Seorang lelaki menunggang untanya masuk Mekkah dengan tergesa. Setibanya di Mekkah, pada sebuah lembah yang sunyi dan tak ada satu mata pun yang melihat, ia turun dari untanya. Telinga dan hidung si unta dipotongnya. Pelananya dibalik hingga tampak berantakan. Ia merobek-robek pula bajunya hingga koyak. Drama itu siap dimainkan.
Lelaki itu, Dzamdzam bin Amr al Ghifari, menjadi provokator utama meletusnya Perang Badar. Ia diberi upah oleh Abu Sufyan untuk mengabari Quraisy di Mekkah agar segera berkemas. Abu Sufyan – dalam perjalanannya pulang membawa keuntungan dagang dari Syam – mendengar ada rencana Muhammad ﷺ mencegat rombongannya di satu titik. Rombongan sejumlah 30-40 orang saja tak akan cukup untuk mempertahankan harta 50 ribu dinar yang akan dibagi-bagikan kepada Quraisy di Mekkah. Ia butuh lebih banyak orang. Jauh lebih banyak, jika perlu.
Dzamdzam memulai provokasinya secara teatrikal. “Hai orang-orang Quraisy! Harta kalian di tangan Abu Sufyan dicegat Muhammad. Segera susul! Beri mereka pertolongan!” Abu Jahal yang tengah sibuk di sekitaran Ka’bah pun mendadak naik pitam. Dengan cekatan, aa berhasil mengumpulkan dukungan yang besar. Pada pundak unta-unta Abu Sufyan, ada harta berlimpah, dan hampir setiap rumah Quraisy di Mekkah memiliki saham atas harta dagangan itu. Tak ada yang akan rela jika harta itu beralih ke tangan Muhammad ﷺ dan orang-orang yang hijrah – meskipun itu menjadi bagian negosiasi tukar guling atas properti Muhajirin yang dirampas sepihak oleh Quraisy Mekkah sepeninggalan mereka berhijrah.
Kepentingan harta, bisnis, dan kehormatan adalah sumbu yang mudah terbakar api amarah. Tak terbatas zaman. Kita – seberapapun jauhnya dari zaman Muhammad ﷺ dan Abu Jahal – adalah makhluk yang serupa. Kita tak perlu Dzamdzam, tak perlu aksi teatrikal. Kita bahkan seringkali terbakar emosi hanya karena teks pesan yang berseliweran di telepon seluler, diamplifikasi lewat media sosial, dan disiram bensin lewat acara adu wicara di televisi. Tak ada cek dan ricek. Kita mengerti bahwa keutuhan pernyataan tak bisa ditangkap hanya dari 30 detik hingga satu menit cuplikan video, tapi kita menelannya mentah-mentah jika itu menjustifikasi kepentingan kita sendiri. Kita akan membantahnya, meminta semua orang berulang-ulang untuk klarifikasi, tabayyun, dan mengecek ulang dalam video utuh yang panjang jika tak sesuai dengan kepentingan kita.
Muhammad ﷺ di satu arah jalan lain dari Madinah, tak meletakkan niat berperang sedikit pun terhadap Abu Sufyan dan kafilahnya. Mereka hanya rombongan berisi 314 orang tanpa pengalaman perang, dengan 70 unta yang dinaikkan berganti-gantian. Upaya mereka untuk menemui rombongan Abu Sufyan kandas. Seorang Arab gunung yang ditemui mereka di tengah perjalanan tak punya kabar apapun yang menggembirakan. Justru ketika mereka tiba di Zha’firan, kabar mengguncangkan itu datang. Quraisy telah beramai-ramai keluar Mekkah. Mereka siap berperang!
Sekarang, yang akan dihadapi Muhammad ﷺ bukan lagi 30-40 orang, tapi ribuan orang. Dalam strategi apapun, kekalahan adalah keniscayaan yang logis dan harus siap diterima. Tak mungkin menghadapi sekian banyak orang – berperang dengan kekuatan satu berbanding tiga. Hanya orang gila yang berani melakukannya. Tetapi, kembali menuju Madinah pun bukan pilihan yang tepat. Mereka akan dianggap lemah, menjadi lumbung perisakan, dan selalu tersudut untuk setiap waktu dapat diserang.
Tetapi, rombongan Muhammad memang tak masuk akal. Ketika mereka berhenti untuk bermusyawarah, satu per satu sahabat memberikan pendapat. Tak ada yang memilih pulang. Semua bersepakat melanjutkan perjalanan, seberapapun risiko kehidupannya harus ditanggung.
“Kami tidak akan menjadi seperti Bani Israil yang berkata kepada Musa, ‘Pergilah kamu Bersama Tuhanmu, dan berperanglah. Kami akan tinggal di sini untuk menunggumu.’ Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah. Kami akan bersamamu dan turut berjuang.” Potongan kalimat Miqdad bin Amir itu membangkitkan semangat rombongan.
Wajah Muhammad ﷺ pun berseri-seri. Ia menyambut, “Berangkatlah dan gembirakanlah! Allah sudah menjanjikan kepadaku salah satu dari dua kelompok itu. Seolah-olah kini kehancuran mereka sudah berada di depan mata.”
Padahal, tak ada garansi kemenangan saat itu. Belum ada satupun ayat yang terang benderang menyebut rombongan Muhammad ﷺ akan gemilang di pertempuran pertama tanpa latihan apapun. Tak ada janji tentang harta yang akan mereka raih, tentang kejayaan yang akan mereka rengkuh, tentang kesuksesan yang akan mereka capai di hampar padang pasir itu.
Tetapi, itulah keyakinan yang penuh. Mereka telah memancangkan tiang bendera yang kokoh di atas keimanan. Logika manusia telah diistirahatkan di gudang-gudang penuh ketakutan dan kecemasan. Muhammad ﷺ memagang kendali penuh atas kepemimpinannya. Ia tak mundur sebagai pengecut. Ia tak berpaling sebagai pecundang. Sebagai panglima, ucap katanya adalah kobaran semangat dan keyakinan, bukan analisis hitungan matematis manusia, bukan kurva probabilitas.
Keyakinan itu yang mendahului doa. Doa kemudian yang menebalkan rasa yakin. Itulah keniscayaan siklus keyakinan ketika Muhammad ﷺ mempertontonkannya kepada serombongan orang – yang bukan pasukan perang, “Allahumma ya Allah, Quraisy saat ini datang dengan segala kecongkakannya dan hendak berusaha mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu jugalah yang Engkau janjikan kepadaku. Jika kami – rombongan ini – binasa, takluk, terpuruk, tidak akan ada lagi orang-orang yang beribadah kepadaMu.” Doa itu adalah doa legenda Muhammad ﷺ. Doa veto-nya kepada Allah. Seolah-olah Muhammad ﷺ tengah menagih, ‘Aku sudah kerahkan seluruh manusia untuk membelaMu, apa kau tega membuat kobaran semangat mereka layu karena Kau membiarkan mereka kalah?’ Itulah doa dan tagihan dari keyakinan yang sempurna.
Entah kapan kita dapat berdoa semacam Muhammad ﷺ. Bendera yang kita pancangkan untuk menempuh kejayaan-kejayaan yang kita cita-citakan hanya setengah dari keyakinan. Kita berteriak Allah Maha Besar, tetapi ternyata masih banyak yang jauh lebih besar dari Allah dalam kehidupan kita. Kita berseru Maha Suci Allah, tetapi kita kerap mengotorinya dengan tangan kekuasaan kita, ucap lidah dan kedustaan kita, langkah kaki strategi kita. Kita merapalkan Tak Ada Daya dan Kuasa Selain Bersama Allah, tetapi kita masih mencoba meraih-raih pertolongan dari sisi yang tak disukaiNya, mencari kesenangan dari perkara yang tidak direlakanNya, mencuri-curi kesempatan untuk berkhianat dari keimanan kepadaNya. Kita mendeklarasikan Segala Puji Bagi Allah, tetapi kita masih mengumpulkan pujian manusia dalam lumbung kesombongan, memolekkan citra demi sanjungan, memasuki rumah Allah untuk merekam dan mengunggahnya sambal berharap ada tahniah yang justru menabalkan tinggi hati. Kita menengadahkan tangan untuk meminta, tetapi tidak melampirkan ‘falyastajiibuu liy wal yu’minuu biy’ – keyakinan bahwa Allah-lah yang memiliki lembar jawaban atas segala persoalan dan kelekasan untuk menjawab panggilan dan perintah-perintah Allah.
Bahkan, proposal akan ditolak pimpinan yang menangkap keraguan kita, ke-setengah-setengah-an kita. Dan, Allah jauh lebih tahu setiap noktah yang tak terekam kamera, perbincangan, bahkan jejak digital sekalipun. Tapi, kita masih juga memnacangkan bendera setengah yakin, setengah iman.
Rotterdam, Rabiul Akhir 1441
Gambar fitur diambil dari: https://medium.com/probablity-and-statistics-for-data-science/i-have-read-many-articles-on-probability-and-statistics-theory-over-the-course-of-ongoing-data-cf07f4035919