Tidak ada manusia yang sebenar-benarnya jahat di muka bumi. Yang ada adalah manusia yang kerap kali lupa dan terlalu bergegas untuk menyangkal dan menepis ide-ide yang tidak menyenangkan akal pikirannya sendiri.
Itulah mengapa Allah ﷻ datang kepada manusia lewat lisan Muhammad ﷺ dalam beragam bentuk upaya mengingatkan. Tidak ada sesuatu yang canggih, modern, dan kompleks sehingga manusia butuh berhari-hari untuk memikirkan apa yang diceritakan Muhammad. Ia ummiy, tak belajar baca tulis secara formal, apalagi seorang sarjana yang menulis ratusan artikel di jurnal terkenal berindeks A sampai Z. Tidak. Muhammad hanya mendorong akal dan nalar berjalan untuk berpikir dan kembali mengingat apa yang terlupa.
Quraisy yang tamak itu tak diajarkannya tentang bahaya inflasi. Mereka hanya diajak melihat kembali unta – hewan yang mereka kembangbiakkan sebagai kendaraan, sembelihan, sekaligus perahan. Hewan yang berbentuk aneh, berbadan kuat, tapi sebegitu lemah dan tunduk di hadapan manusia. Allah mempertanyakannya dengan begitu santun, “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan.”[1] Tak ada pula pertanyaan yang jauh dari indera Quraisy – tentang langit yang dapat berdiri tanpa tiang, tentang gunung yang tegak memancang, tentang bumi yang luas menghampar. Allah memberi ruang agama ini agar dipahami seluruh tingkat manusia; dari yang tak belajar huruf hingga yang gelarnya berderet tak berujung.
Ruang gerak Quraisy di masa lampau adalah ruang gerak kita di masa kini. Allah mengerti betapa seringnya kita alpa. Allah begitu paham betapa nafsu kita sering menggeliat tak terkendali bagai kuda liar yang menyongsong ke arah mana pun dan menabrak apapun yang tak dikehendakinya. Tapi, lihatlah Allah –yang betapapun membangkangnya Quraisy, Dia tetap berbicara secara intim lewat pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan: tidakkah kau melihat, mendengar, memikirkan?
Allah tak memberi jawaban di akhir setiap pertanyaan. Secara gramatikal, pertanyaan-pertanyaan itu retoris, menghubungkan kita ke dalam satu kesadaran yang telah lama kita tinggalkan. Kita lupa kelemahan diri sendiri karena seringnya kita takjub pada segala pencapaian yang telah kita raih. Kita tak mengerti ketergantungan dan ketidakberdayaan kita karena rasa kagum dan angkuh yang kita tumpuk sendiri sedikit demi sedikit. Kita alpa mencari ruang untuk menelaah diri –bahwa kita tak pernah menjadi siapapun di dunia ini tanpa Allah yang menyangga segala pernik yang tak pernah kita pikirkan secara detail dalam otak dan strategi hidup kita.
Maka, pertama kali Allah mendeskripsikan diriNya dalam kasih sayang. Betapa Dia telah menyempurnakan pemeliharaan atas hidup kita –manusia yang kerap congkak dengan dunia yang telah ada di genggamannya. Pada mulanya, Allah berujud pada karakternya yang penuh welas kasih, perhatian, pemenuh rizki, penumbuhkembang, penguat, dan penyemangat.
Dia adalah seutuh-utuhnya Rabb –pemelihara yang tak mungkin dapat disangkal siapapun di muka bumi ini. Bahkan, Quraisy yang membangkang sekalipun. Muhammad berkali-kali diminta Alah mengusik akal pikiran mereka: siapa yang memberi rezeki dari langit dan bumi, yang menurunkan air dari langit, yang menciptakan segenap makhluk, yang menguasakan pendengaran dan penglihatan untukmu, yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, yang mengatur segala urusan?[2] Berkali-kali itu pula Quraisy tersudut. Tak menemukan jawaban apapun yang lebih tepat, kecuali Allah.
Sebegitu dekatnya Allah, ia meminta manusia berlindung kepada diriNya yang penuh welas asih itu terlebih dahulu. Dia tak menampakkan diri mula-mula sebagai penguasa, sebagai sesuatu yang patut dipuja-puji, diidolakan sepenuh jiwa dan hati. Tidak. Allah dekat dalam kasih sayang sehingga Dia hadir di hadapan manusia sebagai pelindung yang menenteramkan. Ia berkomunikasi dalam gramatika yang intens dan empatik, “Katakanlah; aku berlindung kepada Rabb-nya manusia,”[3]–yang selama ini melindungi, mengasihi, mencurahkan nikmat dan rizki, menyiapkan segala perangkat hidup yang tak habis-habis di muka bumi.
Allah tak datang terlebih dahulu dengan malikinnaas[4] –kekuasaan, kelebihan, dan kedigdayaanNya atas manusia. Allah juga tak hadir serta merta dengan ilaahinnaas[5] –kepantasanNya sebagai satu-satunya sesembahan, idola yang dipuja semesta. Seperti itu pula Allah hadir di setiap rakaat shalat kita mula-mula sebagai wujud rabbil ‘alamiin, sebelum ia menghadirkan diri sebagai maliki yaumiddiin dan tempat kita na’budu wa nastaiin.[6] Allah mengajarkan pola hidup yang sederhana, yang kerap kita tinggalkan dalam ruang kosong kealpaan kita.
Kita seringkali berupaya menyeruak di ruang keluarga, di ruang publik, dan di ruang semesta dengan hasrat kekuasaan yang mendesak-desak. Menjadikan telunjuknya adalah perintah yang tak boleh dibantah. Membatasi jarak antara kita dan mereka yang kita anggap lebih rendah. Di ruang keluarga, orangtua menjadi manusia dengan daftar perintah yang berulang –kadang dengan teriakan dan ancaman. Di ruang publik, pemerintah adalah mikrofon tunggal yang tak dapat dikritik. Podiumnya tinggi, dengan anak tangga berulir yang tak boleh dijangkau rakyatnya sendiri. Kasih sayang terdepak jauh ke pinggir, menjadi bunga pelipur yang manis hanya di musim semi politik.
Kita seringkali berupaya menyeruak di ruang keluarga, di ruang publik, dan di ruang semesta dengan keinginan besar untuk dipuja dan menjadi idola, tetapi tak memupuk rasa sayang dan perhatian yang sebenarnya. Kita berupaya menjadi artis panggung di meja makan keluarga sendiri dengan menuntut anak-anak mengikuti semua yang dibicarakan dan dinasihatkan. Kita cemburu kepada artis dan tayangan yang dengan mudah diikuti anak-anak. Kita bersikeras menepuk dada sebagai teladan yang patut dicontoh, tapi luput memasuki hati mereka yang rindu kebahagiaan dipeluk dan dicurahkan perhatian.
Kita bersikukuh menempuh jalan politik dengan menumpuk citra baik lewat poster, iklan, dan media sosial agar rakyat dan konstituen menempatkan kita sebagai idola. Tetapi, kita kikir memberikan pengayoman, petunjuk jalan, dan bimbingan kepada mereka agar tegar menjejak masa depan. Kita memupuk diri sebagai idola semata wayang. Kita seringkali menempatkan diri jauh lebih besar dari sistem, lebih kokoh dari dunia, lebih megah dari Allah, sehingga kita merasa telah menggenggam kepastian-kepastian hidup yang sesungguhnya nisbi.
Kita luput untuk belajar lebih banyak dari Allah. Dia yang dengan sabar menuntun manusia untuk merasakan kehangatanNya, bukan citra diriNya. Sehingga ketika Allah bertanya usil kepada kita, “Siapa? Siapa?” Kita tak berdaya untuk menjawab selain “Allah.” Sehingga ketika Allah bertanya lagi, “Siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?”[7] kita lantas tertunduk malu.
Kita tak jahat. Seperti kebanyakan manusia yang tidak secara inheren jahat di muka bumi ini. Kita hanya seringkali luput dan terlalu lekas ingin disanjung dan diidolakan. Kita hanya kerap kali tergesa-gesa untuk menolak apa yang tak direstui hati kita. Kita sombong dalam wujud idola palsu di ruang publik, ruang keluarga, bahkan ruang hati sendiri yang sering begitu rapat kita kunci.
Rotterdam, Muharram 1441
Foto fitur diambil dari: https://www.riaria.com/read/4-tips-hemat-biar-gak-boros-nonton-konser-idola
[1] QS Al Ghasyiyah 17-20
[2] Lihat QS Yunus 31, QS Zukhruf 87, QS Al Ankabut 63
[3] QS An Naas 1
[4] QS An Naas 2
[5] QS An Naas 3
[6] QS Al Fatihah 2-4
[7] QS An Naml 62