Kamu Anu, Tapi Anu

7 mins read

demokrasi_by_mhsahin

Suatu saat ada pertanyaan tentang demokrasi negeri ini –di mana posisinya? Saya bingung bukan kepalang. Saya bukan pengamat, apalagi pengkaji. Setidaknya, saya masih menjaga marwah –yang definisinya kerap salah kaprah– profesi  dan keilmuan. Karena hari ini orang bisa bicara apapun tentang kedokteran meski baru membaca buku populer kesehatan dan tulisan terasimilasi hoax di saluran maya. Cukup sampirkan jenggot dan sorban, didengarnya hafal dua-tiga hadits pun Anda akan dicium tangan bolak balik. Dipanggil Kiai. Yang tak suka pada istilah Kiai mungkin akan memanggil Anda ustadz –dan hebohlah Anda memenuhi jadwal wira-wiri. Lebih-lebih, corongkan kamera ke muka Anda dan bicaralah tentang korupsi dan laknat semua orang yang Anda anggap penuh muslihat, Anda akan dibilang penegak demokrasi dan pemegang tampuk suci kepemimpinan sampai mati. Begitu sialnya negeri ini, memang.

Tapi, anggaplah saja saya diberi autoritas untuk menjawab –terlepas dari kesukaan dan kebencian terhadap autoritas yang dapat diklaim secara sepihak; anggaplah demokrasi negeri ini semacam bianglala olimpiade dalam kurun dan tingkatnya masing-masing. Olimpiade tidak mengenal kepemimpinan. Kemenangan adalah juara. Titik. Bukan pemaknaan autoritas terhadap kompetensi. Yang lebih sumir lagi, kompetensi demokrasi hari ini tak bisa diukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perangkat ukurnya yang paling dominan justru subyektivitas yang dikelola secara manis di media. Anda tak perlu berlatih keras seperti Pele atau Ronaldo. Anda hanya perlu dipoles. Tidak perlu menjadi Serena Williams, Anda hanya perlu jadi Maria Sharapova. Selesai. Dan, jangan khawatir, karena jika hari ini Anda adalah ketua RT, beberapa bulan lagi Anda bisa melompat jadi bupati, asalkan positioning Anda tepat. Bupati, lebih-lebih. Selalu ada lowongan kursi presiden –atau setidaknya penghuni Facebook dengan jutaan follower dan ribuan share setiap hari. Anda bisa bergenit-genit ria. Dan semua suka!

Komentar kita tentang pemimpin hari ini juga adalah komentar tentang juara, bukan negara. Mirip seperti acara tahunan All England. Kalau menang, bersuka-suka dan bilang, “Tahun depan semoga bisa dipertahankan.” Kalau kalah, berpura-puralah tak tampak sedih dan berapologi, “Tahun depan pasti lebih baik.” Begitu seterusnya. Jangan tanyakan penontonnya –di mana mereka. Selalu saja ada ruang penggembira yang penuh sesak dan sorak sorai. Bahkan, demokrasi mengijinkan sorak sorai bersahut-sahutan dilanjutkan di luar kompetisi. Saling ejek di dunia yang tak kasat mata. Semacam fans fanatik sepakbola yang masih saja saling lempar batu meski mereka tahu para pemain klubnya sejatinya tak pernah bertengkar dan adu mulut. Daya magis fanastisme membuat orang tak peduli permainan klub kesayangannya itu baik atau buruk. Yang paling penting adalah mencintainya sepanjang hayat. Kesalahan adalah milik wasit, mistar gawang, garis pinggir lapangan, anak gawang, atau bahkan petugas cleaning service ruang ganti. Pemain dan klub adalah Sang Maha. Dibela dan dipuja sampai surga. Sialnya, fanatisme semacam itu dikembangbiakkan sehingga obyektivitas kehilangan tempat di muka bumi. Menjadi mendiang. Khatam.

Kesedihan itu akan bertambah-tambah ketika mereka tahu kocek mereka habis untuk beli tiket dan kostum. Siapa yang menang, dengan mudah Anda bisa menebaknya. Uang. Cukuplah hari ini mereka menjadi representasi dari obyek demokrasi.

Alam bawah sadar negeri ini kemudian dipenuhi “Tapi” dan penafian yang tak kunjung habis. Selalu ada “tapi” seolah validitas fakta yang ada selalu tidak tuntas. Semacam professor feodal yang tak ingin anak didiknya lulus dengan nilai sempurna. “Dia bagus, tapi kurang ini dan itu.” Penafian yang sesungguhnya hanya upaya menutupi kegelisahan untuk mengakui.

Toh, tidak ada yang sempurna di dunia ini –pada pilihan atau nasib, termasuk pasangan yang kita pilih sendiri dan kita cintai sepenuh hati. Pasti ada perbandingan-perbandingan saat memilih, ada “tapi-tapi”-nya. Dia begini, tapi begitu. Itulah pilihan, sama seperti nasib: selalu ada “tapi” –yang kebanyakan dibentuk dari ketidakrelaan. Jangankan pasangan, Allah pun ditingkahi “tapi-tapi” itu ketika menunjuk Thalut sebagai raja Bani Israil. Tapi, Thalut tidak kaya. Tapi, kami lebih berhak menjadi raja. Dan terus begitu hingga perbendaharaan “tapi” Bani Israil berujung. Hingga melewati sungai dan tak diperbolehkannya meminum, kecuali seteguk pun, “tapi-tapi” itu masih bertebaran. Hingga Thalut tahu siapa yang mampu menyingkirkan “tapi” dari hidupnya. Siapa yang sepenuhnya patuh dan rela kepada perintahNya.

Dan, kita sebenarnya tahu di mana ujung dari “tapi” –kepasrahan. Kita pasrah, rela, ridha. Maka ketika kita merasa rela untuk mempersunting atau dipersunting, di situlah ada kerelaan, kepasrahan untuk menerima segala “tapi” yang ada. Di titik akad itulah ia menjadi muslim bagi pasangannya dalam arti yang paling filosofis –yang merasa pasrah, rela, ditenteramkan sekaligus menentramkan. Kalau ada “tapi-tapi” yang belum hilang sampai sekarang, barangkali kepasrahan itu belum ada. Atau setidaknya, kepasrahannya sendiri belum diimani sepenuhnya –baru di lisan, belum merasuk ke kalbu, apalagi ditingkahi dengan perbuatan.

Belakangan, “tapi-tapi” yang tidak menemui kepasrahan itu kian menyeruak, bahkan dibumbui dengan kebencian. Sikap obyektif makin hilang, seperti Abu Jahal dan pengikutnya yang disindir Allah beberapa kali –tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi? Pastilah Allah jawabnya, tetapi toh tetap mereka tidak beriman. Tidak ada kepasrahan. Tidak ada kerelaan untuk melepaskan segala beban di hati.

Kalau negeri ini punya simpanan kepasrahan yang menguatkan, tentulah sudah lenyap “tapi” itu ke dasar bumi. Tidak ada lagi istilah muslim, tapi zalim. Tidak juga lagi dipelihara istilah adil, tapi kafir. Perdebatan yang muncul seringkali berubah menjadi perselingkuhan akidah: merasa benar dengan dalil samawi, tetapi ditingkahi dengan caci, bahkan memakan bangkai saudara sendiri.

Jika ditanya lagi tentang demokrasi, barangkali saya akan jawab: nikahi saja demokrasi seperti Anda menikahi pasangan sendiri. Meski Anda tahu dia memiliki banyak “tapi”, Anda menerimanya dan tetap mencintainya. Anda luruskan, bukan Anda caci maki. Anda benahi, bukan debatkan sepanjang hari. Karena hanya dengan begitu, Anda tahu siapa yang paling ikhlas kepada demokrasi.

Rotterdam, Mei 2016.

Gambar diambil dari: http://terpaksabikinwebsite.files.wordpress.com/2013/02/demokrasi_by_mhsahin.jpg

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan