Innalillahi, Mudik!

6 mins read

Barangkali ini Catatan Ramadhan terakhir tahun ini, 1439 H. Selayaknya sebuah akhir, ia akan pamit dan kembali. Namun, ke mana harus kembali, ke mana harus mudik, dan ke mana harus menemukan kampung halaman lagi?

Mudik itu sesungguhnya pelipur lara dari sedih dan gundah. Mudik itu pencapaian puncak dari segala aktivitas, misi, dan perjalanan hidup. Apa yang kita lihat di puncak, di ujung? Ketiadaan. Kekurangan. Kelemahan.

Ketika kita sibuk mencari nafkah di kota, menjadi lelaron pemangsa rejeki, menaiki tangga posisi jabatan dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, merangkaki nilai gaji yang menanjak, menyesapi kebanggaan gelar, ilmu dan profesi, kita toh masih ingin pulang ke kampung. Pada makna paling superfisialnya, yang kita genggam di dunia ini tak ada harganya bila tak dibawa kembali ke tengah keluarga. Ia hampa jika dibiarkan sendirian. Kebanggaan-kebanggan dunia kita tak bisa kita rayakan sendiri, kan? Harus ada penonton, harus ada oponen, harus ada ruang yang memungkinkan orang melihat dan menilai.

Mudik itu sesungguhnya memang pelipur lara dari sedih dan gundah. Kita hanya tak secara sadar merasakannya. Kita terkesima dengan ornamen artifisal di sepanjang rencana perjalanannya, di tengah kemacetannya, di gemuruh dada yang melonjak-lonjak kegirangan. Sebagiannya, bahkan, disibukkan dengan urusan politis yang tak substantif, saling sindir dan cela yang tak bermanfaat.

Adam alayhissalaam (as.) juga terkesima dengan kampung halamannya sendiri, dengan buaian Iblis bahwa ia akan hidup kekal selamanya di surga. Ia terbujuk mengambil yang bukan haknya, lalu tergelincir. Sejak saat itulah, kita sesungguhnya tengah berjalan keluar kampung, menempuh rantau jauh untuk mengemban tugas Allah: bukan sekadar mencari nafkah dan rejeki, tetapi mengatur urusan muka bumi dengan petunjukNya. Sejak saat itulah, kita sebenarnya tengah beranjak ke ‘kota’, ke cahaya lampion-lampion. Kita menjalani kesepakatan yang sudah Allah gariskan, walakum fil ardhi mustaqarrun wa mataa’un ilaa hiin. Bagi kita, telah disediakan ruang tumbuh dan berkembang di muka bumi, ruang eksplorasi jati diri, dan kesenangan-kesenangan hidup di dalamnya hingga satu masa saja yang ditentukan.

Ketika Adam as. memohon ampunan, kemudian Allah mengampuninya, kita sesungguhnya tengah berupaya memahami bahwa titik pijak mula-mula kita hanya satu: innalillahi. Kita ini milik Allah. Hidup kita sepenuhnya bergantung kepadaNya. Keberkahan dunia kita, ketidak-tersesatan kita, kemudahan dan ketidaksulitan kita, harus dicari dari rimbun rahmat dan rahimNya. Karena innalillahi itulah, kita bersandar bahwa faman tabi’a hudaaya falaa khaufun ‘alayhim walaa hum yahzanuun. Siapa saja yang mengikuti petunjuk Allah, dia tidak akan khawatir, tidak penuh gundah gulana, tidak diselimuti cemas yang bertumpuk-tumpuk, dan tidak dibebani kesedihan yang tak berujung.

Apa yang diajarkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu (ra.) ketika didapuk menjadi khalifah pengganti Rasulullah Saw? Ia berucap, Innalillahi. Apa yang dicontohkan Umar bin Khattab ra. ketika menggantikan Abu Bakar ra. yang wafat? Ia berucap, innalillahi. Di titik ketika manusia beranggapan itulah nikmat dunia sesungguhnya, Allah harus diletakkan sebagai titik mula sekaligus titik balik. Karena selepas innalillahi, kita harus mudik. Kita harus menempuh perjalanan balik. Kita harus menjalankan misi yang selalu mengembalikan hakikat strategi dan kiblat keinginan kita ke kampung sesungguhnya: Allah. Karena kita meyakini, selepas innalillahi, ada wainnaa ilaihi raji’uun. Itulah sebenar-benarnya mudik.

Maka, mudik itu bukan sekadar di ujung Ramadhan, bukan semata menjelang lebaran. Mudik itu perkara sehari-hari kita. Mudik itu urusan yang berkelanjutan di setiap titik takdir yang kita tempuh. Mudik itu proses menempatkan diri pada posisi kita yang tak memiliki daya di hadapan Allah. Mudik itu perjalanan syukur dan sabar yang tak habis-habis.

Idzaa ashaabathum mushibah, jika ada satu hal menimpa kita, lepas dari apakah itu nikmat atau bencana di mata manusia, kita pantas mendengungkan dalam hati untuk mencari jalan mudik. Bukan sekadar berucap innalillahi wa innaa ilaihi raji’un di ujung lisan, tetapi memahami ketidakberdayaan kita, mengerti keterbatasan kita, dan menyadari bahwa tak ada jalan yang lebih baik, kecuali berbalik ke Allah dan memintaNya melepas semua kegundahgulanaan yang ada.

Mudik itu sesungguhnya memang pelipur lara dari sedih dan gundah. Dan, jika kita benar-benar mengerti bahwa kesedihan tak akan pernah habis tertampung di dada dan pelukan manusia, jika kita sungguh-sungguh paham bahwa hasrat tak akan pernah mampu dibendung di dalam hati dan jiwa, mudik adalah jalan keluarnya. Kembali ke Allah, kembali ke Allah.

Ia bukan sekadar membincangkan lebaran. Bukan pula semata-mata berbicara tentang kematian. Mudik itu adalah detak napasnya orang beriman –yang tahu ke mana ia kembali dan mengembalikan dirinya, visi dan strategi hidupnya.

Semoga Allah menerima amalan Ramadhan kita, perjalanan puasa kita. Taqabballallahu minna wa minkum, shiyaamanaa washiyaamakum. Semoga pula Allah menjernihkan hati dan pikiran kita agar tak tersesat dan dapat memilih jalan terbaik untuk selalu mudik –dalam senang dan duka dunia.

Rotterdam, Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: https://www.kricom.id/dilintasi-400-ribu-kendaraan-tiap-hari-puncak-arus-mudik-di-solo-diprediksi-hari-ini

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan