Demokrasi Kentut

6 mins read

Tidak ada yang membahas epistemologi keburukan kentut ini secara detail meskipun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas itu bisa dibahas dari beragam sudut pandang: biologis, sosiologis, antropologis, syariah, siyasah, bahkan tasawuf.

Siapakah yang lebih bersalah daripada orang yang kentut di tengah kerumunan orang? Tidak ada. Semua aktivitas akan terhenti untuk bersama-sama mencari sumber bau dan suara kentut, menertawakan, mempersalahkan, atau malah menghukum si empunya kentut dengan makian. Kalau itu anak sendiri, maka hukumannya lebih bertubi-tubi. Dibilang tak beretika dan tak menguasai kontek sosio-kultur masyarakat yang menempatkan kentut sebagai perbuatan tidak menyenangkan. Maka, jangan salah kalau banyak teks merasa perlu untuk menuliskan kata (maaf) dalam tanda kurung sebelum menulis kata ‘kentut’. Perlu juga menyebut kata ‘maaf’ itu ketika Anda sedang berbicara di podium kehormatan seolah-oleh kentut itu barang yang menjijikan.

Tapi, apa sebenarnya yang membuat kentut itu patut dianggap sebagai sebuah ‘keburukan’? Apakah zat kentut itu yang bersalah dan layak dilarang? Ataukah proses membuat kentut itu yang keliru? Ataukah baunya yang berdosa –sehingga kalau tak bau maka boleh dan sah-sah saja melakukannya? Ataukah bunyinya yang mengganggu pendengaran –sehingga kalau tak berbunyi maka halal dilakukan di tempat umum? Ataukah situasinya di kerumunan orang yang menyebabkan kentut itu dikecam –sehingga jika kentut seorang diri itu hukumnya berubah dari haram menjadi mubah, bahkan wajib? Ataukah karena kentut diyakini sebagai hal yang membatalkan wudhu –yang dengannya pula membatalkan shalat, maka pada setiap yang membatalkan wujud sembah kepada Tuhan itu berarti sah keburukannya?

Tidak ada yang membahas epistemologi keburukan kentut ini secara detail meskipun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas itu bisa dibahas dari beragam sudut pandang: biologis, sosiologis, antropologis, syariah, siyasah, bahkan tasawuf.

Di tengah banyak kecaman kepada kentut itu, ada banyak orang pula yang mendapat hidayah untuk mengerti rasa syukur. Mereka yang baru saja dioperasi dan diwanti-wanti benar oleh dokternya agar tidak makan sebelum kentut, akan menunggu-nunggu kapan datangnya waktu kentut. Di tengah pengharapan yang amat sangat itu kentut menjadi sangat berharga. Dan, saat kentut itu terlepas, betapa membuncahnya rasa syukur. Karena banyak pula orang yang tak mampu kentut dan itu berarti ada problem besar dalam lika-liku pencernaannya.

Kentut itu wajar dan normal. Menahan-nahannya justru membuat ia dibenci Tuhan: makruh hukumnya. Tetapi konstelasi masyarakat kita sudah terkungkung pada definisi fiqh. Kalau makruh itu kan tidak apa-apa, melakukannya kan tidak berdosa, meninggalkannya mendapat pahala. Seolah-olah Tuhan itu guru matematika yang gemar memberikan tugas di depan kelas; tukang memberikan hadiah dan hukuman. Padahal, makruh berarti tidak disukai. Dan, kalau Anda mencintai seseorang, tentu Anda berharap tidak melakukan sesuatu yang tidak disukainya dan berpotensi membuatnya cemburu, bahkan sakit hati setelah dilakukannya berulang-ulang kali.

Jika ingin kentut, kentutlah dan tak perlu ditahan. Lepas itu, bersuci lagi. Karena Tuhan mengerti bahwa menahan kentut hanya membuat manusia kehilangan konsentrasi. Maka, tak ada yang salah dengan zat kentut itu sendiri. Proses pencernaan yang normal yang memang dibuat Tuhan untuk membuat manusia merenungi dan menyepakati kalimat ‘Rabbanaa maa khalaqta hadzaa baathilaa’; tidak ada yang Engkau ciptakan ini sia-sia.

Tapi, mengapa pada kentut yang pasti tidak diciptakan untuk sia-sia itu manusia malah mengumpat dan memakinya; memberikan sandang negatif kepadanya?

Maka, konteks menjadi penting melebihi substansi kentut itu sendiri. Yang mendengar anak balitanya kentut berturut-turut akan tertawa, lalu mengunyel-unyel kepalanya. Bahkan, suami istri yang sedang berpelukan hanya akan kaget sebentar ketika salah satunya kentut, lalu kembali berpelukan, bahkan lebih erat lagi. Tapi, mereka yang kentut di ruang kerja, di dalam lift, di depang panggung, di tengah kelas, apalagi di tengah-tengah wawancara kerja, akan menemukan kentut itu sebagai musibah bagi dirinya.

Banyak situasi menyerupai kentut: tidak salah, bahkan benar, tapi konteks dan situasi-kondisinya menjadikannya keliru. Ada banyak kebenaran dan kebaikan, atau setidaknya bukan sesuatu yang buruk, tapi tidak menemukan konteksnya yang tepat sehingga dianggap keliru dan dilabeli kejahatan. Substansi menjadi tidak penting. Konsistensi juga sama tidak perlunya. Bukti pandang dan falsafah ketuhanan dan profetik boleh jadi juga tidak dipahami sebagai landas-pacu-pikir yang diterima.

Yang tidak jelas itu, yang besar ketergantungannya kepada konteks sehingga hukumnya dapat berubah-ubah, adalah demokrasi yang tidak boleh digugat-cerai dalam kehidupan manusia hari ini. Anda boleh bilang A hari ini, lalu berubah B esok hari. Karena konteksnya sedang berubah. Anda juga boleh bilang Z pagi ini dan bilang O siang harinya. Anda akan bilang pula, sesmua disesuaikan dengan konteks. Toh, Anda punya hak menyesuaikan konteks dan mencari-cari kesesuaian substansi dan konteks untuk dipertontonkan dalam era demokrasi ini.

Maka, kentut itu juga demokrasi. Boleh dianggap halal, haram, mubah, dilarang, atau perbuatan makar sekalipun. Boleh melakukannya kapan saja, di mana saja, sendirian atau berjamaah, tapi konsekuensinya silakan ditanggung sendiri karena demokrasi itu berarti pula tanggung jawab. Demokrasi itu juga kentut. Dilepaskan. Anda mencium aromanya, mendengar suaranya. Tapi, bentuknya sendiri tak pernah mampu Anda tangkap. Kesejahteraan bagi rakyat itu tidak pernah berujud. Berlalu begitu saja. Apalagi, jika pemilihan raya sudah usai.

Jadi, selamat kentut.

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan