Cash Back Gopay: Haram?

13 mins read

Banyak pertanyaan bermunculan mengenai topik ini, terlebih setelah beberapa video pengajian beredar melalui media sosial. Masing-masing tokoh agama mengeluarkan fatwa dan opininya. Para pengikutnya mengamplifikasi opini tersebut, bahkan kadang disertai teks bertendensi menyerang atau bantahan penuh sindiran. Pusing? Kata anak jaman milenial: “Harus gimana akutu?”

Silang pendapat ini sebenarnya adalah hal lumrah dalam tradisi keilmuan. Namun, pada zaman ketika semua orang berkumpul dalam satu kolam teknologi bernama media sosial, efeknya dapat berbeda. Saya tidak mengajak pembaca untuk menyetujui atau menolak pendapat-pendapat tersebut. Tidak juga melompat pada kesimpulan haram atau halal. Saya ingin berupaya berdiskusi secara jernih tentang apa yang mendasari itu semua, mengapa ada perbedaan di dalamnya, dan bagaimana menyikapinya.

Secara umum, perbedaan opini ini dipicu oleh pemahaman (atau ktidakpahaman, atau pemahaman setengah-setengah) mengenai proses bisnis GoPay atau dompet elektronik sejenisnya, semisal OVO, dan akad atau kontrak dalam perspektif Syariah Islam. Saya akan mencoba menguraikan terlebih dahulu perbedaan pemahaman tersebut. Secara umum, ada lima pendapat mengenai akad yang diakibatkan oleh transaksi di dompet elektronik, yaitu:

  1. Sharf (perubahan alat tukar)
  2. Wadi’ah (titipan)
  3. Qardh (pinjaman – utang piutang)
  4. Ijarah mawshufah fi dzimmah (pembayaran di muka)
  5. Wakalah bil ujrah (mewakilkan dengan memberikan upah)

Pendapat mengenai sharf (perubahan alat tukar) ini dikemukakan terutama oleh Ust Ahmad Sarwat lewat buku dan website-nya, www.rumahfiqih.com. Pendapatnya ini didasarkan bahwa yang terjadi pada proses transaksi dengan dompet elektronik hanyalah persoalan perubahan alat tukar dari cash ke elektronik. Tidak ada bentuk titipan karena titipan adalah sesuatu yang tidak dapat dipakai oleh sang penitip ketika uang tersebut dititipkan.

Pendapat mengenai wadi’ah (titipan) disampaikan banyak pemuka agama pada permulaan aplikasi dompet elektronik berjalan. Uang yang disimpan di dompet elektronik tersebut dianggap sebagai titipan saja, untuk kemudian dipakai ketika diperlukan. Konsep ini sesuai dengan prinsip umum dompet elektronik jika pembayaran yang dilakukan sesuai dengan harga yang tertera, baik dengan atau tanpa dompet elektronik.

Persoalannya adalah pengguna kerap mendapatkan harga yang lebih murah dalam bentuk diskon atau cash back. Di sinilah silang pendapat tersebut terjadi. Maka, beberapa tokoh agama, di antaranya Ust Erwandi Tarmizi (lewat bukunya Harta Haram Mualamat Kontemporer) dan Ust Firanda Ardija (lewat website-nya www.firanda.com), berpendapat bahwa akadnya telah berubah menjadi qardh (pinjaman). Kenapa pinjaman? Dalam pemahaman beliau berdua dan tokoh lain yang sependapat dengan mereka, uang yang masuk ke dompet elektronik itu merupakan pinjaman kepada penerbit dompet elektronik. Manfaat yang diberikan seharusnya sesuai dengan nilai pinjaman karena merupakan hutang yang harus dibayarkan. Jika manfaat tersebut bernilai lebih besar daripada pinjaman yang diberikan, maka ada unsur riba di dalamnya.

Dengan memakai pendekatan tersebut, marak dibicarakan bahwa diskon, cash back, atau manfaat lain yang diberikan melalui dompet elektronik adalah bagian dari riba. Karena riba haram, maka penggunaan dompet elektronik yang memberikan manfaat kepada penggunanya pun ikut menjadi haram.

Pendapat terakhir, yaitu akad ijarah maushufah fi dzimmah (pembayaran di muka) dikemukakan oleh Ust Oni Sahroni (Dewan Syariah Nasional MUI). Pendapat ini mengajukan argumentasi bahwa proses transaksi dompet elektronik adalah pembayaran fee yang dilakukan di muka dengan pemberian manfaat yang dibayar kemudian. Maka, pendapat ini cenderung menghalalkan penggunaan dompet elektronik meskipun banyak catatan yang diberikan di belakangnya sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI.

Masih ada satu pendapat lain yang beredar dan menyebutkan bahwa dalam konteks pemesanan makanan (GoFood, GrabFood, dll) ada dua akad di dalamnya yang bercampur, yaitu wakalah bil ujrah dan wadi’ah atau qardh. Pengguna mewakilkan pembelian makanan melalui babang gojek (wakalah bil ujrah) dengan menggunakan uang yang disimpan di dompet elektronik (baik bentuk akadnya wadi’ah atau qardh). Dalam pandangan ini, substansi transaksinya adalah pembelian barang, bukan simpanan atau utang-piutang sehingga secara sederhana dapat disimpulkan bahwa penggunaan dompet elektronik dalam konteks ini halal.

Terus bagaimana?

Pertama, sebelum masuk pada simpulan halal dan haram dalam konteks fikih, proses utama bisnis tersebut harus dipahami dengan benar. Kedua, pengambilan putusan hukum Syariah perlu dipertimbangkan dengan teliti. Ketiga, jika ada perselisihan pendapat, harus tetap saling menghormati.

gopay

Apa itu uang elektronik?

Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi beberapa unsur, di antaranya yang utama adalah diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit, nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip, dan nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan.

Jadi, ada dua pihak (pengguna dan penerbit/pengelola dompet elektronik), disimpan secara elektronik, dan bukan merupakan simpanan yang dapat dikelola atau diputar dalam portofolio investasi seperti usaha perbankan.

Bukan hanya GoPay atau OVO, dompet dan uang elektronik sudah beredar dalam beragam bentuk. Dalam bentuk perputaran uangnya, ada dua jenis Utama, yaitu:

  • Closed loop : Uang Elektronik untuk pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut. Misalnya, pakai kartu Commuter Line. Kita masukkan simpan uang di kartu, kemudian bertransaksi naik KRL Jabodetabek dengan kartu tersebut.
  • Open loop : Uang Elektronik untuk pembayaran kepada Penyedia Barang dan/atau Jasa yang bukan merupakan Penerbit Uang Elektronik tersebut. Misalnya, Flash BCA, eMoney Mandiri, GoPay, OVO, dan lain-lain. Kita simpan uang di kartu dan dapat dipakai di berbagai gerai.

Lalu, ke mana uangnya? Dulu, pada saat pertama dompet elektronik melantai di ruang publik, belum ada aturan yang begitu jelas. Saat ini sudah ada peraturan Bank Indonesia yang mengaturnya dengan cukup detail. Uang yang disimpan di dalam dompet elektronik disebut sebagai dana float, yaitu seluruh nilai Uang Elektronik yang berada pada Penerbit atas hasil penerbitan Uang Elektronik dan/atau Pengisian Ulang (Top Up) yang masih merupakan kewajiban Penerbit kepada Pengguna dan Penyedia Barang dan/atau Jasa. Tidak semua dana berputar dalam kas. Minimum 30% dana berputar pada kas atau giro. Sedangkan maksimum 70% pada surat berharga atau instrumen keuangan yang diterbitkan pemerintah atau Bank Sentral atau di rekening Bank Sentral untuk menjamin likuiditas penerbit jika sewaktu-waktu penerbit mengalami pailit. Dana float ini juga harus dicatat secara terpisah dari pencatatan dan rekening operasional lain.

Secara sederhana, tergambar bahwa uang pengguna tidak digunakan untuk perputaran uang di portofolio investasi. Melihat proses bisnis dan aturan seperti ini, maka akad qardh (pinjaman) tidak sesuai.

Loh? Bukannya kata ustadz uang kita dikelola dan digunakan mereka untuk diputar? Dulu, sebelum ada aturan yang jelas, penggunaan uang pun tidak jelas. Setelah ada aturan yang cukup detail, jelas bahwa uang di dalam dompet elektronik tidak dapat diputar dalam instrumen investasi, kecuali SBN untuk menjamin likuiditas.

Loh, bohong ah? Bagaimana mereka bisa mendapatkan keuntungan?

Ada setidaknya empat skema bisnis dompet elektronik semacam ini. Pertama, meraup pendapatan melalui iklan. Kedua, pendapatan melalui database. Mereka pada dasarnya mengelola bisnis dengan data yang sangat besar (big data) yang memungkinkan keputusan-keputusan bisnis dibuat melalui algoritma tertentu. Data ini dapat ditawarkan ke pihak lain dengan tetap menjaga kerahasiaan data pengguna. Ketiga, melalui kerjasama dengan gerai-gerai, pengojek, dan penyedia jasa lainnya (tukang pijat, tukang bersih-bersih, dan lain-lain) yang mengikat kontrak dengan mereka. Keempat, aliran dana dari investor.

Dari empat proses bisnis inilah, dompet elektronik kemudian menawarkan “manfaat”-nya. Kalau kamu naik ojek pakai dompet elektronik, kamu dapat membayar lebih murah dibandingkan membayar cash. Kalau membeli di gerai X, kamu dapat diskon atau cash back sekian persen atau sekian rupiah. Bukan dari uang yang diputar, tapi dari kontrak kerjasama dengan gerai, penyedia jasa, investor, dan sejenisnya.

Kalau begitu, sesuai dengan sharf? Tidak begitu sesuai karena yang dimaksud dengan sharf sejatinya adalah pertukaran satu nilai dengan nilai lain, misalnya emas diganti rupiah, dollar diganti euro, dan sejenisnya.

Kalau begitu sesuai dengan ijarah maushufah fi dzimmah? Tidak juga begitu sesuai. Karena seringkali pengguna sudah ditawarkan manfaat sebelum memberikan uang muka (top-up dompet elektonik). Misalnya, pengguna tidak punya saldo dompet elektronik. Ia ingin naik gojek, kemudian ditawarkan oleh sistem: (a) Rp 7.000 dengan dompet elektronik atau (b) Rp 15.000 dengan cash. Si pengguna baru kemudian melakukan top-up, lalu memilih membayar dengan dompet elektroniknya. Jadi, manfaat itu sudah ada meski tanpa “uang muka” sebelumnya.

Kalau begitu wakalah bil ujrah? Untuk pembelian makanan yang diwakilkan oleh babang gojek, iya. Itu namanya wakalah bil ujrah. Pengguna memberikan hak kuasa kepada babang gojek untuk membeli makanan, kemudian memberikannya upah atas jasa pengantarannya. Untuk konteks dompet elektroniknya sendiri, tidak. Karena uang yang disimpan tidak diputar dan dikembalikan dalam bentuk persentase keuntungan apapun oleh pihak penerbit.

Jadi? Akad wadi’ah merupakan akad atau kontrak yang paling mendekati. Ini sama dengan contoh kasus berikut.

Anda punya tetangga yang jago menawar barang di pasar Tanah Abang. Anda menitip beli baju di Tanah Abang ke si tetangga dengan harapan mendapatkan harga yang lebih murah dari yang seharusnya Rp 150.000 menjadi Rp 120.000. Dan berhasil. Anda dapat murah. Tidak peduli apakah si tetangga ternyata sekaligus membeli dua puluh kodi barang lain ke si penjual, ada hutang budi si penjual ke tetangga, si tetangga emang jago nawar aja, atau si tetangga sedang berbaik hati kepada Anda dengan membayarkan Rp 30.000-nya. Yang pasti, Anda titip uang ke si tetangga, si tetangga membelikan ke penjual, dan barang sampai ke tangan Anda. Riba? Masuk neraka?

Maka, bagi yang bertanya kepada saya mengenai hal ini, jawaban saya adalah dompet elektronik pada saat ini halal. Akan berubah hukumnya jika ada proses bisnis dan aturan yang berubah di dalamnya.

Ada beberapa pelajaran penting dalam membahas ini.

  1. Hukum sesuatu dapat berubah sesuai dengan konteksnya. Maka, pemahaman terhadap konteks mutlak diperlukan. Saya selalu bilang bahwa jawaban atas persoalan umat ini seringkali tak dapat sepenuhnya dijawab oleh para pemuka agama atau tokoh yang mendalami ilmu fiqih semata. Harus ada kolaborasi dengan pengampu ilmu ‘umum’-nya, dan pemegang kebijakan.
  2. Hukum dan aturan mengenai dompet elektronik ini mengalami kemajuan pesat karena adanya kesepahaman antara pengampu ilmu Syariah dan pemegang kebijakan.
  3. Pemahaman akan teks dan konteks dapat berubah seiring perkembangan jaman. Hukum dompet elektronik dapat berbeda antara Indonesia dan negara lain sehingga tidak dapat digeneralisir.
  4. Gunakan uang tetap seperlunya, jangan berlebihan.
  5. Tetap saling menghormati di antara perbedaan pendapat yang ada. Belajarlah dari para pengampu ilmu di masa lalu. Tidak perlu ada serangan atau saling sindir. Keriuhan publik muncul bukan karena kurangnya ilmu, tetapi karena ketergesaan kita untuk menutup ruang bagi perbedaan pendapat.

Wallahua’lam bishshowab.

Jika ada yang ingin mengunduh slide presentasi, silakan dipergunakan, dimodifikasi, atau dikoreksi. Unduh di sini: eMoney, Cash Back

Rotterdam, Shafar 1441

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan