berikutnya:

Belajar Agama Lewat Gadget

Bagaimana Memilih Kajian Agama

Tingkatan Ijtihad

Jebakan Sesi Tanya Jawab Ustadz

Teks dan Konteks

Arif Menyikapi Perbedaan

Menyikapi Perbedaan Pendapat Ulama

Jangan Tanya Ustadz YouTube (9-selesai)

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan