Jangan Cari Lailatul Qadar

7 mins read
1

Apa yang dapat dibayangkan mata kepala kita jika malaikat turun ke bumi? Bukan hanya turun, tetapi mereka tanazzul –berbondong-bondong, beramai-ramai memenuhi langit hingga sesak. Tidak, kita tidak sanggup melihatnya, bahkan untuk sekadar membayangkannya. Maka, Allah tidak pernah memperlihatkannya, tidak pula memberi tahu kapan jadwal tanazzul malaikat itu di setiap kali Ramadhan.

Allah ingin membiarkan kita sibuk dengan upaya berpuasa kita yang hakiki menuju puncak takwa. Karakter takwa pertama yang disebutNya bukan seberapa banyak amal ibadah yang dilakukan dan seberapa nihilnya amal buruk yang kita kerjakan. Karakter pertamanya adalah keyakinan penuh kita pada hal-hal gaib, pada sesuatu yang tak kasat mata, dan pada perkara-perkara yang tidak tangible. Allah memuncakkan sifat orang-orang bertakwa dengan alladziina yu-minuuan bil ghaib. Kita dihendakiNya untuk keluar dari kalkulasi-kalkulasi matematis, dari parameter-parameter fisikal, dan dari prediksi-prediksi statistikal manusia.

Betapa tidak logisnya Allah dalam pandangan matematis manusia ketika Ia mengatakan bahwa harta yang kita tunaikan di jalan Allah itu akan dilipatgandakan 700 kali. Allah ingin mengeluarkan kita dari sempitnya akal dan logika yang kerap kali penuh hitung-hitungan. Kita terbiasa berpikir: kalau aku kasih ini, aku dapat apa? Kita terbiasa berhitung: kalau aku keluarkan satu dari isi kuota ruang di kantongku, maka ada ruang kosong satu yang bersisa, dan aku harus mengisinya lagi. Dan, dunia ini membuat isi kepala kita penuh dengan hal-hal materialis yang kerap kita juga hitung secara matematis. Kalau menanam investasi di sini, return-nya segini-dan-segitu,  maka dalam sekian tahun akan menjadi segini-dan-segitu.

Parameter-parameter hidup kita juga diset dalam poin-poin yang terukur secara fisikal. Pangkat dan golongan setinggi apa, jabatan selevel apa, penghasilan sebesar apa, rumah seluas apa, mobil sekeren apa, pasangan secantik-serupawan apa, anak-anak sepintar apa, gelar sepanjang apa, aset semelimpah apa, follower seberapa juta. Statistik sering kita pakai untuk memprediksi titik-titik di masa depan sambil kerap melupakan jatah peranan Allah. Padahal, kita hafal sekali firmanNya untuk tidak mengatakan akan mengerjakan ini-dan-itu besok, kecuali dengan Insya Allah. Namun, Insya Allah itu kita kerdilkan kekuatan dan substansinya. Insya Allah kita ungkapkan untuk mengabaikan janji, untuk menolak permintaan secara halus, dan untuk tidak melakukan yang kita tidak kehendaki, dengan secara tak sadar kita merendahkan Allah dengan Segala Kehendaknya.

Maka, urusan lailatul qadar ini sesungguhnya lebih luas dari i’tikaf dan penghidupan malam-malam terakhir Ramadhan. Allah memang sedang bermain misteri di dalamnya sambil memantik keseriusan kita dengan pertanyaan penegasannya: wamaa adraaka maa lailatul qadr? Memangnya, kamu sungguhan mengetahui apa itu malam qadr, malam kemuliaan? Tidak. Itu misteri. Itu gaib. Itu tidak dapat dikalkulasi. Itu tidak mengijinkan ruang-ruang prediksi. Bahkan, ketika Rasulullah mengatakan lailatul qadr itu muncul di sepuluh malam terakhir, di malam-malam-nya yang ganjil, kita tak pernah tahu di mana letaknya dan kapan presisi waktunya.

Kita mungkin saja terjebak menjadi pemburu-pemburu selintasan. Masjid-masjid mencapai puncak jamaah di malam ganjil, terlebih di malam ke-27 dan ke-29. Ketika orang-orang di Belanda berbeda jadwal mulai puasanya dengan orang-orang di Jerman dan Turki, atau ketika muslimin pengikut kalender Muhammadiyah berbeda dengan pengikut kalender Kementerian Agama, urusan hari ganjil dan genap ini menjadi nampak rumit. Di satu kalender ia ganjil, di kalender lain ia genap. Namun, apakah kita menjadi sebegitu pelit untuk ber-husnuzzhon kepada Allah dengan mengklaim bahwa ganjil-genapku adalah yang benar dan direstui Allah, sedangkan ganjil-genap yang lain keliru –dan dengannya, lailatul qadar itu jatuh pada jadwal hari-hari ganjilku, bukan hari-hari ganjilmu?

Kita lantas begitu saklek memahami teks dan memosisikan Allah dalam kalkulasi manusia. Benar bahwa Rasulullah Saw. sempat bersabda, “Sesungguhnya pertanda lailatul qadar ialah cuacanya bersih lagi terang seakan-akan ada rembulannya, tenang, lagi hening; suhunya tidak dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada malam itu sampai pagi hari.” Namun, apakah kita akan memutuskan untuk menegakkan malam setelah terlebih dahulu mengintip keluar jendela dan memprediksi seberapa cerah langit malam itu dan seberapa adem suhu di luaran sana?

Tidak. Allah menyimpan semua itu dalam kemistikannya sendiri, dalam batasan yang tak mampu dijangkau manusia. Bukan karena Allah pelit, tetapi karena Ia ingin kita berlatih untuk hal-hal gaib yang lebih besar. Ia ingin kita mencari malam kemuliaan itu seperti sepenuh hatinya kita menggali harta karun yang tak kita tahu persis di mana letaknya meski kita memiliki petanya, sepenuh jiwanya kita bekerja siang-malam hingga fisik kita terlunta, segembira hatinya kita merencanakan jadwal dan menyusun itinerary pulang ke kampung halaman.

Sepuluh malam terakhir itu menjadi sangat sulit, keras, dan penuh godaan. Kita tak akan mampu melewatinya dengan sempurna tanpa menyusun undakan-undakan kecil di dua puluh hari sebelumnya. Kita tak akan sanggup menggapainya tanpa perencanaan dan strategi yang mantap sejak permulaan puasa. Maka, lailatul qadar itu tidak semata urusan i’tikaf dan pendirian malam-malam di penghujung Ramadhan. Ia harus dimaknai dalam strategi jangka panjang, bukan pendek dan dadakan. Ia harus dipandang dalam skala lintasan maraton, bukan sprint.

Lailatul qadar itu kesigapan dan kesiapsediaan kita sedari awal untuk membenahi hati yang berantakan, membersihkan jiwa yang kotor, dan melapangkan prasangka yang buruk dan sempit, agar mampu menampung rahmat Allah yang tak bertepi. Lailatul qadar itu upaya dan rentetan panjang misi kita untuk meyakini bahwa Allah dengan segala perhitunganNya itu tak terjamah matematika manusia –dan dengannya, yang kita harapkan hanyalah kerelaan dan keridhaanNya.

Jangan cari lailatul qadar belaka. Carilah Allah dan kerelaanNya, maka dengannya pula kita temukan kemuliaan dan malam-malamNya yang sempurna.

Rotterdam, 22 Ramadhan 1439

 

Gambar fitur diambil dari: https://ustazfathulbari.wordpress.com/2012/08/14/pencarian-lailatul-qadar/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan