Bukan Manusia Super (2)

5 mins read

Sebegitu besarnya keluh kesah manusia, Allah ﷻ memberikan petanda yang tegas: shalat dan shalat-lah untuk mengusirnya, untuk lepas dari jeratannya. Tak ada dorongan yang lebih kuat dari itu dengan keparipurnaannya. Tanpa itu, ia kosong, bahkan celaka. Ia hanya menjadi pelaku shalat yang dipenuhi kelalaian dan keinginan disanjung.[i] Ia menjadi sekadar simbol ritual –dipertontonkan namun kering substansi, dipertunjukkan namun hampa implikasi.

Maka, pengecualian-pengecualian berikutnya –obat-obat mujarab dari keluh kesah, adalah tindak laku sekaligus buah dari shalat yang kontinu dan terjaga: terlepasnya hati dari kepentingan-kepentingan dunia.

Mereka yang shalat tak akan menghardik anak-anak yatim, tidak pula menyingkirkan orang-orang miskin.[ii] Mereka tidak menjadi bagian dari kelompok yang memarjinalkan kaum lemah, mustadh’afin. Ketika ia menjadi pribadinya kaya, ia berbagi dengan sesama. Ketika ia menjalankan perusahaannya dan berkembang, ia tidak menyingkirkan mereka yang kecil dan menyiksa pekerjanya demi lahapnya keuntungan. Ketika ia menduduki kursi kekuasaan, ia tidak berkomplot dengan korporasi keji yang memperkaya diri namun memiskinkan warganya sendiri, bahkan menjerumuskan mereka ke liang kemiskinan yang jauh lebih dalam.

Yang mampu melakukannya adalah mereka yang tak punya hajat apapun terhadap harta yang dimilikinya. Mereka mengerti nilai kebenaran sejati dalam kekayaan, fii amwalihim haqqum ma’luum. Tak ada yang patut digenggam sedemikian erat. Tak ada yang layak disimpan rapat-rapat. Karena tak ada pula yang menjadi milik manusia secara mutlak, kecuali Allah ﷻ menitipkannya sementara saja.

Mereka yang shalat dan tak punya hajat apapun terhadap dunia akan memiliki kepekaan yang tinggi. Mereka mengerti ada hak perlu ditunaikan, bukan hanya kepada yang meminta-minta tetapi juga yang malu untuk menengadahkan tangannya –lissaaili wal mahruum.[iii] Itulah pupuk sejati pohon dunia-akhirat. Harta hanya akan menjerat. Yang melepaskan tali pengikatnya adalah kewarasan terhadap akhirat: yushaddiquuna biyawmiddiin.[iv]

Mereka memahami bahwa kehidupan adalah jalan bagi kematian, dan kematian adalah jalan bagi kehidupan yang abadi. Mereka takut terhadap siksa yang dalam pandangan mata batinnya selalu dekat dan menjilat-jilat. Tak ada rasa percaya diri yang begitu tinggi sehingga merasa kakinya telah memancang di depan pintu surga dan keridhaan Allah ﷻ. Tak ada benih kesombongan bahwa diri dan kelompoknya akan segera masuk berombongan ke surga dan menyisakan neraka bagi yang berbeda pandang darinya. Yang dipelihara mereka adalah kekhawatiran yang tak pernah pudar, rasa ketidakamanan, dan selimut ketakutan terhadap azab. Inna ‘adzaaba rabbihim ghairu ma’muun.

Mengapakah kita justru merasa teramat jauh dari kemungkinan siksa? Mengapakah kita justru menyisakan potensi-potensi siksa itu hanya bagi mereka yang kita anggap keliru? Sudah bosankah kita untuk pergi ke relung hati sendiri dan menyadari betapa buruknya perangai kita hari ini di balik jubah dan khotbah kita setiap hari –di podium, di lini masa, di jejaring maya?

Beruntunglah semesta pun berpuasa. Semesta ber-imsak, menahan diri dari amuknya dalam rahmat dan kasih sayang Allah ﷻ. Jika saja setiap keburukan dibayar langsung dengan azab dan siksa, betapa buruk hidup kita, betapa hancur lebur pribadi kita. Tak ada yang kemuliaan yang bersisa, tidak ada kebanggaan yang terpajang. Bahkan, deretan gelar akademik, predikat kebangsawanan, jabatan sosial, dan raihan penghargaan tak akan pernah punya makna apapun. Kita telanjang. Bulat. Penuh aib.

Tetapi, Allah Maha Pengasih. Ia menutup aurat kita dari pandang mata orang lain, bahkan sebelum kita memakaikan kain dan pakaian di atasnya. Ia menyembunyikan keburukan kita dari pengetahuan orang lain. Mengapakah kita merasa begitu tinggi dengan diri sendiri ketika kejayaan datang dan meninggalkan Allah ﷻ semata sebagai pelengkap dalam ucap Alhamdulillah yang sekadar pemulas ucap lidah?

Maka, jangan tanyakan siapapun jika keluh kesah masih kerap melanda. Jangan salahkan siapapun jika hati tak pernah merasa puas, bahkan terus bersedih dan kecewa. Pulanglah ke hati sanubari. Tahanlah diri dari nafsu yang mendesak-desak. Jalan itulah yang memelihara diri agar kesempatan, kebaikan, kejayaan, dan keterangbenderangan di masa depan tak membuat kita melompat tinggi dan tak menjejak bumi. Jalan itulah yang menyadarkan kita bahwa tak ada yang layak ditahan, diretensi, dan dipelit-kikirkan dari segala karunia yang Allah ﷻ limpahkan kepada kita.

[i] Lihat QS Al Ma’un 4-7

[ii] Lihat QS Al Ma’un 2-3 dan QS Al Muddatsir 44-46

[iii] Lihat QS Al Ma’arij 24-25

[iv] Lihat QS Al Ma’arij 26-28

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.kompasiana.com/satria123/573e184d917e61470bbedb04/mencari-kunci-dalam-labirin-sejarah

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan