/

Imsak Kebenaran

3 mins read

Apa yang kita harapkan dari Ramadhan: dunia ditata sedemikian rupa untuk kita, atau kita menata diri untuk dunia yang kita hadapi? Tak banyak, sesungguhnya, yang kita pahami dari petuah Rasul dalam riwayat yang sahih – puasa itu perisai. Kita hanya menghendaki puasa yang tenang, damai,  dan tenteram sambil menukil-nukil perkataan Rasul pada riwayat yang lain – ketika datang Ramadhan: pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Kita seringkali lupa bahwa yang membentuk perisai, tameng, hingga sebegitu tebal dan kuat adalah diri kita yang menahan hawa. Yang membelenggu setan dan melempangkan jalan kita ke depan pintu surga sepenuhnya berada dalam kuasa keinginan kita.

Hawa nafsu manusia bertingkat, dan dengan itu pula puasa kita punya tingkatan kualitasnya masing-masing. Pada level yang paling rendah, hawa nafsu melonjak-lonjak dalam rasa haus dan lapar, keinginan makan dan minum dengan rasa yang paling disuka. Juga nafsu berahi –yang semuanya mesti dikekang sepanjang subuh hingga maghrib.

Ada hawa lain yang seringkali luput kita sadari bentuknya: hawa kebenaran. Ketika tak mampu mengendalikannya, kita berperan seperti Iblis, menyorong-nyorongkan diri sendiri bahwa tidak ada satupun yang lebih baik, kecuali dirinya. Hawa kebenaran yang tak terkendali itu membawa kita pada sifat yang disabdakan Rasul – menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Keangkuhan inilah yang menjadi pintu masuk perangai lain: berkata kotor, berlaku jahil –tak bernalar, penuh tengkar dan permusuhan.

Hari ini semua merasakan tengah menggenggam kebenaran, yang dengannya tak boleh satu orang pun berlainan pandang. Ketidakkuasaan kita menahannya hanya akan memisahkan diri dari kebenaran yang sejati. Kita memilih untuk menerapkan marka: aku benar dan engkau salah. Dan, ketika tak lagi ada rasionalitas yang diterima lawan, kita merendahkannya dalam rupa-rupa kalimat yang semakin lama semakin tak berasa kezalimannya. Kita abai, lalu kebas dan mati rasa. Kita tak tahu lagi mana kebenaran yang kita susun permintaannya dalam doa: Ya Allah, tampakkanlah kepada kami bahwa yang benar adalah benar, dan berikan kami hendaya untuk mengikutinya, berselaras kaki dan hati bersamanya.

Sebelum berbuka dari puasa, marilah tengok sejenak ke rumah hati kita,  wajah halaman sosial kita, jejas ketik dari gawai kita yang tak henti digenggam seharian. Adakah sisa keangkuhan dari ketidakmampuan kita menahan kebenaran. Ber-imsak dari kebenaran yang mendesak-desak hingga merendahkan yang lain, memicu amarah dan menyebar fitnah.

Sebelum menyantap hidang selepas maghrib, marilah memanggil Rasul duduk melingkar bersama. Lalu, bertanya barang sejenak: apa yang membuatmu tetap lembut dan lurus meski Allah telah mendeklarasikan kebenaranNya terus bersamamu, Duhai Nabi?

Rotterdam, Ramadhan 1438

Foto diambil dari: http://media.nationalgeographic.co.id/daily/640/0/201507091243859/b/foto-kebenaran-sebagai-penghubung-musik-dan-agama.jpg

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan