Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam (Saw.) tiba di Madinah dan menjumpai kelompok Yahudi yang telah lama bermukim di sana, pakta integritas disusun demi stabilitas politik dan kerukunan masyarakat. Tidak begitu sulit untuk menarik kelompok Yahudi. Selain karena kekuatan mereka lebih kecil –dan dengannya akan mudah ditaklukkan bila berbuat onar, mereka seakan-akan mendapat afirmasi keyakinan monoteismenya ketika Rasulullah Saw. membangun masjid pertama di Quba dan menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblatnya. Kelompok Yahudi bergembira ria.
Namun, Muhammad Saw. memahami kerinduannya sendiri. Mekkah dan seisinya memang nampak kejam, tapi berbulan-bulan selepas meninggalkannya, kerinduan menghadap Ka’bah –kiblat Ibrahim ‘alayhissalam (as.) – mengguncang-guncang dada beliau. Qad naraa taqalluba wajhika fis samaa-i. Allah memahami bahwa engkau, Muhammad, mengais-ngais pintamu ke langit di balik rindu yang menyengat-nyengat akan Mekkah.
Siang itu, Rasulullah Saw. mendapat jawaban kerinduannya. Fawalli wajhaka syathral masjidil haraam. Maka, Rasulullah Saw. mengubah arah kiblatnya menghadap Masjidil Haram. Orang-orang di masjid Bani Haritsah tengah shalat ketika mendapat kabar turunnya wahyu tersebut –yang juga dipercaya menjadi tonggak nasakh pertama dalam syariat. Laki-laki bertukar shaf dengan perempuan dan mereka pun menghadap kiblat barunya.
Namun, perubahan kiblat tak serta merta disambut suka cita. Kelompok Yahudi meradang, mencari-cari alasan untuk membatalkan pakta integritas dan berlepas diri dari kelompok Muhammad Saw. Mereka menyebarkan aroma busuk provokasi di tengah orang-orang yang limbung: maa wallahum ‘an qiblatihimu llaty kaanuu ‘alayha? Mereka ngambek sesuka hati. Akan kami turuti engkau, wahai Muhammad, jika kiblatmu digeser kembali menuju kiblat kami semula.
Kelompok Yahudi terjebak pada syahwat mereka sendiri. Mereka membangun narasi dan propaganda yang sesungguhnya memerangkap diri mereka dan orang-orang yang kurang akal dalam ‘formalitas kiblat’. Mereka mencari-cari alasan kecil dalam syariat sebagai dalih untuk meninggalkan substansi nilai agama yang lebih besar dan lebih pokok. Mereka mengungkit-ungkit betapa Muhammad Saw. mengkhianati kiblatnya semula sambil mencari jalan untuk mengingkari kepatuhannya kepada Allah.
Inilah daya rusak propaganda formalitas kiblat yang mengakar hingga hari ini. Kita meributkan hal-hal kecil dalam agama –yang bahkan Allah telah menunjukkan fleksibilitas hukumnya, tapi meninggalkan dan merusak nilai dan ajaran ketuhanan yang lebih besar. Kita menjebak diri kita dalam perayaan ritual formal, tetapi mengabaikan ajaran substantif dari agama ini.
Kiblat kita barangkali masih formalitas belaka. Para pemimpin menaruh janji di bawah sumpah kitab suci, tapi melanggarnya sendiri dengan kebijakan dan langkah politik yang tak bersesuaian dengan nilai-nilai di dalam kitab suci. Kakinya menginjak keras ke bawah, dadanya membusung tegak ke langit.
Kiblat kita barangkali masih formalitas belaka. Kita cerdik mencitrakan diri dalam seragam keagaaman dan menyusun jadwal ritual yang difestivalkan, tapi merawat kekeringan ruhani dengan melepaskan ajaran Muhammad Saw. untuk terus bersikap ruhamaa-u baynahum; berkasih sayang antar sesama. Ritual kita formalitas tak berjejas; belum mencapai yabtaghuuna fadhlan minallah, sehingga tak nampak pula fi wujuuhihim min atsaris sujuud. Kita merasa hebat dengan amar ma’ruf, tetapi diam-diam kita rusak gerakan kita dengan kemunkaran sendiri. Kita merasa bangga dengan kegembiraan Ramadhan, tapi puasa kita tak juga mampu menahan letupan syahwat untuk mengunjing, memakan bangkai saudara sendiri, melucuti kehormatan saudara seiman, dan menggoreng buhtan –kebohongan-kebohongan untuk mendiskreditkan mereka yang tak kita suka. Kita merasa takjub dengan foto-foto umrah dan haji di pelataran al Haram dan Nabawi, tetapi membiarkan mereka yang lapar di sekitaran untuk terus berkubang dalam kelaparan dan ketidakberdayaannya; menangguk keuntungan besar dalam kepentingan finansial kita sendiri dan menyingkirkan mereka yang lemah ke pinggiran batas yang kita sering abaikan.
Kiblat kita barangkali masih formalitas belaka. Kita mendeklarasikan platform gerakan islami, tetapi menempuh jalan dan strategi yang tidak membuat saudaranya sendiri selamat dari ulah lisan, tangan, kekuasaan, dan taktik politiknya. Kita menyebut manhaj, pedoman, dan filosofi kelompok yang mendaku Rasulullah sebagai patronnya, tetapi di saat itu pula mengkhianati ajarannya yang lemah lembut dan meninggalkan teladannya yang khuluqin azhim.
Tidakkah kita sering mendengar, bahkan mengulang-ulang, firman Allah yang begitu populer: laysal birra an tuwalluu wujuuhakum qibalal masyriqi wal maghribi. Kebaikan itu bukan perkara kita menghadap ke mana, bukan soal kita mendeklarasikan apa, bukan semata urusan kita mencantumkan visi apa, juga bukan sekadar isu tentang pernyataan siapa saja yang kita turuti langkahnya dan imitasi gerakannya. Kebaikan itu adalah keyakinan penuh kepada Allah dan segala pranata alam semestanya –akhirat, malaikat, kitab dan pedoman hidup. Yang dengan itu, jalan kita lurus dan tidak terjebak fatamorgana formalitas ritual. Kebaikan itu adalah mengeluarkan yang kita cintai dari kehidupan kita sendiri dan mengembalikannya di jalan yang hak, benar. Kebaikan itu adalah penegakan shalat dan penunaian zakat –proses dan langkah sepenuh hati untuk menyucikan diri dan sumber daya finansial. Kebaikan itu adalah penepatan janji dan sumpah, juga pengingkaran terhadap kemunafikan. Kebaikan itu adalah daya upaya untuk terus mampu bersabar dalam sempit dan lapang, menjaga lisannya dari keluh dan bantah terhadap Allah, dan memelihara dirinya dari kemungkinan-kemungkinan yang merusak dirinya, masyarakatnya, negaranya, semestanya.
Rasulullah Saw. menyayangkan siapa saja yang menempuh Ramadhan ini hanya sekadar lintasan hari-hari penuh rasa lapar dan haus. Jika hanya perkara menahan saja, urusan lebaran saja, soal THR saja, yang menjadi formalitas kiblat puasa kita; rugilah, rugilah kita.
Ramadhan, 14 Ramadhan 1439
Gambar fitur diambil dari: https://www.youtube.com/watch?v=T8bhE15jAa0