Jalan Damai Muhammad

10 mins read
4

Ketika sebuah pasukan memenangkan pertempuran berkali-kali, berada di atas angin, bahkan dalam jumlah dan kekuatan yang semula jauh lebih kecil dari penantangnya, orang-orang menduga bahwa mereka akan dengan mudah menghabisi lawan-lawannya di kemudian hari. Kekuatan baru telah muncul selepas ekspedisi Dzatur Riqa, perang parit, dan penumpasan pengkhianatan Bani Quraizah. Orang-orang di jazirah Arab menduga-duga kapan waktu Muhammad ﷺ dan pasukannya akan menghancurkan Mekkah, kota tempat muasal mereka terusir.

Tetapi, tidak demikian bagi Muhammad ﷺ. Hari itu, mendadak Muhammad ﷺ menyampaikan pengumuman yang mengejutkan: ia berniat pergi berhaji. Pikiran itu melintas selepas mimpi yang datang bahwa dirinya tengah berdiri di tanah Mekkah, menggunakan pakaian haji, bercukur laiknya seorang peziarah haji, dan memegang kunci Ka’bah. Diungkapkannya rencana itu, lalu diajaknya para sahabat untuk turut serta dengan catatan bahwa perjalanan ini bukanlah ekspedisi militer. Dengan begitu, tak ada satu pucuk senjata pun yang diperkenankan untuk dibawa. Beberapa pisau berburu untuk menyembelih binatang masih diperbolehkan, tetapi semua harus dilucuti ketika mereka tiba di sebuah daerah menjelang Mekkah.

Pengumuman ini mengundang keriuhan. Bagi sebagian orang Badui, rencana ini semacam dianggap sebagai upaya bunuh diri massal. Pasukan muslimin memang sedang di atas angin, tetapi bepergian ke Mekkah tanpa senjata adalah risiko yang terlampau besar. Para Badui itu pun menolak ikut. Muhammad ﷺ tidak memaksa. Pilihan telah ditetapkan masing-masing tanpa ada desakan yang berlebihan. Muhammad ﷺ menjelma pemimpin super-demokratis meski ia tahu seberapa besar dukungan kekuatan Allah di balik setiap langkah yang ia ambil. Ia memilih menjadi pemimpin yang humanis – yang ketika tak ada desakan wahyu, tak perlu pula ia mengekang dengan ancaman yang dibuat-buatnya sendiri. Dengan begitu pula, sekitar seribu orang – kumpulan muhajirin dan anshar, bahkan kelompok Abdullah bin Ubay – memutuskan ikut serta bersama Muhammad ﷺ.

Siapa yang mengira Muhammad ﷺ adalah seorang pembantai dan pemicu perang? Siapa yang menduga bahwa Islam tersebar dalam rupa amarah pertempuran dan gelimang darah? Mereka yang menduga demikian hanya akan menemukan fakta sebaliknya di hari itu – hari ketika Muhammad ﷺ berjalan bersama rombongan besarnya secara damai dari Madinah ke Mekkah.

Pada titik inilah, Muhammad ﷺ menunjukkan jati dirinya, agamanya, dan ajaran ketuhanannya bahwa ia dan agama yang dibawanya adalah jalan kedamaian. Perang dan kekerasan adalah jalan paling ujung, upaya defensif, dan laku melindungi diri yang hanya boleh dilakukan ketika diizinkan. Perang bukan jalan utama, bukan perilaku unggulan. Bahkan, Muhammad ﷺ harus menunggu lampu hijau untuk melakukan perang sampai tiba pesan Allah dalam satu wahyu: udzina lillaziina yuqaataluuna biannahum zhulimuu.[1] Muhammad ﷺ dan pengikutnya diizinkan berperang, membela diri, bertahan dari serangan orang-orang yang memerangi mereka hanya dengan alasan yang jelas bahwa mereka telah dianiaya secara nyata.

Kedatangan Muhammad ﷺ membuat kikuk orang-orang Quraisy. Mereka berada pada posisi dilematis. Melarang secara tegas agar kaum muslimin tidak masuk ke kota Mekkah tentu bukan pilihan yang bijak. Quraisy adalah suku pemelihara Ka’bah – yang dengannya, mereka harus memberikan jamuan terbaik bagi setiap peziarah yang datang. Tidak boleh ada penolakan. Tidak boleh ada ketersinggungan. Ka’bah adalah jati diri suku Quraisy. Tak ada Quraisy tanpa Ka’bah, dan karena Ka’bah-lah mereka terus dapat berdiri tegak sebagai suku terdalam di pusat peradaban religi berabad-abad lamanya. Melarang Muhammad ﷺ masuk ke Mekkah sama saja mencoreng muka suku mereka sendiri.

Tetapi, mengizinkan Muhammad ﷺ masuk ke Mekkah juga sama coreng morengnya. Apa yang akan dikatakan oleh orang banyak, digosipkan oleh suku-suku di jazirah Arab? Quraisy telah takluk oleh Muhammad ﷺ? Mekkah telah membuka persekutuan baru dengan Islam?

Taktik Muhammad ﷺ ini membuktikan kejeniusan profetiknya. Nyaris tak ada yang mampu menandinginya di dunia ini dalam menahan amarah, dendam, perselisihan, dan pertengkaran setelah berbelas tahun terus diserang dan dihancurkan dari berbagai sisi sosial, politik, militer, dan tentu saja agama. Kita tak pernah dapat membayangkan betapa perih luka Muhammad ﷺ yang dihina sebagai tukang tenung dan orang gila, yang kepalanya dipukul batu ketika berputar di sekitar Ka’bah, yang status sosialnya dicopot secara semena-mena oleh kuasa durjana, yang tubuhnya dilempari batu hingga berdarah-darah, yang pasokan makanannya ditahan hingga lapar mendera, yang sahabat-sahabat terbaiknya dibunuh di medan perang.

Tak ada duka sebesar itu di dalam hidup kita selama ini. Jikapun ada beban yang menggelayut, ia adalah remah ujian yang tak seberapa besar dibandingkan ujian kepada Muhammad ﷺ. Kita mungkin sempat dihina, dicemooh, direndahkan, dicacimaki, dipicingkan mata orang lain, tapi tak akan pernah sebesar duka yang diterima Muhammad ﷺ. Kita mungkin pernah diserang, difitnah, digosipkan, dijelek-jelekkan, tapi tak akan pernah semenderita Muhammad ﷺ. Kita mungkin pernah merasa lapar, terasing, teraniaya, terzalimi, tetapi tak pernah seberat Muhammad ﷺ. Kita bahkan sering mengubah rasa duka dan penderitaan itu dalam amarah yang tak tertahan, dalam desakan balas dendam yang menggejolak, dan dalam rasa sakit hati yang enggan memaafkan. Kita menyimpan bara permusuhan dan kehilangan intensi kedamaian. Kita kerap tersesat dari jalan yang dijejaki Muhammad ﷺ.

Jalan Muhammad ﷺ adalah jalan damai. Bahkan ketika rombongan mereka sebentar lagi masuk ke batas kota Mekkah, beliau selalu mengingatkan bahwa kehendak mereka melakukan perjalanan jauh ini adalah kehendak keagamaan yang murni dan aktivitas spiritual yang tak boleh ternodai sekecil apapun. Tak boleh ada yang hanyut dalam kegembiraan pulang ke kampung halaman Mekkah. Tak boleh ada ungkapan kemenangan yang diteriakkan berlebihan. Tak boleh ada satupun niat yang lebih besar ketimbang niat untuk semata mendekatkan diri kepada Allah.

Di Hudaibiyah, mereka terhenti. Qashwa, unta Muhammad ﷺ, mendadak mati angin. Ia berlutut, tak mau berdiri. Ngambek. Mogok. Nyaris semua orang berusaha meneriakinya agar si unta berdiri kembali, tetapi Muhammad ﷺ menenangkan mereka sambil berefleksi: maa khala-atil qashwa.[2] Unta ini tidak mogok. Walaakin habasahaa haabisul fiil. Tetapi Qashwa ditahan oleh Tuhan yang dulu menahan gajah-gajah Abrahah hingga mereka berlutut dan menolak melanjutkan langkahnya menuju Mekkah. Muhammad ﷺ menerima pertanda baru. “Yang menahan gajah-gajah Abrahah dulu sedang menahan Qasywa,” kata Rasulullah memberi isyarat kepada para sahabatnya. “Demi Zat yang jiwaku ada pada genggamanNya, jika mereka meminta sesuatu kepadaku untuk mengagungkan tempat-tempat yang disucikan Allah, aku akan menuruti apapun permintaan mereka.”

Isyarat ini jelas, tetapi tak banyak sahabat yang memahaminya. Mereka telah disibukkan isi kepalanya sendiri tentang Mekkah, tentang impian kembali melihat Ka’bah, tentang rasa kemenangan yang terasa dekat, dan kemudian berganti kekhawatiran akan siasat buruk Quraisy yang akan datang menjelang. Mereka menunggu dengan cemas di Hudaibiyah. Lampu hijau memang belum dinyalakan. Quraisy menahan sampai waktu yang belum ditentukan dengan mengirimkan juru runding yang berturut-turut.

Adalah Suhail yang datang ke meja runding, membawa pesan jelas bagi Muhammad ﷺ bahwa tak sejengkalpun tanah Mekkah dapat dijejaki peziarah dari Madinah. (Cerita Suhail ini dapat dibaca di “Gigi Seri Tukang Pidato”)

Hudaibiyah dicatat dalam sejarah sebagai tempat perundingan terhebat. Bukan hanya Quraisy yang merasa telah menang, sahabat sehebat Umar bin Khattab pun merasa Islam telah kalah dan mengalami kemunduran signifikan. Hanya Abu Bakar yang jernih melihat situasi dan memercayai Muhammad ﷺ sepenuh hati. Baginya, dan tentu saja bagi Muhammad, perundingan itu hanyalah sejentik jalan untuk membangun peradaban baru Islam: peradaban damai. Muhammad ﷺ sejatinya telah membuktikan bahwa darah Quraisy lebih kental mengalir dari dalam dirinya ketimbang orang-orang yang tengah berada d dalam Mekkah dan mengaku menjaga Ka’bah. Kembalinya Muhammad ﷺ ke Madinah bukanlah kekalahan, tetapi upaya satu langkah ke belakang untuk dapat maju sejuta langkah ke depan dalam jati diri agama yang sesungguhnya – yang menegakkan bendera kebenaran dalam rasa selamat yang melingkup semesta.

 

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

[1] Lihat QS AL Hajj: 39, inilah ayat pertama yang turun mengenai peperangan.

[2] HR Bukhari.

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.awakenthegreatnesswithin.com/35-inspirational-prophet-muhammad-ﷺ-quotes/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

4 Comments

  1. Rindu pada Muhammad SAW
    Adalah Rindu yang hakiki
    Ya Nabi, kau selalu menjawab salamku ketika tahiyat sholat
    Sampaikanlah kami tuk meminum telagamu wahai Rosul Terkasih

  2. Rindu pada Muhammad SAW
    Adalah Rindu yang hakiki
    Ya Nabi, kau selalu menjawab salamku ketika tahiyat sholat
    Sampaikanlah kami tuk meminum telagamu wahai Rosul Terkasih

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan