Sudah satu bulan kaum muslimin terkepung di kotanya sendiri, Madinah. Mereka tak dapat keluar, tak mampu leluasa beraktivitas. Meski hasil kebun dan ladang sudah ditumpuk dan dibawa masuk ke kota, persediaan yang banyak itu akhirnya menipis. Masih teringat jelas di kepala mereka bagaimana sebulan lalu hampir setiap laki-laki ikut menyumbang tenaga dan keringatnya untuk menggali parit besar di sisi utara kota. Mereka tertawa, riang gembira. Muhammad ﷺ, pemimpin mereka, bukan saja ikut masuk parit besar itu, tetapi bersama yang lain menggalinya, mencucurkan keringat terbaiknya, menumpahkan kuras tenaganya dengan senyuman terbaik di hadapan orang-orang yang semula gentar mendengar kabar seribu pasukan tengah berjalan dan akan menyerang Madinah.
Muhammad ﷺ bukan tipikal pemimpin pesolek, pencari like, pesohor media. Ia memiliki segala karakter yang dibutuhkan seorang pemimpin: berdiri di depan untuk memandu, bertahan di belakang untuk mendorong, menyeruak di tengah kerumunan untuk menyalakan semangat.
Tetapi, senyum itu perlahan menipis. Tempo satu bulan terkurung bukanlah waktu yang singkat bagi mereka. Anak-anak dan perempuan yang direlokasi ke puncak kota Madinah tak dapat terus bertahan lama di sana. Pasukan muslimin yang bersiaga di sekitar parit dengan kuda dan senjata mereka pun mulai kelelahan. Sedangkan di Timur kota Madinah, bisik-bisik orang Yahudi Bani Quraizah mulai membising. Mereka sesungguhnya terikat perjanjian damai dengan Rasulullah – tak ada perang dan tak ada serangan apapun dari pihak muslimin maupun Bani Quraizah.
Seorang lelaki kemudian datang mengagitasi. Huyay bin Akhtab an Nadri, namanya. Dia datang dengan rayuan maut yang begitu menggoda untuk melanggar perjanjian yang telah disepakati antara Bani Quraizah dan Rasulullah ﷺ. Inilah saatnya untuk mengalahkan Muhammad, katanya memprovokasi. Orang-orang Bani Quraizah pun takluk pada desakan agitatif dan dorongan internal mereka sendiri yang telah lama tak dapat menerima datangnya Nabi dan ajaran baru dari kalangan Arab. Dari Timur Madinah itulah, orang-orang Bani Quraizah mendeklarasikan dukungannya kepada Quraisy dan bersekutu dalam strategi besar. Mereka akan menyerang dari belakang, atau menyelundupkan orang ke dalam kota untuk membantai para perempuan dan anak-anak.
Di tengah kota Madinah juga masih bersisa sekelompok orang di bawah panduan silat lidah Abdullah bin Ubay bin Salul. Pada desas desus yang berkeliaran, Ibn Ubay – begitu ia biasa pula disebut – menuduh bahwa Muhammad ﷺ tengah membawa kehancuran kota Madinah. Strateginya dianggap buruk rupa. Keputusannya bertahan di dalam kota dianggap mereka hanya akan membuat celaka.
Di tengah gelombang serangan dan pengkhianatan itu, kaum muslimin tergoncang. Ancaman terasa datang dari segala sisi: min fawqikum wamin asfala minkum.[1] Dari atas dan dari bawah. Pasukan muslimin tercekat dalam keterkejutan yang bercampur kekhawatiran hingga mata mereka tak lagi sigap memandang – zaaghatil abshaar. Hati mereka, pikiran mereka, kekhawatiran mereka, bercampur aduk hingga menyesak ke tenggorokan – wa balaghatil quluubul hanajir. Pada situasi yang tak menentu itulah, dalam kepanikan dan kelelahan yang memuncak itulah, tazhunnuuna billahi zhunuuna, mereka mulai menerbitkan prasangka kepada Allah dengan berbagai macam prasangka.
Kita barangkali belum pernah berhadapan pada situasi ketakutan semacam itu. Beban hidup kita masih seputar diri personal sehingga ketakutan-ketakutan kita pun masih berkutat pada hidup yang tak tak mungkin abadi, pada pekerjaan yang pasti akan berkurang seiring usia, pada harta yang tak dibawa mati, pada anak dan keluarga yang didekap dengan cinta untuk kemudian berpisah. Tapi, justru pada ketakutan-ketakutan yang ‘kecil’ itu kita kerap hilang arah. Napas kita tercekat. Pikiran kita goyah. Jantung kita berdegup kencang. Prasangka kita terbit untuk mempertanyakan di mana Allah ketika kita membutuhkanNya.
Kita lupa jalan mana yang harus ditempuh untuk mendapatkan ketenangan jiwa. Kita sibuk mencari-cari pintu konsultasi manusia, membuka-buka literatur saintifik, menebak-nebak angin prediksi, tapi luput menafakuri langkah Abu Sa’id yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ: hal min syay-in naquulu faqad balaghatil quluubul hanaajir? Adakah sesuatu yang harus kami rapalkan, dzikirkan, rawat dalam lisan kami, ketika dada kami terasa sesak hingga tercekat rasanya tenggorokan kami ini?
Kita kerap mengabaikan jalan sunyi menuju langit. Faktor X yang tidak terekam dalam bukti strategi kuantitatif dan kualitatif manapun. Variabel metafisik yang tak terjamah mata dan tergenggam pena. Doa, kata Rasulullah ﷺ. Allahumma stur ‘awraatina wa aamin raw’aatinaa.[2] Ya Allah, tutuplah kelemahan kami, keburukan kami, kejelekan kami, aib-aib kami. Ya Allah, tenangkanlah pula rasa takut yang menyelimuti kami.
Purbasangka itu menggeliat, namun berupaya keras ditahan. Para pengkhianat dari kaum munafik mulai meramal masa depan yang buruk sambil tertawa-tawa. “Muhammad pernah menjanjikan kepada kita bahwa kita kelak akan memakan perbendaharaan Kisra dan Kaisar,”[3] kata mereka memulai ledekannya. “Padahal, sekarang seseorang di antara kita tidak mampu lagi untuk pergi ke tempat buang air besarnya.” Kota itu terkepung. Lockdown. Siapa yang mampu bertahan, mereka yang akan menang. Siapa yang masih menggantungkan harap besar kepada kekuatan Mahabesar tak kasat mata, merekalah yang meraih kesuksesan.
Inilah waktunya saling menguatkan geliat purbasangka. Anaa ‘inda zhanniy ‘abdiy,[4] kata Allah. Aku berada dalam prasangka hambaKu sendiri. Mereka yang lemah dalam purbasangka buruk mereka sendiri akan berkata, maa wa’adanallahu warasuuluhu illaa ghuruuraa.[5] Mereka menyangka bahwa Allah dan RasulNya tidak menjanjikan apa-apa kecuali kekosongan, kehampaan, dan tipu daya. Tetapi, mereka yang meyakini Allah bersamanya dan menjaganya, akan menjumpai Allah dalam rupa yang ia sangkakan itu. Mereka akan menyangkakan kebaikan: lan yanfa’akumul firaaru in farartum minal mawti awil qatli.[6] Yang berlari dari kenyataan, dari ketidakberdayaan, dari ketakutan, dari persangkaan buruknya akan masa depan, tidak akan menjumpai manfaat besar apapun di kemudian hari. Kematian – seberapapun beratnya – hanya akan terasa mulia dalam kesabaran dan keteguhan.
Masalah apa yang begitu berat kita hadapi saat ini? Maka, pejamkanlah mata sejenak, lalu bayangkan diri berada terjebak di dalam kota, tak mampu ke mana-mana, dilingkupi ketakutan yang teramat sangat, lalu melihat sebanyak-banyak orang tengah berucap: man dzalladzi ya’shimukum minallahi in araada bikum suu-an aw araada bikum rahmah walaa yajiduuna min duunillahi waliyyan walaa nashiiran.[7] Itulah seutuh-utuhnya prasangka baik. Itulah sebenar-benarnya keteguhan. Itulah sekuat-kuatnya keyakinan. Tidak ada yang mampu melindungi diri sekuat apapun jika memang Allah telah menghendaki keburukan atau kebaikan atas diri kita karena memang Dialah yang memiliki Kuasa Mutlak untuk melakukannya – untuk menjadi sebenar dan sesejatinya Pelindung dan Penolong.
Kisah satu bulan yang terasa amat panjang itu akhirnya berakhir pula. Bukan oleh kekuatan fisik, strategi, pedoman, panduan, atau bala tentara. Tetapi, oleh kekuatan pasukan yang tak kasat mata. Junuudan lam tarwhaa.[8] Pasukan muslimin menjauh dari parit dan berkemas masuk ke sisi dalam kota. Sedangkan angin kencang menyapu tenda-tenda orang Quraisy di luar Madinah, meluluhlantakkan persediaan persenjataan mereka, merobohkan mental pasukan mereka, hingga mereka pulang ke Mekkah dalam kekalahan tak terduga yang begitu memalukan.
Persangkaan baik telah dimenangkan.
Ahmad Fuady
Rotterdam 1441
[1] Lihat QS Al Ahzab: 10
[2] HR Imam Ahmad. عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قُلْنَا يَوْمَ الْخَنْدَقِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ مِنْ شَيْءٍ نَقُولُ، فَقَدْ بَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “نَعَمْ، قُولُوا: اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِنَا، وَآمِنْ رَوْعاتنا”. قَالَ: فَضَرَبَ وُجُوهَ أَعْدَائِهِ بِالرِّيحِ، فَهَزَمَهُمْ بِالرِّيحِ “Dari Abu Sa’id, ia berkisah, ‘Kami pada hari Perang Khandaq bertanya: Ya Rasulullah, apakah ada sesuatu doa yang harus kami ucapkan, karena hati kami naik menyesak sampai ke tenggorokan? Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya, ucapkanlah: Ya Allah, tutupilah kelemahan kami dan tenangkanlah rasa takut kami.” Abu Sa’id r.a. melanjutkan kisahnya bahwa lalu Allah mendear musuh-musuhnya dengan angin yang keras dan mengalahkan mereka dengan angin itu.”
[3] Perkataan Mu’tib bin Qushair yang dinukil Muhammad Ibnu Ishaq, dan dikutip Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya ketika membahasa QS Al Ahzab: 10.
[4] Hadits qudsi, “أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي ، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
. “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat)” HR Muttafaq alaih.
[5] Lihat QS Al Ahzab : 12
[6] Lihat QS Al Ahzab : 16
[7] Lihat QS Al Ahzab : 17
[8] Lihat QS Al Ahzab: 9
Gambar fitur diambil dari: https://www.abanaonline.com/2017/04/kisah-perang-khandaq-nabi-muhammad-lengkap.html
syukron ust A Fuady. mencerahkan