Suatu ketika, Rasulullah ﷺ kedatangan lelaki buta di rumahnya ketika ia bercengkerama dengan Ummu Salamah, istrinya, dan Maimunah. Tak ada yang memakai hijab. Hingga lelaki buta itu, Ibnu Ummi Maktum, masuk ke dalam rumah pun, mereka tak beranjak pula memakai hijab. Ia yang buta tak akan bisa melihat mereka, apalah lagi muncul berahi di dadanya. Begitu pikir mereka.
Tapi, Rasulullah ﷺ menengok keduanya sambil berkata, “Berhijablah kalian berdua!”[i] Ummu Salamah tak percaya pada perintah itu. Bagaimana perlu berhijab sedangkan ia tak melihat dan tak pula mengetahui mereka berdua di situ? Namun, Rasulullah ﷺ tak sekadar mengajarkan perspektif satu arah. Ia mengajak Ummu Salamah melingkar dalam memandang setiap persoalan. Rasulullah mengajari mereka tentang kehormatan yang sejati. “Ataukah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” kata Rasulullah ﷺ.
Itu pula yang disampaikan Allah ﷻ sebagai pelengkap rangkaian penawar keluh kesah manusia. Iffah –kehormatan diri, kata Syaikh Wahbah az Zuhaily dalam Al Munir.[ii] Perilaku keji dimulai dari lenyapnya kehormatan terhadap diri sendiri, musnahnya penghargaan terhadap tubuh dan jiwanya sendiri. Ini bukan soal kedaulatan terhadap tubuh sendiri. Tubuh gue ya tubuh gue. Pakaian gue terserah gue. Bau parfum ya parfum gue yang beli sendiri. Jika ada lelaki yang menyiuli mereka di pinggir jalan, menatap lekat liuk tubuh mereka, atau menumpahkan kata-kata seronok di bayang-bayang parfum mereka, tentu bukan saja salah isi kepala mereka yang berbuat keji itu. Itu sebab iffah yang tercerabut. Iffah yang tak tertanam dalam, tak memancang kokoh.
Kehormatan itulah yang dimaksud Allah ﷻ agar dijaga dan dipelihara ketika menyebut ‘orang-orang yang menjaga kemaluannya’[iii] sebagai salah satu penawar keluh kesah yang mujarab. Farji adalah rasa malu yang perlu ditutupi dan hanya dibuka kepada mereka yang telah diberikan hak. Farji adalah amanah yang harus dijaga sebagaimanapula ia disandingkan dengan ayat berikutnya, “dan orang-orang yang memelihara amanah dan berteguh pada janjinya.”[iv]
Ketika Rasulullah ﷺ menyatakan tanda-tanda kemunafikan, disebutkannya orang yang berkhianat ketika diberikan amanah. Bukankah tubuh kita ini amanah, mata kita ini amanah, lidah dan mulut kita ini amanah, kemampuan pikir kita ini amanah? Amanah tak perlu hadir dari sebuah perpindahan jabatan atau kekuasaan. Amanah tak perlu didatangkan dengan seremoni. Tanpa itu semua, setiap jengkal tubuh dan sekeliling diri kita yang seringkali kita genggam erat-erat dan tak ingin kita lepas: itu amanah. Kita tak pernah memilikinya –hanya diberikan pinjaman yang harus kita bayar dengan penjagaan sempurna.
Betapa banyak jebakan kemunafikan –dan seberapa sering pula kita menjebakkan kaki kita sendiri ke dalamnya. Kita pikir kemunafikan itu berada jauh di luar sana, di lorong-lorong gelap yang sering kita kutuk –dan kita merasa tengah berdiri tegap untuk melawannya. Tetapi, sekali-kali tidak. Barangkali kemunafikan itu berceceran di bawah kaki kita sendiri. Ketika Allah mengamanahkan daya pikir di kepala kita tetapi kita tak mendayagunakannya untuk memfiltrasi informasi yang datang sebelum menyebarkannya. Ketika Allah mengamanahkan lidah, mulut dan tangan tetapi masih juga kita berkata kasar dan kotor, bahkan pada pesan dan debat yang kita yakini kebenarannya. Ketika Allah menitipkan harta, anak-anak, rumah, kendaraan, dan semua kesenangan tetapi belum juga kita follow up dengan menyusun peta jalan untuk membawa semua itu menuju keridhaanNya.
Cerabutlah kelakuan itu dari diri sebelum melangkah ke tahap selanjutnya yang Allah indikasikan sebagai ‘penegakan syahadat’. Syahadat, kesaksian, itu mudah diucap seperti mudah pula kita mengucapkannya berkali-kali sepanjang hari. Tapi, Allah ﷻ memberi petanda bahwa yang mampu keluar dari keluh kesah adalah mereka yang tak hanya berucap syahadat, tetapi menegakkannya: bisyahaadatihim qaa-imuun.[v]
Ketika sudah keluar kesaksian dari mulut kita bahwa tiada tuhan selain Allah, maka tidak ada lagi ruang bagi tuhan-tuhan lain dalam tujuan hidup, proposal proyek, penuntasan pekerjaan, pencarian jodoh, dan pengejaran cita-cita. Tidak ada tempat bagi uang, pangkat, dan kekuasaan untuk memenuhi visi hidup –yang dengannya kita mati-matian menyusun strategi, mengutak-atik taktik, dan bertungkuslumus semalam suntuk. Tuhan-tuhan lain telah mati, dan hanya Allah yang berada di singgasana pesona cita-cita. Itulah tegaknya syahadat.
Ketika sudah terlafaz kesaksian bahwa Muhammad ﷺ adalah utusan Allah, maka tidak ada lagi jalan lain kecuali mengikuti segala tindak tanduk perilakunya, sunnah-nya, dan mahabbah kecintaan-kecintaannya. Jika Muhammad adalah kesantunan, maka syahadat kita adalah gerbang menuju kesantunan dan pintu keluar dari kerusakan. Jika Muhammad adalah kejujuran, maka syahadat kita adalah titian yang bersih dari dusta dan ingkar. Itulah tegaknya syahadat.
[i] Hadits dari Nabhan, pembantu Ummu Salamah, diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Turmudzi. Dikisakhkan dalam Tafsir Ibnu Katsir dalam penafsiran QS An Nur 31.
[ii] Lihat Tafsir Munir terhadap QS Al Ma’arij 29-31
[iii] Lihat QS Al Ma’arij 29-31
[iv] Lihat QS Al Ma’arij 32
[v] Lihat QS Al Ma’arij 33
Gambar fitur diambil dari : https://lucubox.blogspot.com/2018/06/gambar-lucu-yang-diatas-cantik.html
Tetaplah menulis seperti ini y ustadz, menyirami jiwa² yang sedang gersang, terima kasih telah berbagi pengetahuan, kami rindu Rasulullah.. teruslah bercerita ttg nya, agar kami selalu ingat.. semoga keberkahan selalu tercurah untuk Pak dok sekeluarga, aamiin
Aamiin. Terima kasih mbak Anin