Di Jakarta, Kiamat Maju Mundur

8 mins read

Tak ada beda matahari yang terbenam hari ini dan yang akan muncul besok pagi. Matahari yang sama, kecuali Tuhan memutuskan kiamat terjadi di antara dua waktu itu. Tapi, siapa yang percaya kiamat akan terjadi tiba-tiba? Para pembaca teks agama percaya kejadian itu akan dimulakan dengan salah terbitnya matahari – dari tempat terbenamnya, terkikisnya jumlah manusia yang beriman kepada Tuhan, dan munculnya Dajjal yang menguasai dunia. Para pembaca semesta memercayai bahwa kiamat akan diperkenalkan dengan mendekatnya lubang hitam (black hole) di jagad raya. Ia akan melahap semua yang ada, memindahkan himpunan tata surya ke alam antah berantah yang belum pernah dikenal. Para pembaca lingkungan meyakini bahwa dunia telah berada dalam rel menuju kiamat setelah gunung es mencair lebih cepat daripada laju pencairannya berdekade-dekade lalu, lapizan ozon menipis, langit menjadi gudang karbon, eksplorasi minyak dikebut, dan produksi asap tak juga berhenti.

Yang tidak percaya bahwa kiamat sudah dekat hanyalah politisi. Tetapi, jangan tanyakan hal itu kepada mereka karena mereka pasti menjawabnya secara normative, jika perlu religius. Pandangi saja kelabat gerak-geriknya, pertarungan-pertarungan antar sesamanya yang seolah kematian – apalagi kiamat – adalah hal muskil yang bisa menjamah mereka. Kekuasaan memang membutakan, ia rabun terhadap kematian. Semisal Firaun dan penguasa sejenisnya. Apa yang melanggengkan kesenangan, itulah kehidupan.

Seperti juga kehidupan para saintis yang kian hari kian ingin membuktikan bahwa Tuhan bisa bernyawa seperti mereka. Misteri genetika perlahan dipecahkan dan diutak-atik sesuai keperluannya. Siapa yang menyangka dua dekade lalu bahwa sapi super, domba super, dan babi super, dapat diciptakan hari ini dan memuaskan hasrat manusia terhadap kelezatan daging yang dipanggang di atas pan. Manusia super pun adalah keniscayaan. Manusia tanpa gen diabetes sehingga risiko sakit diabetes mengecil hingga titik nol. Juga tanpa gen stroke, tanpa gen kanker. Jangan tanyakan bagaimana setiap wajah dapat ditelusuri latar belakangnya, setiap garis mata dapat ditelisik suku dan asal muasalnya. Raihlah telepon genggam, jepret gambar muak sendiri, dan masukkan ia ke dalam aplikasi pengubah wajah. Maka, data tersedot seketika ke dalam gudang data raksasa menjadi kekayaan intelektual yang begitu mahal bagi penyedianya, tapi begitu receh bagi penggunanya yang tak mengerti dan tak mau ambil pusing dengan persoalan penguasaan dunia.

Yang tak mau ambil pusing itu barangkali kita – bersama dengan jutaan orang lain yang esok pagi bangun dari tidur dan masih tergagap-gagap akan melakukan apa di tahun yang baru meski resolusi sudah disusun selama berhari-hari. Kita keluar gang, menyesap udara kota yang makin lama makin pekat, dan berharap esok belum kiamat karena masih ada hutang yang harus dibayar, cicilan yang harus ditunaikan, pekerjaan yang harus dituntaskan, gaji yang harus dicairkan, kulkas yang harus dipenuhkan, halaman belakang yang harus dicantikkan, dan jodoh yang harus ditemukan. Pekerja muda kantoran di pusat kota masih bangun dengan ritual mie instan dan kopi sachet di pagi hari, di pojok kamar kos-nya yang seharga jutaan rupiah, sebelum nanti siang atau sore bisa berkumpul di kafe dan menyesap kopi mahal di cangkir-cangkir kecil.

Yang lain masih akan rebutan naik kereta listrik komuter sebelum matahari terbit demi memupuk masa depan yang lebih baik, dan pulang ketika matahari telah terbenam begitu dalam di ufuk barat dan menyisakan anak-anaknya telah tidur terlelap karena besok pagi mereka harus bangun pagi dan pergi sekolah sebelum gerbang sekolah digembok oleh satpam yang galak dan hanya mengerti bahwa tugas utamanya adalah membuka tutup pintu gerbang.

Sebagian yang lain akan muncul dengan mobil mereka dari daerah satelit kota di pagi buta, memenuhi jalan dengan deruman gas dan decitan rem, sambal memutar siaran radio favoritnya dengan penyiar utama yang selalu didaku sebagai kegemarannya. Sedikit saja yang memilih mengambil sepedanya, apalagi yang berharga puluhan juta, untuk dikayuh di hari kerja dan melaju ke pusat kota. Udara tak punya niatan berkompromi dengan paru-paru. Maka, bersepeda adalah laku zaman akhir pekan, lengkap dengan foto berombongan di sisi jalan dan acungan jempol di atas merk sepeda yang mengidentifikasi secara cepat status pemiliknya.

Siapa peduli kiamat di Jakarta? Di jalan raya yang padat, pasar yang masih saja becek, gang-gang kecil yang kumuh, kontrakan-kontrakan yang berhimpit, hidup masih diharap-harapkan terus melaju. Di satu dekade ke depan, mereka tak akan lagi menjumpai metro mini dengan asap serupa tinta cumi-cumi yang hitam pekat. Bus-bus mini, setengah mini, dan besar akan menggantikan perannya. Mikrolet juga barangkali akan punah perlahan-lahan karena kian hari peminatnya semakin sedikit, sedangkan tagihan setoran kian hari kian menanjak. Taksi akan gulung tikar, kecuali mereka yang masih lihai mencari peluang di tengah derasnya kompetisi ojek-ojekan – yang bukan hanya lihai mengantar pelanggan ke tempat tujuan, tetapi juga mengantarkan pesanan makanan ke depan rumah.

Di situlah uang berputar, ekonomi menggelinjang. Penguasa akan bilang: itulah ekonomi riil yang kita perjuangkan. Mereka yang berjuang di atas roda motor dan mobilnya, juga mereka yang menyesap kenikmatan makanan tanpa harus mengantre panjang, akan dengan setia mengangguk. Mereka akan menjadi pemarah yang tak dapat dikendalikan siapapun jika urusan perut dan kenyamanannya diusik dengan harga yang tiba-tiba naik dan aturan yang mendadak diktatif.

Di ruang ekonomi itu pula kiamat melaju kian dekat. Penyejuk udara dipasang di mana-mana, membuat kota semakin terasa panas kian detiknya. Desing mesin menyeruak menambah decibel yang membebani telinga dan asapnya mengepulkan karbon yang merobek-robek atmosfer. Mal dan toko dibuka hingga larut malam yang membuat lampu dan listrik terus menyala hingga pekat malam untuk kemudian menyedot energi dari pembangkit listrik hasil bakaran batu bara yang dikeruk dari tengah Borneo – menyisakan kolam-kolam besar tak berpenghuni di tengah hutan dan menghiasi langit dengan asap tebal hasil pembakaran.

Di ruang maya, orang-orang masih saja sibuk bertengkar tentang pemimpin yang harus mereka dukung atau jatuhkan. Telepon seluler kita tercemar polusi informasi: dukungan dan tuduhan yang tak habis-habis, debat kusir yang tak usai-usai, dan celaan yang silih berganti memuncaki trending topic. Otak kita diberi asupan miskin gizi: bukan hanya stunting kembang otak akibatnya, tetapi juga kiamat nalar dan intelektual. Kita percaya pada tulisan hasil karya anonym yang tak jelas rimbanya meski di satu waktu kita begitu yakin ada dalang atas segala soal politik. Demokrasi seolah tak punya keraguan di dalamnya – laa rayba fiih – tetapi setiap perbedaan harus ditingkahi dengan stratgei represif, deradikalisasi, dan penyematan label bagi siapa saja yang mengambil jalan berbeda.

Kita menimbun jalan menuju kiamat sambil berharap kiamat masih jauh dari hadapan. Di Jakarta, kiamat maju mundur. Sekali ia mundur dalam setiap doa-doa kebaikan. Sekali ia maju dari laku buruk yang tak mampu kita tahan.

 

31 Desember 2019

Yang menatap Jakarta dari teropong Rotterdam

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.olxgroup.com/locations/indonesia-jakarta

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan