Laki-laki dan perempuan disejajarkan dalam sepuluh karakter yang menjadi pandu tujuan hidup. Emansipasi itu, dengan demikian, tidak sebatas pekerjaan duniawi tanpa ada imbas ukhrawi.
Perempuan, pada masa jahiliyah, bukan hanya tak sejajar dengan laki-laki, tetapi hampir tak punya kuasa apapun di tengah peradaban maskulin yang perkasa. Jika ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal dunia, kata Ibnu Abbas, maka janda dari si lelaki yang meninggal tidak punya banyak pilihan.[1] Para wali si mayat lelaki dianggap lebih berhak terhadap diri di janda. Jika ada yang menyukainya, maka ia berhak terlebih dahulu untuk mengawininya. Jika tidak ada yang suka, mereka boleh mengawinkannya dengan orang lain. Jika mereka pun menginginkan agar si janda tidak kawin, mereka boleh menahannya dan tidak mengawinkannya dengan siapapun.
Ikatan kebiasaan itu meluruh setelah Rasulullah ﷺ mendapatkan wahyu yang tegas: laa yahillu lakum an taritsun nisaa-a karhan.[2] Tidak halal bagi kalian mempusakai, mewariskan para istri yang ditinggal mati suaminya, dengan cara paksa. Para lelaki pun diingatkan agar tidak menyusahkan kondisi para perempuan, menempatkannya di pojok-pojok kesulitan sehingga para lelaki mendapatkan ruang untuk meminta balik mas kawin yang telah mereka berikan kepada istrinya. Ayat itu menjadi ayat kemerdekaan yang nyata bagi para perempuan. Insiatif emansipasi yang mendobrak laku jahil manusia yang terperangkap dalam tradisi bias jender. Secara sosiopolitik, ayat ini telah menjadi terobosan dan dobrakan yang teramat kuat di masanya – jauh sebelum tradisi non-emansipatorik jender musnah di tanah Eropa dan jajahannya.
Tetapi, kemajuan itu pun terasa masih mengganjal bagi para perempuan. Mereka merasa jarang dipanggil dalam ayat-ayat yang turun, dalam wahyu-wahyu yang makin menabal.
Kedatangan Ummu Salamah menjadi salah satu istri di Pondok Nabi ﷺ membawa angin perubahan yang signifikan. Ia adalah perempuan tipikal superior, berasal dari kelompok aristokrat. Berbeda dengan Aisyah dan Hafshah yang lebih dahulu menjadi istri Nabi ﷺ dan berasal dari kelompok kelas pekerja. Kedua kaum ini seringkali memiliki kepentingan yang berbeda – terlepas dari keimanan dan kepatuhan mereka kepada Rasulullah ﷺ. Ummu Salamah, dengan demikian, membawa ide dan pertanyaan dari perempuan-perempuan kelas atas dan sering mencari dukungan dari kelompok ketiga: ahlul bayt – orang-orang terdekat dalam keluarga Nabi ﷺ. Kecekatannya, juga kematangannya yang lebih unggul daripada Aisyah dan Hafshah yang pada masa itu masih remaja, berhasil menampung keresahan para perempuan. Ia lekas menjadi juru bicara para perempuan Madinah.
Pada suatu hari, ketika Ummu Salamah bersama Rasulullah ﷺ, pertanyaan itu dikeluarkannya dengan sopan. Maa lanaa laa nudzkaru fil Qur-aan kamaa yudzkarur rijaal?[3] Mengapakah kami para perempuan tak pernah disebut-sebut dalam Al Quran seperti para lelaki disebut-sebut?
Keresahan itu memang menggenang begitu saja di jiwa para perempuan Madinah. Mereka khawatir jika status mereka sebagai perempuan tak sama seperti status laki-laki di hadapan Allah, pahala dan ganjaran yang mereka terima tak sama besar dengan yang para lelaki terima dari kebaikan-kebaikan yang mereka kerjakan. Ayat-ayat yang turun dalam wahyu memang belum pernah spesifik menyebutkan perempuan – dalam dhamir-nya yang jelas. Jika pun ada, seruan-seruan itu bersifat umum, general, untuk laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali.
Manusia memang butuh sentuhan yang jelas, spesifik, dan personal yang merujuk pada diri mereka untuk benar-benar merasakan panggilan dan kedekatan. Fitrah itu selalu muncul. Kita yang tak pernah secara nyata dipanggil oleh pimpinan tak akan pernah merasa spesial. Di mana posisi kita, hanya ada terkaan dan sangkaan. Kita yang tak pernah dipanggil ‘sayang’ barangkali hanya merasa segalanya berjalan biasa saja apa adanya. Kita yang tak pernah dipanggil namanya, karakternya, sebutannya, ciri-cirinya, hanya akan tenggelam dalam rasa penasaran di tengah-tengah keumuman manusia lain.
Ummu Salamah tak mendapatkan jawaban apapun pada pertanyaannya yang pertama itu. Rasulullah ﷺ memang secara spesifik menyebut muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, pada khutbah-khutbahnya di atas mimbar. Tetapi, belum ada yang benar-benar keluar dari perangkat wahyu dalam Al Quran.
Hingga suatu saat, ketika Ummu Salamah menyisir rambutnya di pondok Nabi, ia mendengar sayup khutbah Nabi ﷺ di atas mimbar. Ia segera menggelung rambutnya, keluar dari biliknya, lalu menempelkan telinganya di dinding untuk mendengar. Kemudian Ummu Salamah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda di atas mimbar, “Wahai para manusia, sesungguhnya Allah berfirman.” Turunlah ayat yang ditunggu-tunggu para perempuan kala itu.
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar untuk mereka.[4]
Maka, lengkaplah kesetaraan jender dideklarasikan di dalam Al Quran dan Islam. Dalam agama ini, laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan tanggungjawab yang sama dalam penyerahan diri, keimanan, ketaatan, laku kebenaran, lapang kesabaran, jalan kekhusyuan, butir-butir sedekah – harta dan pengakuan keimanan, tirakat puasa, penjagaan kehormatan, dan basahnya lidah dalam zikir tak berkesudahan. Tak ada korting pahala antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada ketidakseimbangan upah bagi mereka yang penuh melakukannya tanpa menilai jenis kelaminnya. Yang tegak setelahnya adalah emansipasi ampunan dan pahala.
Kita memang telah jauh melanglang dari diskusi emansipasi. Modernitas zaman telah membawa perempuan dan laki-laki pada level yang sejajar. Mereka sama-sama dapat bekerja di ruangan yang sama, pada tingkat jabatan yang sama, pada besaran penghasilan yang sama, pada gelar pendidikan yang sama.
Tetapi, ayat emansipasi pahala ini memberikan penekanan yang unik. Laki-laki dan perempuan disejajarkan dalam sepuluh karakter yang menjadi pandu tujuan hidup. Emansipasi itu, dengan demikian, tidak sebatas pekerjaan duniawi tanpa ada imbas ukhrawi. Emansipasi itu bukan lantas dibiarkan lepas dalam ruang materialitas, tetapi harus terkendali penuh dalam tali spiritualitas. Emansipasi itu bukan tertanam belaka sebagai hak, tetapi tugas dan kewajiban yang sama kokohnya.
Ayat itu pula yang telah menanamkan tekad yang kuat bagi para perempuan untuk mewujudkan visi kesetaraan ini menjadi kenyataan di dalam amal dan aktivitas mereka sehari-hari. Allah seperti telah membuka jalan yang lempang – karena setelahnya, ayat-ayat kesetaraan itu melimpah. Bahkan, perempuan mendapat kehormatan menjadi nama surat dalam Al Quran – sebuah pemberian yang tidak didapat laki-laki. Dalam surat itu pula, perempuan diangkat martabatnya: bukan lagi tubuh yatim yang dapat dikawini sesuka hati tanpa persetujuan,[5] bukan lagi partner yang tak mendapat hak penuh atas mas kawinnya,[6] bukan lagi sekadar komoditas waris laki-laki dan tak boleh dipergauli semena-mena,[7] dan diberikan perangkat yang kuat ketika lelaki dikhawatirkan berbuat nusyuz atau tak acuh pada mereka.[8]
Ahmad Fuady
Rotterdam 1441
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam surat An Nisa: 19
[2] Lihat QS An Nisa: 19
[3] Peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An Nasai.
[4] QS Al Ahzab: 35
[5] Lihat QS An Nisa: 2-3
[6] Lihat QS An Nisa: 4
[7] Lihat QS An Nisa: 19
[8] Lihat QS An Nisa: 128-130
Gambar fitur diambil dari: https://www.voa-islam.com/read/liberalism/2019/06/29/65207/dehumanisasi-di-balik-emansipasi/