Apa yang sudah kita pelajari dari Muhammad? Pribadi yang disenangi semua orang sejak kecil, dipercayai tutur katanya, tetapi berubah menjadi musuh utama bagi para pemuka Quraisy. Ajaran monoteis bukan isu baru yang harus dilawan mereka yang menyembah berhala di sekeliling Ka’bah. Toh, mereka masih berdampingan dengan pemeluk Nasrani, Yahudi, dan orang-orang hanif. Mengakui Allah sebagai Tuhan pun bukan masalah baru karena mereka sesungguhnya percaya adanya tuhan yang memelihara alam semesta. Mereka memusuhi Muhammad karena merusak stabilitas kemewahan dunia mereka yang sudah ajeg sekian puluh tahun, merusak tatanan strata sosial yang mereka bangun di atas derita kaum papa dan lemah. Kita menjadi paham sekarang –bahwa mudah menjadi pribadi yang baik, tetapi berbahaya menjadi penyuara kebenaran. Bahwa mudah sekali bersikap afirmatif, tetapi babak belur ketika mulai menentang kezaliman.
Muhammad menunjukkan keberpihakannya yang kuat kepada mereka yang teralienasi dari kehidupan sosial yang timpang, maka ia dengan mudah dapat diterima oleh mereka yang terusir di tanahnya sendiri. Muhammad bukan tak ingin duduk bersama mereka yang kuat dan kaya. Ia, bahkan, berupaya sekuat tenaga agar diterima hingga Allah sempat menurunkan wahyu khusus dua kali. Sekali lewat muka merahnya,[1] sekali lagi saat sahabat-sahabatnya disingkirkan dari majelis VIP para pemuka Quraisy.[2]
Muhammad menjadi manusia yang tak pernah dapat sebanding pedihnya ditolak. Ia bukan anak muda yang sibuk mencari kekasih dan tak diterima pinangannya, ditinggal lari pujaan hatinya, ditolak mentah-mentah dari sekian puluh aplikasi kerja, dibantah ide-idenya di ruang karya, atau dikritik bertubi-tubi lewat demonstrasi. Ia menjadi obyek pembunuhan, target utama pengkerdilan. Tetapi, ia menjadi yang terdepan untuk bisa bersikap sabar seperti yang Allah tuntunkan –maka bersabarlah engkau bersama orang yang menyeru kepada Tuhannya sepanjang pagi dan senja hari semata-mata mengharap kerelaanNya.[3]
Muhammad menjadi orang yang terasing di tengah keluarga besarnya sendiri, tetapi Allah melarangnya bersedih, apalagi mengikuti mereka yang hatinya sudah dilalaikan dari mengingatNya. Ia disingkirkan dari kekuasaan kabilah, diasingkan dari pergaulan sosial dan urusan ‘negara’, tetapi Allah melarangnya berduka, apalagi memalingkan matanya kepada mereka karena berharap perhiasan dunia.
Siapa yang kini merasa diasingkan dari percaturan urusan dunianya, diremehkan karena menggenggam bara kebenaran, diciptakan citra buruknya karena berlaku lurus, dihempas bully sepanjang hari karena dianggap tak sepikir-sehati dengan konstelasi politik duniawi? Siapa yang merasa barisan dan semangatnya dirontokkan satu persatu, dihujani serangan nyata dan maya yang tak habis-habis pelurunya? Thalut dan Daud yang kecil-kuasa harus melawan Jalut yang besar dan super-kuasa, digerogoti pasukannya karena tak tahan godaan melintas sungai. Tetapi, mereka digdaya karena selalu ada yang membisikkan: berapa banyak sejarah menulis bahwa yang sedikit itu telah mengalahkan yang super-banyak dengan izin Allah.[4] Ya, izin Allah yang bukan digapai dari sekadar berteriak namanya sekeras-kerasnya, tapi menjalankan ajaranNya semurni-murninya, selurus-lurusnya, sekomprehensif dan seholistik mungkin, tak pilih-pilih.
Rotterdam, Ramadhan 1438
[1] Lihat asbabun nuzul QS ‘Abasa
[2] Lihat tafsir Ibnu Katsir QS Al Kahfi 28
[3] QS Al Kahfi 28
[4] Lihat QS Al Baqarah 246-248
Foto diambil dari: http://kalaliterasi.com/wp-content/uploads/2017/05/n-JEAN-JULLIEN-628×314.jpg