Gubernur Wajar Dengan Pengecualian

7 mins read
2

Suatu hari, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu (ra.) memutuskan berkunjung ke Homs –bagian kekuasaan Islam di sekitaran Syiria yang menjadi sarang pemberontakan kedua setelah Kufah. Ia teringat bagaimana ia memutuskan siapa lelaki yang akan dikirimkannya sebagai gubernur di daerah modern, pusat perdagangan, dan penuh godaan dan rangsangan duniawi. Lelaki yang dipilihnya itu bernama Sa’id bin Amr ra. Ia berkali-kali menolak permintaan Umar, tapi Umar bersikukuh. “Apakah kalian ingin membebankan amanah dan khilafah di pundakku, lalu kalian pergi semua meninggalkanku?” kata Umar kepada Sa’id. Dan, Sa’id tak punya pembelaan apapun lagi di hadapan Umar. Ia berangkat menuju Homs bersama istri yang baru dinikahinya.

Di pusat kota Homs, Umar berkumpul dengan rakyatnya. Ia sudah tahu bahwa Sa’id disenangi rakyat yang dipimpinnya. Tapi, di balik mereka yang mencintai Sa’id, selalu saja ada orang yang tak menyukainya. Umar memutuskan mengaudit sendiri gubernur yang dipilihnya. Audit kepemimpinan dan penelanjangan di hadapan publik.

Jika ada 60% rakyat mengatakan pemimpinnya baik, sisanya barangkali mengatakannya buruk. Memang, begitulah hidup. Tidak semua dapat dipuaskan, bahkan sebagiannya akan mencari celah untuk menjatuhkan. Selalu ada peluang munculnya keluhan; besar ataupun kecil. Selalu ada ruang untuk kritikan, serangan politik, atau desas-desus miring yang diumbar di ruang publik.

“Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id?” tanya Umar. Banyak yang menyorong ke depan, menunjuk tangan, dan memamparkan kritikan tajamnya untuk Sa’id. Seorang juru bicara maju. Ia nampak seperti politisi dan berharap gebrakannya di depan Umar membuka celah untuk turun tahtanya Sa’id dari Homs.

“Empat perkara yang kami keluhkan dari Sa’id,” katanya membuka dakwaan. Pertama, Sa’id tak pernah keluar menemui rakyatnya hingga menjelang siang. Kedua, Sa’id tak mau melayani rakyatnya di malam hari. Ketiga, dalam satu bulan, selalu ada dua hari yang Sa’id tak keluar rumahnya dan menemui rakyatnya. Itu menyusahkan rakyat, katanya. Terakhir, ia seringkali mendadak jatuh pingsan. Itu sebenarnya bukan kesalahan Sa’id sepenuhnya, tetapi itu benar-benar mengganggu rakyat.

Sa’id dicintai, tetapi ada banyak catatan yang diterimanya dari rakyatnya sendiri. Ia mendapat status : wajar dengan pengecualian. Ia harus kembali ke hadapan Umar dengan kepala yang tertunduk pasrah. Sekalipun tak ada catatan pengecualian dari rakyatnya, Sa’id pun tak akan merayakannya. Ia mengerti benar bahwa tak ada sejentik kekeliruan pun yang luput dari pandangan Allah.

Umar sudah duduk di hadapannya. Sa’id diperkenankan membela diri. “Aku sebenarnya tak ingin mengumbar cerita ini,” katanya menjawab tuduhan pertama. “Keluarga kami tak punya pelayan, jadi aku sendiri yang membuat adonan tepung dan membiarkannya sampai mengembang. Lalu, aku membuat roti sendiri dan shalat dhuha setelahnya. Baru setelah itu, aku keluar menemui rakyatku.” Itu yang menyebabkannya baru dapat keluar rumah menjelang siang. Umar tersenyum menerima jawaban pertamanya.

“Yang kedua?” Umar memburunya. “Aku pun sebenarnya tak suka menyebut-nyebut alasanku ini,” jawabnya tertahan. “Aku telah menyediakan siang hariku untuk rakyatku. Malam hariku kuserahkan sepenuhnya untuk Allah Ta’ala.” Umar berseri-seri lagi. Ia tak menemui kesalahan Sa’id hingga jawaban keduanya.

“Aku memang tak keluar di dua hari setiap bulan,” lanjut Sa’id. “Aku tak punya pelayan yang mencuci bajuku, sedangkan aku tidak punya baju lain selain bajuku satu-satunya ini. Jadi, aku mencuci bajuku di pagi hari dan menunggunya sampai kering sebelum aku memakainya lagi. Begitulah, sehingga aku baru dapat keluar menemui rakyatku di akhir siang.”

Umar tertegun. Tak ada kata-kata keluar dari mulutnya hingga Sa’id mulai menjawab dakwaan keempat. “Aku seringkali mendadak pingsan karena satu sebab. Dulu, saat di Mekkah, aku sempat menyaksikan Khubaib al Anshari jatuh tersungkur. Tubuhnya disayat-sayat oleh orang Quraisy dan tubuhnya diseret-seret. Khubaib ditanya, ‘Maukah kau jika Muhammad menggantikan posisimu saat ini, disiksa, dan kau bebas sehat wal afiat?’ Khubaib saat itu menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak ingin berada dalam kesenagan dan keselamatan dunia bersama anak istriku, sementara Rasulullah Saw. ditimpa bencana walau hanya oleh dua tusukan duri sekalipun.’ Aku masih dalam keadaan musyrik kala itu, dan aku tak membantunya sedikitpun untuk keluar dari penyiksaan. Setiap aku teringat peristiwa itu, tubuhku gemetar. Aku takut siksa Allah.”

Pipi Sa’id mulai membasah. Air matanya hangat mengalir. Ia terseguk-seguk dan membuat Umar tak mampu menahan rasa harunya sendiri. Umar kemudian memeluknya erat-erat. “Alhamdulillah, dengan taufikNya, firasatku tak meleset,” kata Umar.

Catatan dakwaan itu tertolak sudah. Serangan-serangan politik terhadap Sa’id memantul balik. Ia telah meletakkan standar tinggi bagi gubernur-gubernur lain setelahnya –juga gubernur-gubernur dan pemimpin masa kini. Sa’id bukan tidak kaya. Tunjangan kinerjanya melimpah. Tunjangan jabatannya meruah. Namun, ia hanya mengambilnya sedikit sesuai kebutuhan keluarganya, dan menyerahkan sisanya kepada mereka yang tak beruntung.

Ia menutup ruang bagi praktik korupsi dan kolusi. Bukan karena ia takut komisi pemberantas korupsi buatan manusia. Bukan. Ketika ada yang membujuknya untuk melonggarkan nafkahnya untuk keluarganya, ia teringat pesan Rasulullah Saw. bahwa orang-orang miskin dan beriman akan masuk ke surga pada rombongan pertama, tak tertahan karena perhitungan harta yang ditumpuknya semasa di dunia. “Aku tak ingin ketinggalan rombongan pertama,” jawabnya.

Sa’id pun menjadi gubernur ‘wajar dengan pengecualian’ yang terekam manis dalam catatan sejarah. Kisahnya direplikasi jutaan kali di mimbar-mimbar nasihat. Namun, apakah telah nampak mereka yang menempuh jalan Sa’id; yang mengambil jalur sunyi kepemimpinan tanpa kemewahan; yang rela bila rakyatnya menyusun daftar catatan dan kritikan; dan yang mengerti bahwa kritik, teguran, dan sabotase Allah jauh lebih mengerikan?

Kita tak pantas terperdaya. Susunlah kriteria serupa Sa’id, lalu carilah ia yang bersepakat dengan kriteria itu di tengah belukar demokrasi yang ganas, penuh polesan citra, dan karakter artifisial.

Rotterdam, 20 Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: https://sleekr.co/blog/jenis-opini-audit-laporan-keuangan/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan