Jejak Mahadigital

13 mins read

Para sahabat saat itu tengah berkumpul Bersama Muhammad ﷺ. Tiba-tiba saja, di tengah obrolan yang hangat itu, Muhammad ﷺ tersenyum sendirian sampai gigi serinya nampak jelas. Bukan kali itu saja Muhammad ﷺ tersenyum sendirian. Kadang ia juga menangis sendirian, kadang ia berbicara sendirian. Bukan karena gila atau waham, tetapi karena Jibril hadir dan memberi penerangan yang tak mampu disimak oleh orang lain meski jarak mereka tak sampai sedepa dari Muhammad ﷺ.

Muhammad ﷺ lalu bertanya kepada mereka: atadruuna mimmaa adh-hak? [1]Siapa di antara orang-orang itu yang dapat menebak muasal senyum Muhammad? Tidak ada yang tahu. Jawaban mereka selalu saja begitu: Allahu warasuuluhu a’lam. Jawaban orang-orang yang rendah hati karena merasa ilmu mereka tak seujung kuku pengetahuan Rasulnya, apalagi lautan dan semesta khazanah keilmuan Allah. Jawaban orang-orang yang dengan siap siaga membuka ruang lebar dalam dada mereka untuk menampung ilmu baru dari teladan mereka – bukan untuk menonjolkan diri siapa di antara mereka yang paling hebat daya nalarnya, kemampuan kognitifnya, analisis prediksinya.

Allahu warasuuluhu a’lam itu adalah kalimat pamungkas yang mestinya kita sisipkan setiap kali memberikan argumen, komentar, jawaban, analisis, prediksi, bahkan kritik yang sering berhamburan dari mulut kita. Kita merasa tengah menjadi pakar, orang yang paling hebat ilmunya, paling pandai bersilat lidahnya, tetapi melupakan bahwa semua yang ada di kepala dan memori kita itu di-back up secara sempurna oleh Allah.

Kita seringkali terlalu percaya diri dalam menulis status, mengungkapkan asumsi, menegakkan model dan perhitungan, tanpa menyadari bahwa variabel-variabel analisis itu dapat dengan mudah diruntuhkan oleh Allah dengan segala Mahahendaya-Nya. Kita dapat merumuskan asumsi, menyaring bukti dari literatur yang berserakan, membangun teori-teori baru, melangsungkan terapan intervensi orisinil, tetapi semua itu berada jauh di dalam Mahaluas-Nya ilmu Allah – yang tak dapat kita jamah secara sempurna dan kerap membuat kita tergagap-gagap ketika hasil yang kita harapkan ternyata tidak sesuai dengan hipotesis permulaannya.

Mendengar jawaban para sahabat yang rendah hati itu, Muhammad menjelaskan: min mujaadalatil ‘abdi rabbahu yaumal qiyaamah. Karena Muhammad diberi kabar tentang seorang hamba yang komplain, mengajukan gugatan dan bantahan, kepada Allah di hari kiamat.

Rabbiy, alam tujirniy minazh zhulmi? Si hamba itu memprotes keras karena beranggapan bahwa Allah tidak akan pernah menzaliminya dengan semena-mena. Ia yakin sepenuh keyakinannya bahwa Allah Mahasayang kepadanya, Mahacinta kepada makhluknya, sehingga tidak akan mungkin memberikannya hukuman akhirat yang bertumpuk-tumpuk. Balaa, kata Allah. Ya, memang demikianlah adanya. Allah selalu menjadi yang Mahaadil tanpa ada satu titik pun yang tak seimbang di hadapanNya, berat sebelah dalam timbanganNya.

Si hamba lalu mengekskalasi bantahannya, berupaya mengajukan bukti yang dapat meringankan dirinya dari hukuman. Laa ajiizu ‘alayya illaa syaahidan linafsiy. Ia menantang Allah, seolah tidak percaya kepada pengadilan yang dihadapinya sendiri di akhirat tanpa satupun kuasa hukum.

Ia menjadi model sempurna bagi kita untuk bercermin. Ketika dipersalahkan karena satu hal, kita kerap membela diri. Ego kita terusik. Keinginan untuk membantah semakin membara. Ketika disodorkan bukti kesalahan, kita melemparkannya sambil menyerang balik. Kita mungkin melakukan kesalahan kecil: memarkir mobil tidak pada tempatnya, menyerobot antrean orang lain, membuang sampah sembarangan, melaporkan hal-hal yang tak pernah kita lakukan, berbohong untuk menutupi kesalahan, mengambil jatah orang lain yang bukan hak kita, atau mendahulukan kepentingan sendiri dan keluarga kita ketika banyak orang lain yang lebih membutuhkan. Tetapi, ketika ada orang yang mengingatkan, mengkritik, memberi nasihat, kita seolah berubah wujud menjadi pendekar yang menentang itu semua. Lebih galak dari singa, lebih buas dari harimau. Mata kita melotot tak terkendali, napas kita memburu tak tertahan. Ada desakan untuk menolak itu semua dan berakhir pada tantangan: ayo kita buktikan saja! Jika terdesak, kita membela diri: elo juga salah, orang lain juga salah, semua orang juga begitu!

Ditantang hambaNya, Allah dengan senang hati menerimanya. Kafaa binafiskal yauma ‘alayka hasiibaa. Cukup dirimu sajalah pada hari perhitungan nanti di akhirat yang akan memberikan perhitungannya. Cobalah kamu hitung sendiri, Allah nggak ikut-ikutan. Jika itu belum cukup, maka bukti-bukti lain akan disodorkan oleh malaikat: wabil kiraamil kaatibiina syuhuudaa. Lengkap sudah. Jejak Mahadigital itu disodorkan, tak dapat dibantah.

Pada hari itu, nakhtimu ‘alaa fwaahihim: mulut-mulut dikunci. Waktuallimunaa aydiihim watasyhadu arjulum bimaa kaanuu yaksibuun.[2] Yang berbicara dan bersaksi adalah tangan dan kaki kita. Semua menjadi jejak Mahadigital yang sempurna – yang tidak dapat di-delete ketika sudah diposting, yang tidak dapat di-closeakunnya ketika sudah dibuat.

Jejak digital itu kejam, kata orang-orang. Tetapi, jejak Mahadigital jauh lebih kejam – ketika kita selalu berupaya menolak kebenaran demi melanggengkan kenyamanan hidup di dunia yang tak kekal. Kita sering bersilat lidah, berkomentar, dan berdebat untuk mempertahankan diri, tapi menyia-nyiakan peluang untuk menyejajarkan diri kembali dengan kebenaran dan kebaikan. Kesalahan-kesalahan kita ampuni sendiri tanpa mengambil jalan untuk meminta ampunan Allah. Kita merasa bahwa kesalahan-kesalahan itu masih dalam taraf kewajaran demi bertahan hidup, demi merengkuh kemewahan, demi menikmati kenyamanan: gaji yang besar, penghasilan yang berlebih, rumah yang megah dan nyaman, status jabatan yang tinggi, atau bahkan untuk sekadar menyambung hidup yang tak seberapa baiknya dari hari ke hari.

Kita menyerang orang secara verbal dalam gurauan, ledekan, desas-desus, sangkaan, ghibah dan fitnah tanpa sedikit niat yang tersisa untuk memohon maaf. Kita membantah, keluar dari jalan perintah Allah tanpa ada kehendak untuk kembali masuk ke jalur yang benar dalam pertaubatan. Kita dapat menghapusnya dari tampilan wajah dan penampilan keseharian kita. Kita mampu memulasnya, menyodorkan citra yang paling baik di permukaan interaksi kita dengan manusia lain. Tetapi, dengan Allah, tidak ada yang tersembunyi. Tidak ada yang tak terekam menjadi jejak Mahadigital yang siap diputar di akhirat – seberapapun besar memori yang harus disimpan. Berjuta-milyar-trilyun terabyte sekalipun, server Allah dengan mudah mampu menampungnya.

Maka, si hamba yang tadi komplain kepada Allah pada akhirnya dibiarkan berbincang dengan tangan dan kakinya sendiri. Bu’dan lakunna wasuhqan. Aduhai, celakalah kalian ini – tangan dan kakiku sendiri, semua anggota tubuhku yang bersaksi ini. Sial, sial. Fa’ankunna kuntu unaadhil. Padahal kita merasa semua upaya, kehendak, strategi yang kita lakukan selama ini di dunia adalah untuk menghidupi anggota tubuh yang kita sayangi itu: agar ia tetap sehat, tetap nampak prima, tetap terlihat cantik rupawan, tetap parlente, tetap disanjung-sanjung orang, atau sekadar tetap bisa bertahan di tengah kerasnya hidup.

Kita sering merasa tak ada yang terekam pada aliran darah yang dialiri harta haram, pada gerak lidah yang berbicara dusta, pada degup jantung yang memburu saat melakukan dosa, pada bola mata yang memandang khianat, pada ayunan kaki yang menuju tempat-tempat maksiat, pada kuasa tangan yang menzalimi orang lain. Padahal, semua itu terekam manis. Entah dalam bentuk apa: lima dimensi atau sepuluh dimensi. Entah dalam kecepatan koneksi apa – 7G, 100G, 1000G. Tak terhingga. Mahadigital.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

 

[1] Teks hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dan An Nasai. عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَضْحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ، ثُمَّ قَالَ: ” أَتُدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ ” قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: “مِنْ مُجَادَلَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ: رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِي مِنَ الظُّلْمِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: لَا أُجِيزُ عَلَيَّ إِلَّا شاهدًا من نفسي فَيَقُولُ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسيبًا، وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ شُهُودًا. فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ، ويُقال لِأَرْكَانِهِ: انْطِقِي. فَتَنْطِقُ بِعَمَلِهِ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ، فَيَقُولُ: بُعدًا لَكُنَّ وسُحقًا، فعنكنَّ كنتُ أُنَاضِلُ”

[2] Lihat QS Yasin: 65

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.mntahar.my.id/2018/06/jejak-digital.html

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan