/

Jarak Lapar dan Kenyang

2 mins read
2

Seberapa jauh jarak antara lapar dan kenyang? Jauh, amat jauh, bila yang diukur adalah jarak antara kemewahan dunia kita dengan kemiskinan, kemelaratan dan malnutrisi anak-anak di negeri miskin. Kita hanya menatapnya sekali-dua kali dari iklan layanan masyarakat di televisi. Selebihnya, kita tak pernah sungguh-sungguh mengukur panjang jaraknya. Mungkin juga tak sempat menengok ke kanan-kiri dan depan belakang untuk sekadar menyadari bahwa sesungguhnya jarak antara lapar dan kenyang tidak sebegitu jauhnya.

Puasa menjadikan jaraknya semakin dekat. Sedetik lalu lapar, kemudian bedug dan adzan maghrib mengubahnya, meluluhlantakkan fenomena rasa lapar dengan kekenyangan yang datang dalam sekejap. Kita lantas tak pernah punya waktu lagi untuk bertanya-tanya: ke mana rasa lapar yang sedari pagi merongrong, ke mana rasa dahaga yang sejak matahari condong ke barat semakin menggelisahkan kerongkongan?

Tak ada jarak lagi, bahkan. Ketika rasa lapar itu kita rayakan dengan berjalan-jalan sepanjang petang untuk mencari menu apa yang akan kita hidang dan santap selepas maghrib. Tidak ada jarak lagi, bahkan. Ketika setiap sore kita mengatur jadwal di mana akan berbuka dan dengan siapa kita membuat lingkaran “kebahagiaan saat berbuka” itu. Tak nampak wajah kelaparan, kesengsaraan, dan kemiskinan yang mendera-dera saat mata kita berbinar-binar melihat segarnya minuman dan hidung kita bersorak menghidu bau lezat masakan yang disiapkan.

Jarak antara lapar dan kenyang itu musnah sudah. Bahkan, kita tak pernah menyadari bahwa sesuap-dua suap makanan saja sudah membuat perut penuh. Tak mampu menampung apa yang sejenak tadi begitu menggelorakan syahwat mata.

Pergilah sejenak ke ruang lain –yang jarang kita tempuh, untuk sekadar mengerti lebih banyak tentang lapar dan dahaga, tentang kenyang dan penuh tenaga. Menyibak sedikit saja makna tha-ámul miskin dan ikraamul yatiim.

Ramadhan ini sesungguhnya waktu yang tepat untuk mengukur jarak antara lapar dan kenyang. Bukan sekadar mengukur jarak subuh dan maghrib, menanti-nanti hitungan menit dan detik yang kita hafal dari kalender khusus Ramadhan, tetapi menghayati pula pengalaman yang tidak pernah kita alami.

Rotterdam, Ramadhan 1438

Foto diambil dari: http://www.chupamobile.com/blog/wp-content/uploads/2014/08/Food-delivery.jpg

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

  1. Terimakasih untuk tulisannya yang inspiratif. Akan lebih menukik lagi bila diperjelas tentang melihat sisi lain tentang praktik thaamul miskin dan akraamal yatim.
    Wassalaam

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan