Suatu saat di awal tahun, saya satu mobil dengan seorang kepala sekolah sebuah madrasah. Beliau yang tumbuh besar di lingkungan Muhammadiyah –dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Muhammadiyah, itu terjebak menjadi kepala sekolah di madrasah Nahdhatul Ulama (NU). Merasa yakin bahwa saya orang NU, atau setidak-tidaknya memiliki pemahaman tentang NU lebih banyak daripada dirinya, tumpahlah kebingungannya di dalam mobil saya sepanjang jalan. “Aku disuruh ngajari Ta’lim Muta’allim,” katanya. Bukan tidak bisa, tapi ia heran baru kali itu ia menemukan kitab yang memberikan penghormatan kepada guru sebegitu tingginya, bahkan berlebihan. Banyak keanehan, menurutnya. Tapi, ya akhirnya tetap harus diajarkan dengan modifikasi dan pemahaman kontekstual masa kini.
Sudah menjadi wahyu yang diyakini bahwa ilmu itu berkembang. Tidak jumud. Apa yang dipelajari dari referensi klasik mungkin perlu penyesuaian –dan tidak ada yang haram dengan penyesuaian. Jangankan melewati zaman, melintasi teritorial yang berbeda sudah manusia sudah menemukan konteks budaya dan keadabannya yang berbeda. Maka, pemahaman terhadap nilai sosial dan budaya menjadi penting. Apa yang terjadi di zaman ini, ketika ruang interaksi tidak lagi berbatas, juga harus menemukan penyesuaian-penyesuaian yang tepat. Itu yang membuat keluar dari jebakan-jebakan yang secara rahasia memang disediakan Tuhan untuk kita pilih sendiri.
Keterjebakan itu bisa saja terjadi di organisasi, kantor, atau pengajian. Idealisme tertentu harus mendapati aturan yang bukan saja berbeda, tetapi juga bertentangan. Bahkan, boleh jadi ada yang keluar dari satu masjid atau pengajian karena merasa terjebak pada situasi ajaran tata runutan ibadah yang berbeda. Sehingga satu saat ada seseorang yang bertanya, “Pengajian ini menjamur sedemikian banyak, lalu bagaimana memilihnya agar tidak terjebak pada pengajian yang salah?”
Memangnya ada pengajian yang salah, yang keliru? Barangkali ada –dan itu yang dulu membuat orang tua saya khawatir karena seringnya mereka mendapati saya keluar masuk riungan anak-anak tarbiyah, hizbut tahrir, salafi, jamaah tabligh, atau sekadar duduk-duduk bersama mahasiswa NU, Muhammadiyah atau HMI itu. Dan itu juga yang menerbitkan perasaan was-was orangtua mahasiswa ketika mendapati surat kabar sibuk memberitakan Jamaah Islamiyah dan NII sehingga aktivitas keislaman sempat dicurigai. Tidak ada yang salah dengan keragaman corak itu. Toh, semua orang memiliki latar belakang yang membentuk afinitas dan kesukaannya masing-masing. Tapi, ketika ada keakuan yang ditonjolkan sehingga mengkerdilkan kelompok lain –yang bentuknya himpunan, pengajian, jamaah, atau organisasi, maka perlu mengambil jarak yang tepat. Supaya keterjabakan itu tidak menjadi-jadi.
Dan, jebakan itu banyak sekali jumlahnya. Ribuan, jutaan, bahkan milyaran. Kita bergerak dari satu takdir, terjebak kepada takdir yang lain. Bukan Tuhan yang sebegitu repotnya memencet tombol takdir A, B, C atau Z buat kita setiap detik, tapi kita sendiri yang secara sadar memilih algoritmanya. Ada sunnatullah –aturan Tuhan yang sering kita abaikan dengan terminologi sebab-akibat, yang memang akan berjalan dengan sendirinya. Tidak makan, maka lapar. Tidak belajar, maka gagal. Kerja sebagai pegawai, maka digaji. Banyak belanja, maka keluar uang banyak. Mengemudi sembarangan, maka celaka. Hidup sembarangan, maka sakit. Salah memilih pemimpin, maka sengsara. Semua itu sunnatullah yang bisa dirunut detailnya baik secara hipotetikal maupun sudah tersedia bukti ilmiahnya.
Bahkan, ketika kita bergerak dari mumayyiz ke baligh, kita terjebak pada taklif –keterbebanan tanggung jawab sehingga kita merasa perlu untuk memilih jalan: yang sukar lagi mendaki, atau menurun lagi lempang dan membuai. Tapi, toh, Tuhan memberikan bekal yang cukup: dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. ‘Ainain, wa lisaana, wa syafatain. DiberikanNya mata untuk melihat sekian milyar fakta untuk disusun dan dianalisis, lalu disimpulkan. Ada proses ilmiah di dalamnya –yang tidak melulu harus diartikan sebagai penelitian yang menawarkan kebaruan, novelty.
Keterjebakan itu adalah input yang secara sensorik ditangkap oleh penglihatan –yang berarti juga pendengaran dan pemikiran. Diformulasikan dalam hipotesis : kalau begini, apakah akan jadi begitu? Maka, proses ketakwaan adalah proses yang ilmiah seperti yang Ubay bin Kaab katakan kepada Umar bin Khattab, “Apa yang engkau lakukan ketika menempuh jalan yang berduri?” Berhati-hati, berusaha keras dan bersungguh-sungguh agar tak menginjak duri, kata Umar. Ada respons terhadap pengetahuan, apa yang ditangkap oleh indera, dianalisis dan diformulasikan menjadi sikap dan perilaku. Itu takwa –yang tidak kemudian dikungkung pada definisi klasikal, ‘mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi laranganNya’.
Dalam keterjebakan di dunia ini, Tuhan juga membekali lidah dan mulut. Lidah itu kemampuan manusia untuk mengartikulasikan kebenaran, menyampaikan yang ma’ruf dan menahan yang munkar. Mulut itu kemampuan menerka konteks, kapan ia terbuka dan kapan ia harus tertutup. Ada banyak hal yang benar, tetapi tidak baik. Dan ada banyak hal baik, tetapi tidak benar. Maka kemampuan buka-tutup itu juga dibekali Tuhan untuk meraba-rasakan lingkungan.
Misalkan saja, kita merasa terjebak pula pada kepemimpinan negara yang kolutif dan tidak berkeadilan, akan selalu ada wilayah-wilayah kompromistis, reformatif, atau revolusiner. Itu semua bergantung kepada bagaimana mata, lisan dan bibir itu kita gunakan. Bagaimana mata melihat secara jernih: tidak terokupasi kepada dendam, emosi, atau sekadar muatan primordial, tetapi mendudukkannya pada nilai keadilan –yang sesungguhnya jauh lebih dulu diperintahkan Tuhan ketimbang Pramoedya Ananta Toer. Setelah itu ada pilihan dan pilah-pilah dengan tujuan yang tinggi: keadilan, kesamarasaan, ke-nilai-nol-an diskrepansi derajat antar manusia.
Karena dengan begitulah, kita sudah berani mendudukkan segala keterjebakan duniawi kita pada skala akhirat. Pada baris yang Tuhan sebut-sebut ashabul maymanah –golongan kanan dalam arti sebenar-benarnya.
Rotterdam, Januari 2017
Gambar diambil dari: https://dennyleo.wordpress.com/2013/03/30/terjebak-di-masa-lalu/terjebak-di-masa-lalu/