Duka Melintas Semesta

7 mins read

Hari itu Waraqah bin Naufal menjumpai Muhammad ﷺ di sekitaran Ka’bah. “Engkau adalah Nabi atas umat ini,” katanya memulai. Konfirmasi pertama yang telah diperkirakan Muhammad semenjak Khadijah, istrinya, menjadi penyokong spirit utamanya. Tetapi, kalimat itu tak berhenti begitu saja. Waraqah melanjutkannya, “Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir, dan akan diperangi.” Konfirmasi kedua yang Muhammad ﷺ terima hari itu sekaligus menumpukkan beban yang memberat di pundaknya.

Tidak ada yang ia harapkan selanjutnya, kecuali bimbingan wahyu yang semula membuatnya menggigil dalam selimut. Tidak ada yang ia mintakan, kecuali Allah ﷻ menyediakan perangkat paling canggih dan jalan paling mulus untuk dapat mengajak Quraisy beriman, juga menahan segala macam goncangan fisik, batin, dan moril yang akan dihadapinya.

Tetapi, tak ada harapan yang berjawab kala itu. Ketika ia menyadari dirinya membutuhkan suluh penerang jalan, wahyu terhenti. Jibril menghilang tanpa kabar. Tak ada yang menggoncang-goncang tubuh dan jiwanya lagi. Sempat Muhammad ﷺ berpikir: setelah dipilih Tuhan, beginikah ia pantas diperlakukan? Mencari jalan sendiri dan mengobati perih dan lukanya tanpa petunjuk? Ia bahkan sempat berpikir mengasing kembali ke gua Hiro atau ke puncak gunung Abu Qubais, lalu melepaskan beban yang ia pikulnya sendirian.

Muhammad ﷺ pun jatuh sakit. Abu Sa’id menyebutkan bahwa ia juga ditimpa batu yang melayang ke tangannya hingga jarinya terluka.[1] Ia tak nampak lagi berdiri di malam-malamnya untuk shalat. Semalam, dua malam. Kemudian seorang perempuan datang mengejeknya, “Hai Muhammad, kau tahu? Setanmu itu, malaikat yang kau sebut-sebut membawa wahyu itu, ia telah meninggalkanmu sendirian.” Kabar Muhammad ditinggalkan Jibril mengalir cepat dari mulut-ke mulut: Muhammad ditinggalkan Tuhannya sendiri.

Duka Muhammad ﷺ itu, bukankah duka kita juga: duka orang-orang yang merasa ditinggalkan Allah? Tetapi, apalah duka kita? Duka kita seringkali bukan karena tak berlimpah hidayah, penerang jalan. Duka kita acapkali karena merasa dilemparkan begitu saja dari pusaran nasib baik dan dibiarkan sengsara menempuh buruknya hidup tanpa pelampung hidayah. Duka kita adalah keluh kesah atas harapan yang tak pernah berujud, doa yang tak juga terkabul, dan cita-cita yang belum sempat terpenuhi.

Pernahkah duka kita seperti duka Muhammad ﷺ: duka merindu wahyu, duka terjamah hidayah, duka dirajuk petunjuk?  Ataukah karena dunia menyesak dalam kepala dan jiwa kita, maka duka kita sepenuhnya adalah duka dunia?

Jika pun begitu, tengoklah kembali bagaimana Muhammad ﷺ beranjak ke lembah Abtah. Rindu itu benar-benar tertumpah sebelum Jibril tiba dalam rupa aslinya. Lalu mendekatlah wahyu, mendekaplah pelipur lara.

Dan demi waktu dhuha. Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkanmu. Dan tidak pula ia membencimu.[2]

Ayat-ayat itu menjadi jawab sanggah bagi mereka yang mengejek. Muhammad ﷺ nyatanya tak ditinggal sendirian. Hatinya gembira, jiwanya damai. Ia menemukan obat penenang paling mujarab: walal aakhiratu khairul laka minal uulaa. Yang datang belakangan itu, kehidupan akhirat, impian masa depan selepas kehidupan dunia: itulah yang jauh lebih baik daripada hidup dunia ini.

Apa yang kita sedihkan hari ini? Apa yang kita tangisi kemarin dan hari esok? Dunia, betatapun nikmatnya ia kita dekap, tak akan pernah lebih baik dari kenikmatan akhirat.

Apa yang membuat kita kesal kepada Allah? Apa yang membimbing kita untuk memprotes keputusan-keputusanNya yang kita anggap tidak menyenangkan, tidak membahagiakan, menyengsarakan? Padahal, Allah selalu hadir menyediakan setiap batu pijak terbaik di jalan yang kita tempuh. Kita yang mungkin kehilangan daya untuk merensponsnya dengan tepat. Kita yang boleh jadi menyilapkan hidayah, menghijab diri dari petunjuk, atau memantulkannya balik hingga terang petunjuk tak masuk menerangi gelapnya hati. Kita yang hanya berlinang air mata karena fokus pada kesedihan yang beruntun dan mengabaikan kenikmatan yang telah diberikan.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu seperti orang yang kebingungan, lalu Dia memberikanmu petunjuk penerang jalan? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia membekalimu dengan segala macam kecukupan?[3]

Bukankah pula begitu banyak kebaikan Allah ﷻ yang terlimpah sepanjang hidup kita, tetapi kita membatasi pandang mata dan batin hanya kepada persoalan dunia yang rumit, sesak, dan mengecewakan?

Kita kerap lupa perbincangan Muhammad ﷺ dan Ibnu Mas’ud di atas hamparan tikar kasar. Ibnu Mas’ud mengusap lambung Muhammad ﷺ lalu menawarkan kasur empuk untuk ia hamparkan sebagai pengganti tikar. Muhammad ﷺ menjawab dengan teduh, “Apa urusanku dengan dunia? Sungguh, perumpamaan antara aku dan dunia adalah seperti musafir yang berteduh di bawah naungan pohon, lalu ia pergi meninggalkannya.[4]

Duka kita duka dunia. Belum sempat kita melangkah lebih jauh mengikuti Muhammad ﷺ agar tak ada duka yang kita panggul, kecuali duka itu melintasi semesta. Duka yang menjadi penunjuk jalan selanjutnya dari keterpurukan yang bertubi-tubi, menyikapinya dengan amal gemilang, “Adapun terhadap anak-anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Terhadap mereka yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik mereka.”[5] Tidak menyingkirkan mereka dari pagar-pagar sosial kami-dan-mereka, mengasingkan mereka dari kesempatan, dan membiarkan mereka terjerembab dalam keterasingan dan kemiskinan struktural.

Itulah duka melintas semesta!

Rotterdam, 4 Ramadhan 1440

Gambar fitur diambil dari: http://www.rendy-saputra.com/2018/05/hilang-arah.html

 

[1] Dalam satu riwayat, Rasulullah ﷺ pernah dilempar dengan batu hingga mengenai jari tangannya sampai berdarah. Setelah itu, beliau mengucapkan kalimat bersyair: Tiadalah engkau selain dari jari tangan yang berdarah, di jalan Allah padahal engkau mengalaminya. Riwayat ini diperdebatkan apakah menjadi sebab sakitnya Rasulullah ﷺ selama menunggu wahyu.

[2] Lihat QS Ad Dhuha 1-3

[3] Lihat QS Ad Dhuha 6-8

[4] Hadits Riwayat Imam Turmudzi dan Imam Ibnu Majah

[5] Lihat QS Ad Dhuha 9-10

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan