Bhinnekatopia

6 mins read

ZootopiaAnak saya duduk manis di bangku sebelah saat saya mengajaknya menonton ‘Zootopia’ –film yang diidam-diamkannya beberapa hari. Baginya yang baru berusia tiga tahun, seekor kelinci bisa menjadi polisi adalah keanehan yang sesungguhnya, mirip seperti Chief Bogo –seekor banteng yang menjadi komandan polisi, tak memedulikan keberadaan Judy Hopps si Kelinci Polisi di pasukannya. Lebih-lebih, konsep hubungan binatangnya terdistraksi; rubah yang bersahabat dengan kelinci ketika ia mengingat seharusnya mereka saling berkejaran di film lain. Singa, baginya selalu tampak jahat karena memakan zebra. Tetapi, melihatnya berdampingan dengan domba sebagai sepasang walikota dan wakil walikota juga tampak tidak memuaskan.

Ya, perdamaian antara pemangsa dan hewan mangsaannya memang terlalu sempurna. Pertanyaan tentang ‘kesempurnaan’ itu yang membuat kebingungan anak saya, bagi saya, adalah sebuah keberhasilan pergulatan pemikirannya sendiri. Saat ia bertanya bertubi-tubi ke saya, saya justru memikirkan hal lain yang sama utopisnya dengan Zootopia: Bhinnekatopia.

Menggelitik sekali ketika Bhinneka nampak sebagai sebuah gagasan utopis –yang semasa kecil selalu kita terima secara dogmatis bahwa itu adalah sebuah kenyataan yang sudah dicapai. Achieved ideal state. Gagasan itu, bahkan, sesungguhnya semakin utopis ketika demokrasi masuk ke ruang privat lewat majunya teknologi yang menari-nari dengan perantara jemari di layar telepon pintar. Apapun bisa sesuka hati diungkapkan; mulai dari yang dianggap ‘lurus’, salah, kafir, sanjungan karbit, sampai makian yang bersahut-sahutan. Demokrasi –yang ruangnya dibuka oleh reformasi dan kematiannya juga dijumpai akibat pintunya yang terlalu lebar dibuka.

Saya lantas mengingat Karl Marx –yang pemikirannya dikacaukan oleh pengusung Marxisme modern, Lenin, demi kekuasaan otoriternya. Ia mengubah pemikiran filosofisnya mengenai kesenjangan akibat pemilikan hak pribadi menjadi sebuah gerakan sosialis. Pada mulanya, ia melihat ketidakadilan, lalu berupaya menghapus hak milik pribadi yang menjadi musabab kekacauan di zamannya menjadi milik bersama demi dunia yang lebih baik.

Marx mengerti –dan dengannya ia berbeda dari filsuf lainnya, bahwa yang dipikirkannya mengenai kesamarataan di dunia adalah utopia. Kesempurnaan yang tak mungkin dicapai. Pemikiran awal yang juga sempat dikembangkan para sarjana Islam ketika terjebak dengan pemikiran negara Islam; praktis yang secara praktik justru tidak terekam dengan jelas dalam sejarah dan memicu potensi utopia baru. Juga dengan Bhinneka Tunggal Ika yang sempurna –dan mungkin hanya bisa ‘tampak sempurna’ di bawah rezim otoriter.

Dunia yang damai ini, seperti yang sering disuar-suarkan para pemimpin dunia, juga sebuah gagasan utopis –seberapapun sering konferensi para pemimpin dunia diselenggarakan dalam beragam bingkai regional dan global. Seperti mereka yang menginginkan Israel berdamai dengan Palestina; merindukan singa berelus-elusan memangku domba-domba sambil menyisir bulunya yang lebat selepas mandi.

Toh, hari ini kita mulai menampakkan kemuskilan gagasan itu, meski tanpa sadar. Mengaku Bhinneka, tetapi memantik perselisihan antar etnis, agama, atau suku demi sekadar bergulat politik menduduki jabatan tertentu. Berkelahi mulut dan media demi jagoan politiknya masing-masing. Menentang etnis minoritas dan menggugat kaum mayoritas, sambil terus menegaskan bahwa Bhinneka adalah gagasan utopis.

Jikapun bergenggaman, berpelukan, kita masih tetap menyiapkan kuda-kuda –mirip Judy Hopps dengan kuda-kudanya saat Nick Wilde si Rubah mempertanyakan persahabatan mereka. Kita masih menyiapkan obat anti rubah, merasa tak aman, bahkan menyuarakan dengan lantang ketidaksekuritasan kita. Kita diam-diam mengubah jubah menjadi Bellwether si Domba yang dengan liciknya memanfaatkan rasa tidak amannya dari para pemangsa dengan menjebak para pemangsa kehilangan jabatan struktural dan fungsional mereka dari kehidupannya. Caranya, adalah cara yang makin hari makin sering kita lakukan: menimbulkan rasa tidak aman di tengah publik dari kelompok lain yang kita anggap sebagai ancaman. Kampanye kita –yang kita yakini adalah kebaikan, bahkan firman, justru adalah kebencian dan permusuhan.

Marx tidak berhenti pada filosofinya, tapi menggerakkannya dalam koridor gerakan sosialisme. Begitupun Muhammad Sang Rasul, tidak berhenti pada gagasan rahmatan lil ‘alamin, tetapi memicu pergerakan sosial penegakan keadilan. Mobilitasnya melintas keluar dari sekadar sajian ayat, tapi praktik yang kaffah. Kita pantas, dan sudah sepatutnya, menirunya bukan sekadar pada gagasan literer, tapi pergerakannya yang ia tekuni tanpa pernah keluar jalur dari kampanye teologisnya sendiri; “li-utammima makaarimal akhlaq”, penyempurnaan kemuliaan akhlak.

Kita berbicara lugas tentang akhlak sambil melanggarnya sendiri –diam-diam atau terang-terangan. Kita banyak mendebatkan pentingnya integritas sembari mengoyaknya pelan-pelan dari dalam diri sendiri.

Selagi perilaku kontradiktif itu masih mengungkung kita, Bhinneka akan selalu menjadi gagasan utopis. Yang mengubahnya bukan sekadar angan-angan hanyalah kemauan kita untuk menggeser ego praksis menjadi i’tikad baik yang dikoleksi dalam gerakan kultural.

Dunia, bagaimanapun, secara natural adalah kumpulan fragmen yang saling memangsa dengan afinitas dan kecenderungannya masing-masing. Gagasan utopis mesti diyakini sebagai ide yang hanya bisa disemai di surga. Selebihnya, adalah usaha merapatkan gagasan menjadi gerakan. Bukan bualan. Itulah yang menjadikan kita menempuh jalan kehidupan sesungguhnya; bertungkuslumus membuktikan “ayyukum ahsanu ‘amala”; siapa yang amalnya paling baik.

Puncak, 11 Maret 2016IMG_20160305_141429[1]

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan