Muhammad ﷺ pergi berhaji lagi. Kali ini dengan perasaan yang bercampur aduk. Langkahnya hati-hati, bertabur pesan yang menyiratkan firasat kuat profetik bahwa sebentar lagi ia akan menjumpai Allah dalam rupa yang sesungguhNya. Barangkali itu akan menjadi perjalanan ziarah hajinya yang terakhir. Dalam geliat dadanya yang gemuruh, Muhammad ﷺ berpesan: khudzuu anniy manaasikakum. Perhatikan baik-baik bagaimana aku melaksanakan haji, menunaikannya dengan sempurna, dan jadikan semua itu patokan yang membuat umatku kelak mendapat panduan yang sahih atas praktik haji.
Pada khutbahnya, Muhammad ﷺ memberi penekanan tentang wajibnya berhaji. „Allah telah mewajibkan haji, maka berhajilah kalian,“ tekannya. Seorang lelaki kemudian mengajukan pertanyaan, „Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?“[1]
Muhammad ﷺ diam tak menjawab. Lelaki itu mengulang pertanyaannya lagi, tetapi Muhammad ﷺ juga masih terdiam. Pada pertanyaannya yang ketiga, Muhammad ﷺ kemudian menjawabnya,“Jika saya mengatakan ‚iya‘, maka haji pasti diwajibkan setiap tahun, dan kalian tidak akan mampu melaksanakannya.“
Bukan kali ini saja Muhammad ﷺ meletakkan standar ibadah yang general, umum, sehingga tepat pada setiap konteks dan situasi. Muhammad ﷺ pernah terpergok selesai shalat isya ketika malam telah berubah menjadi gelap gulita. Bukan karena Muhammad ﷺ terlewat shalat di awal waktu, tetapi karena Muhammad ﷺ lebih menyukai shalat isya yang ‚telat‘, ketika selimut malam telah ditarik ke perbaringan. Antara tenggelamnya syafaq – mega merah di langit – hingga sepertiga malam pertama.[2] Kalau saja itu tidak memberatkan umatnya, Muhammad ﷺ akan melakukannya terus menerus seolah itu sebuah kewajiban. Tetapi, Muhammad ﷺ tidak memilihnya.
Seperti juga Muhammad ﷺ hilang dari peredaran masjid Nabawi setelah beberapa malam pertama Ramadhan ia berdiri melangsungkan shalat sunnah setelah isya. Saat itu, belum ada sebutan shalat tarawih. Ketika ditunggu-tunggu, Muhammad ﷺ tak juga muncul. Saat akhirnya batang hidungnya kembali ke mihrab Nabawi, para sahabat bertanya tentang ketidakhadirannya di malam-malam yang lalu. Kalau saja Muhammad ﷺ mempertontonkan berdirinya ia di setiap malam, Muhammad ﷺ khawatir sahabat menganggapnya sebagai sebuah kewajiban, padahal bukan.[3]
Muhammad ﷺ justru tengah menampilkan wajah profetiknya yang sederhana dan memformulasikan agama dalam standar yang mudah dan dapat dipenuhi oleh umatnya dalam ragam kondisi. Maka, ketika lelaki tadi bertanya tentang haji, Muhammad ﷺ menjawabnya dengan sederhana pula, dengan marka yang jelas. Maa nahaytukum ‚anhu fajtanibuuhu, wamaa amartukum bihi, fa-tuu minhu mastatha’tum. Jika ada larangan, maka jauhilah dan jangan pernah berupaya mendekatinya. Jika ada perintah melakukan sesuatu, maka dekatilah, upayakanlah, semampu-mampunya untuk mendekati standar dan patokan yang ada.
Jangan katsratu masaa-ilihim, banyak bertanya-tanya untuk mencari alasan dan jalan keluar dari tanggung jawab. Jangan ikhtilaafu ‚alaa anbiyaa-ihim, mendebat-debat urusan agama yang telah jelas dan sederhana diformulasikan untuk mencari celah tidak menunaikannya. Karena kedua hal itulah yang menyebabkan kehancuran, kebinasaan.
Standar-standar keagamaan itu sudah ditetapkan, digariskan, secara sederhana. Tidak berat. Tidak sukar. Ritual keagamaan bukan beban yang harus dipanggul di punggung dan memberatkan langkah manusia menuju cinta Allah. Justru ibadah mestinya menjadi jalan mendekat dan bermesra-mesra dengan Allah. Wa maa taqarraba ilayya bisyay-in ahabba ilayya mimmaftaradhtu ilaihi. Menjalankan apa yang diwajibkan, difardhukan, digariskan secara tegas dalam rukum Islam, itu adalah bagian dari taqarrub, dari pedekate, dari jatuh cinta.
Jika ingin naik tahapan menjadi bucin – budak cintaNya Allah – maka tersedia jalannya: yataqarrabu ilayya binnawaafili hattaa uhibbuhu, dengan amalan-amalan nawafil.[4] Aktivitas yang tak wajib, tidak dihukumkan secara qath-i, tetapi disenangi oleh Allah. Dengan begitu, Allah rela jatuh cinta kepada kita: menjadi telinga, mata, tangan, dan kaki kita. Itulah kekasih. Ada proses saling mencintai dan meridhai. Sa-alaniy a’thoytuhu – yang kalau kita meminta, tak akan pernah ditolak, karena sudah dicintai. Ista’aadzani la-u’iizannahu – yang kalau kita meminta perlindungan pasti dilindungi, karena sudah kadung suka dan jatuh hati. Bucin.
Kita barangkali lupa kaidah-kaidah ini. Target ibadah kita susun dalam matriks panjang, list yang berurutan dengan angka-angka yang harus dicapai. Berapa kali putar khatam, berapa banyak uang disedekahkan, berapa sering puasa dilestarikan. Target-target itu dipampang di dinding kamar kerja, di pintu lemari, di halaman media sosial, lalu berubah menjelma beban. Melakukannya seperti dikejar-kejar, diliputi kekhawatiran jika target tak tercapai. Yang ketika anak merengek mengajak main, kita menolaknya karena belum selesai target tilawah harian. Yang ketika orang lain membutuhkan pertolongan, kita mengabaikannya karena ada listyang belum tercontreng. Yang ketika ada tanggung jawab belum terpenuhi, kita melewatkannya karena ada desakan amaliyah yang telah kita susun dan sekarang mengejar-ngejar kita.
Tak ada yang keliru dengan target dan niat untuk melakukan amal kebaikan sebanyak-banyaknya. Memburu kebaikan dan berlomba-lomba bersamanya adalah jalan yang mesti dirawat dalam semangat berketuhanan. Tetapi, jangan sampai kehilangan kedalaman kualitas. Menjadi target buruan yang begitu saja dapat terhempas karena nihilnya spirit kecintaan.
Formula interaksi kita dengan Allah itu sederhana: innaddiina yusrun.[5] Agama ini diciptakan dengan banyak kemudahan. Yang berupaya membuatnya sulit, sukar, berat, hanya akan dikalahkan oleh beban yang ia buat-buat sendiri. Muhammad memberikan empat patokan dan koridor yang jelas.
Fasaddiduu – maka berbuat benar dan luruslah. Istiqamah-lah. Jangan berbengkok-bengkok, mencari celah untuk melanggar yang telah jelas dilarang.
Qaaribuu. Berupayalah mendekat pada standar yang telah ditetapkan. Tidak semua kita punya pengetahuan sebaik para ustadz, cendikia agama, penceramah. Tidak semua kita hidup dalam situasi dan kondisi kondusif untuk melangsungkan ritual agama yang ketat dan penuh semangat. Tidak semua kita punya keluangan, kekuatan, dan daya intelektualitas untuk mengerjakan semua perkara sunnah. Muhammad memang tidak memaksakannya, tetapi ia memberi sinyal kuat bahwa yang dinilai adalah kehendak dan upaya kita untuk menyejajarkan diri kepada standar, mendekat ke jarak yang seproksimal mungkin dengannya. Jika kita dapat mencapainya, bahkan berlebih – itulah bonus cinta yang menebalkan ikatan antara kita dengan Allah.
Absyiruu – laksanakan semua perilaku keagamaan ini dengan riang gembira, lepas dari tekanan, bebas dari rasa diburu-buru. Allah sudah melepas syariat masa lalu yang memberatkan: shalatnya umat Musa alayhissalam yang lima puluh kali sehari, memotong pakaian yang terkena najis, melukai bahkan membunuh dirinya sendiri sebagai bagian dari pertaubatan. Allah dengan teramat Mahasayang membuat syariat Islam ini mudah, maka bersenang-senanglah seperti anak kecil yang diberi kelonggaran peraturan rumah dari orangtuanya, seperti anak sekolah yang disajikan keluangan dari guru dan sekolahnya, seperti pegawai yang dikasih keringanan oleh bos dan perusahaannya sehingga mereka semua bergembira dan jatuh cinta.
Ista’iinuu bil ghadwati warrawhati wasya-un minad duljah – mintalah pertolongan untuk tetap dilingkupi rasa ketaatan kepada Allah sepanjang pagi, siang dan sore. Itu seperti kita berbisik romantis kepada pasangan kita sendiri: jaga aku untuk terus mencintaimu.
Agama ini bukan sekadar rangkaian aturan belaka. Ia bukan beban yang memberatkan langkah dan memburu degup jantung di dada. Agama ini semestinya kita formulasikan dalam bentuk aslinya. Cinta. Yang membuat berdiri kita di malam hari, bacaan kita di lembar-lembar mushaf, sebaran harta kita di kotak-kotak amal terasa begitu ringan karena keaslian interaksi kita dengan Allah. Cinta.
Hamba Allah itu bucin-nya Allah. Tidak lain.
Ahmad Fuady
Rotterdam 1441
[1] HR Bukhari
[2] Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat. Para wanita dan anak-anak telah tertidur.” Beliau akhirnya keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian.” Rawi berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.” HR Muttafaq ‘alaihi. Hadits serupa, dengan teks berbeda, juga dijumpai pada hadits riwayat Abu Dawud dan Muslim.
[3] Dari Aisyah RA, istri Rasulullah SAW, Rasulullah SAW melakukan shalat (tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali shalat tarawih dan jamaahnya semakin banyak. Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul, tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah mengatakan, ‘Aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir ia (shalat tarawih) diwajibkan’. HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa-i, Malik, dan Ahmad.
[4] HR Bukhari, hadits qudsi.
[5] HR Bukhari dan Muslim
Gambar fitur diambil dari: https://kreativv.com/genk-life/budak-cinta/