Fikih Sosial Madinah

11 mins read
1

Dari Hudaibiyah, Muhammad ﷺ dan kaum muslimin kembali ke Madinah. Kabar baik yang semasa di Hudaibiyah terhijab oleh prasangka kekalahan kini mulai terbuka sebagai kemenangan-kemenangan sejati. Orang-orang Islam di Mekkah yang tidak dapat pergi ke Madinah ternyata memberikan tekanan bagi Quraisy yang mereka tak sangka-sangka. Wanita-wanita Muslimah yang datang ke Madinah, sebaliknya, mendapatkan sambutan hangat karena perjanjian tak mengikat para perempuan secara khusus. Mereka pula yang menjadi sebab penjelasan wahyu yang turun setelahnya: fa-in ‘alimtumuuhunna mu-minaatin falaa tarji’uuhunna ilal kuffar.[1] Jika telah jelas keimanan mereka, pengakuan penyerahan dirinya ke dalam agama ini, jangan kembalikan mereka ke dalam dekapan suami-suami mereka yang masih kufur. Itu juga menjadi marka baru pernikahan lintas keyakinan yang tak diperkenankan.

Reformasi sosial di Madinah terus berlanjut. Lelaki beriman didorong untuk tidak mempertahankan pernikahan dengan istri-istri yang masih kufur: walaa tumsikuu bi’ishami kawafir.[2] Meski begitu, perceraian yang ditimbulkannya tetap harus mengedepankan aspek keadilan. Was-aluu maa anfaqtum wal yas-aluu maa anfaquu. Lelaki yang bercerai dapat meminta apa yang pernah mereka nafkahkan, dan perempuan yang bercerai – meski tak beriman – juga berhak meminta hak nafkah yang mereka telah keluarkan. Pembagian harta yang adil tanpa pandang bulu tetap harus ditegakkan, menjadi tonggak baru yang mengeliminir dominasi lelaki yang selama ini dilakukan secara serampangan.

Di ruang-ruang publik Madinah, orang masih melangsungkan kebiasaan Arab masa lalu. Jangan bayangkan Madinah masa itu adalah Madinah yang kita lihat saat ini dengan perangkat syariat yang lengkap dan sempurna. Pada masa itu, mereka kerap berkumpul, meminum khamr, bermabuk-mabukan, hingga berjudi. Aktivitas yang begitu menyenangkan bagi mereka untuk melepaskan penat dan menghibur diri.

Madinah kemudian lekas menjadi laboratorium fikih sosial pertama. Ia berbeda dengan Mekkah yang menjadi lumbung benih tauhid sehingga tak ada larangan meminum khamr dan bermabuk-mabukan di Mekkah. Perkara ini bukan poin utama di masa-masa awal penyebaran Islam dan pemantapan tauhid. Larangan khamr, dengan demikian, tak berhubungan langsung dengan tauhid karena kebiasaan itu tetap lestari berbelas tahun sejak wahyu pertama turun, setelah perang Badar dan Uhud lewat, setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati.

Larangan khamr tidak datang secara revolusioner sebagaimana ajaran tauhid disebarkan; mutlak tanpa ada pengecualian. Larangan khamr menjadi penanda reformasi sosial dan peletakan pondasi fikih sosial yang utuh. Ia datang mula-mula sebagai langkah preventif untuk mencegah kerusakan yang makin nampak ketika struktur sosial dinilai sudah cukup ajeg dan stabil untuk mengatur hal-hal yang sensitif. Tradisi lama yang begitu kuat tertancap tentu harus dilawan dengan kesigapan taktik bertahap.

Umar bin Khattab, dalam satu riwayat, merasa gundah dengan situasi sosial yang muncul selepas kaum muslimin mulai dapat menghirup udara segar lebih leluasa. Mabuk-mabukan, dengan begitu, mulai melampaui batas. Implikasi sosialnya tumbuh pesat dan menggelisahkan. Hingga Umar pun datang ke hadapan Muhammad ﷺ dan meminta fatwa dan penjelasan tentang bagaimana mengatasi gejala sosial yang mulai mengkhawatirkan. Allahumma bayyin lanaa fil khamri bayaanan syaafiyan, pinta Umar. Beri kami penjelasan mengenai khamr ini dengan penjelasan yang memuaskan.[3]

Tak ada jawaban yang tegas kala itu. Jibril hadir menyampaikan jawaban eksplisit, namun berimplikasi hukum yang ringan. Fiihimaa itsmun kabiirun wamanaafi’u linnaas.[4] Di dalam khamr – juga judi – itu berhimpun dosa dan manfaat. Wa itsmuhumaa akbaru min naf’ihimaa. Tetapi dosa keduanya lebih besar ketimbang manfaat yang didapatkan darinya. Sebuah larangan yang permisif. Melarang, tetapi tak juga menutup akses untuk menyesapnya. Orang-orang kemudian diberi ruang interpretasi dan logika untuk memilih setalah diberitahu konsekuensinya.

Tetapi, ayat ini tak banyak mengubah situasi. Orang-orang, ketika diberi pilihan yang leluasa, ternyata mengambil pilihan yang menyenangkan. Sama seperti kebanyakan dari kita. Jika ada dua opsi yang diperbolehkan, diperkenankan, akan memilih mana yang menyenangkan meski tahu konsekuensi yang telah dijabarkan sebelumnya. Kita memilih makanan yang enak meski telah dijelaskan betapa buruknya ia bagi tubuh. Kita memilih minuman yang nikmat meski tahu akan menggerogoti kesehatan. Kita memilih hal-hal yang tak haram, tetapi tak baik – meski paham betapa banyak bukti ilmiah menyebutkan keburukan akibatnya.

Masyarakat Madinah masih meminum khamr hingga menjelang waktu shalat. Pada saat mereka shalat, mereka tak tahu apa yang mereka ucapkan, tak sadar pada apa yang mereka lafalkan. Umar yang masih gelisah menghadap lagi kepada Muhammad ﷺ dengan permintaan yang sama. Allahumma bayyin lanaa fil khamri bayaanan syaafiyan. Maka, turunlah pula ayat pada saat itu; laa taqrabu shalaata wa antum sukaaraa.[5] Jangan lakukan shalat padahal kalian masih dalam keadaan mabuk.

Larangan itu dieskalasi. Ada peningkatan tekanan. Kalian tahu konsekuensi mabuk, kalian tahu manfaat dan ruginya bermabuk-mabukan, dan sekarang kalian tahu pula bahwa mabuk membuat kalian tak lagi sadar apa yang kalian katakan ketika menyembah Allah. Dan pada masa itulah muadzin yang memanggil orang-orang untuk shalat juga memberikan pengumuman tambahan: allaa yaqrabanna shalaata sakraan. Hoi-hoi, kalian yang mabuk, kalian tidak boleh melakukan shalat sampai kalian betul-betul sadar apa yang kalian katakan.

Sampai di titik ini, khamr bukanlah perkara substantif dalam agama. Ia menjadi masalah ketika menimbulkan kegelisahan sosial di tengah masyarakat, lalu berimplikasi negatif pula pada urusan ibadah. Ia tidak menjadi racun utama pembunuh tauhid, tapi menyimpan segala ancaman yang dapat meruntuhkan keteguhan iman, menyimpangkan jalan dari Allah, dan merusak tatanan masyarakat yang semestinya dibangun dalam kesalihan dan kebaikan.

Problem sosial semacam ini banyak menyeruak di tengah masyarakat, menjadi tradisi yang menyerang sendi-sendi kebaikan bermasyarakat. Boleh jadi belum ada dalil dan teks agama yang tegas atas pelarangannya, tetapi menimbulkan efek negatif sosial dan terbukti buruk secara saintifik. Melarangnya secara revolusioner, mendadak, keras, tanpa tedeng aling-aling, ketika masyarakat belum mampu mencernanya dengan baik dan tepat, boleh jadi memberikan dampak kontradiktif dari kebaikan yang yang diharapkan. Di sinilah kejelian da’wah dibutuhkan. Di titik inilah kearifan sosial diperlukan. Di konteks inilah pemahaman antropologis mampu menambah daya gedor kebijakan keagamaan demi mencapai kemaslahatan yang paripurna.

Umar terus menatap lingkungan sekitarnya. Orang-orang yang pada awalnya banyak meminum khamr mulai menurunkan kuantitasnya dan mengatur waktu minumnya agar tak mengganggu ibadah mereka. Tetapi, di suatu ketika orang-orang mengadakan pesta dengan sajian khamr. Lantaran bermain judi dalam keadaan mabuk, sebagian Muhajirin dan Anshor saling beradu mulut, berbaku hantam, saling menikam, hingga muncul rasa benci di antara mereka selepasnya. Umar kembali berdoa, Allahumma bayyin lanaa fil khamri bayaanan syaafiyan. Kemudian hukum tegas yang dinanti-nantikannya itu turunlah pula.

Khamr dan judi – sepasang aktivitas yang sering dilakukan bersamaan itu – kini bukan lagi sekadar dianggap permasalahan sepele. Ia menjadi problem serius karena yuuqi’a baynakumul ‘adaawata wal baghdaa-a,[6] menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia. Wa yashuddakum ‘an dzikrillah wa ‘ani shalah, dan menghalangi manusia untuk mengingat Allah dan mengerjakan shalat. Ini perkara buruk dan keji yang diprovokasi syaithan. Rijsun min ‘amalisy syaithaan.[7] Maka, ia mencapai eskalasinya yang sempurna, yang paling tinggi: fajtanibuuhu, jauhilah, tinggalkanlah. Fahal antum muntahuun, maka berhentilah kalian dari aktivitas semacam itu.

Larangannya kini qath-i, tegas, tidak lagi menyisakan ruang interpretasi lain yang membolehkannya. Mereka yang mendengar wahyu itu turun segera membuang stok khamr mereka, tak bersisa. Mereka yang masih memendam keinginan mencecapnya kini menahan diri untuk tidak menyentuhnya lagi. Sedih mendera hati mereka karena takwa yang tersemat di dada, hingga lirih pula hati mereka mengingat sahabat yang telah meninggal sebelum ayat larangan ini turun, “Apakah mereka berdosa, ya Rasulullah? Apakah mereka yang syahid di Badar dan Uhud itu juga berdosa karena ada sisa khamr yang memenuhi perut mereka di masa lampau?”

Tidak, kata Allah. Tidak berdosa apa yang telah lampau sebelum larangan ini ditetapkan jika mereka memang bertakwa, beriman, mengerjakan kebajikan, kemudian terus mengupayakan ketakwaan dan keimanan, kemudian terus melanggengkan usahanya untuk bertakwa dan tetap berbuat baik.[8] Logika keagamaan tak menuntut kesempurnaan, tetapi upaya manusia yang sinambung dan konsisten untuk berada dalam keimanan, ketakwaan, dan kebaikan. Yang telah lampau telah lewat. Yang tersisa bagi mereka adalah jalan untuk memperbaiki diri dan memenuhi seruan sekuat tenaga – meski dorongan untuk berpaling kembali kepada ajakan syaithan terus menggedor-gedor hasrat dan kecintaan nafsu mereka.

Fikih sosial itu tegak memancang di Madinah. Umar yang mendengarnya segera menutup hukum yang ditetapkan Allah dan RasulNya dengan rasa puas. Intahaynaa, intahaynaa, katanya. Kami telah berhenti, paripurna, tak akan mengerjakannya lagi.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

[1] Lihat QS Al Mumtahanah: 10

[2] QS Al Mumtahanah: 10

[3] Hadits Riwayat Imam Ahmad yang menjelaskan

[4] Lihat QS Al Baqarah: 219

[5] Lihat QS An Nisa: 43

[6] Lihat QS Al Maidah: 91.

[7] Lihat QS Al Maidah: 90.

[8] Lihat QS Al Maidah: 93

Gmabr fitur diambil dari: https://www.aljumhuriya.net/en/content/why-can’t-wine-poem-be-Islamic

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan