Kening Taat, Lidah Fitnah

Pada suatu subuh, Muadz menjadi imam shalat fajr di masjid. Seorang lelaki Arab menjadi makmum di belakang Muadz. Rakaat pertama Muadz terasa panjang. Lelaki Arab itu tampak kepayahan dan berusaha sekuat mungkin untuk bertahan berdiri. Gelisah, barangkali. Namun, di rakaat kedua, ia tak lagi tahan. Ia mufaraqah. Berpisah dari rombongan. Keluar dari jamaah. Ia memutuskan shalat sendirian, tak lagi bermakmum kepada Muadz yang masih menjadi imam shalat di depan.

9 mins read
2
Source: https://www.pexels.com/@aqtai

Riwayat itu muncul berbeda-beda. Sebagian mengatakan Muadz mengimami shalat fajr,[1] sebagian lagi mengatakan ia menjadi imam shalat maghrib[2] dan isya.[3] Ia memang terbiasa shalat berjamaah dua kali. Muadz pertama-tama menjadi makmum bagi Muhammad ﷺdi masjid Nabawi, kemudian ia berpindah tempat ke masjid Quba dan menjadi imam bagi kaumnya.[4] Tak begitu penting di shalat yang mana Muadz datang dan menyodorkan diri untuk menjadi imam shalat. Yang menarik justru peristiwa setelahnya.

Selepas shalat, Muadz nampak kecewa. Kepalanya penuh prasangka kepada lelaki Arab yang memisahkan diri itu. Innahu munafiq,[5] kata Muadz. Muadz menuduhnya sebagai orang munafik. Terekam jelas dalam memori Muadz ketika Muhammad pernah memberikan petunjuk: laysa shalaatun atsqala ‘alal munaafiqiin min shalaatil fajri wal ‘isyaa.[6] Yang merasa berat, tertahan-tahan tersuruk-suruk, dan sering meninggalkan shalat isya dan subuh, adalah mereka yang kemungkinan besar terdera kemunafikan. Muadz menuduhkannya. Bagi Muadz, keluar dari jamaah shalatnya yang begitu panjang bacaannya adalah satu dari ciri mereka yang merasa keberatan.

Prasangka Muadz barangkali juga prasangka yang mendekam di kepala kita yang tengah diamuk semangat keagamaan. Ghirah kita meningkat. Bacaan kita menumpuk. Hafalan kita menggunung. Tirakat ibadah kita menanjak pesat. Ketika menjadi imam, kita ingin menunjukkan kualitas terbaik dengan memanjangkan dan memperbagus bacaan. Ketika berkumpul bersama, kita penuhi lisan kita dengan nasihat, bahkan pengingatan keras, yang tak pernah putus. Ketika melihat kekeliruan orang, kita merasa teramat perlu untuk mengoreksinya sesuai standar yang kita anut, bahkan menghukum mereka dengan pandangan-pandangan yang berkeliaran di kepala kita.

Kita kehilangan kearifan sosial yang semestinya kita tumbuhsuburkan dalam interaksi kemanusiaan dengan sesama manusia. Kita mengubur kearifan itu dengan standar yang kita patok sendiri sesuai kompatibilitas kemampuan diri kita. Anak yang belum sanggup, kita paksakan untuk menjadi mampu meski di wajahnya muncul rona penderitaan dalam beribadah. Orang yang masih tertatih-tatih beragama, kita dorong untuk berlari sekuat tenaga meski kita melihat jelas keringatnya yang kepayahan. Orang yang belum menegakkan syariat dengan sempurna, kita tuduh dengan sebutan yang tak laik: fasik, munafik, bahkan kafir dan musyrik.

Lelaki itu ikut murka dengan tuduhan Muadz. Ia menghadap Muhammad ﷺ, mengadukan kekesalannya terhadap Muadz yang mencemarkan nama baiknya di tengah banyak orang di jamaahnya.

Ya Rasulallah, katanya memulai. Inna qawmun na’malu biaydiinaa wanasqiy binawaadhihina. Kami ini kaum yang bekerja keras dengan tangan dan kemampuan kami sendiri sepanjang siang dan malam. Tenaga kami sudah terkuras sedemikian hebat di ladang dan kebun. Mengapa pula Muadz datang kepada kami, menjadi imam, lalu membaca surat Al Baqarah?

Da’wah dan ibadah bukan sekadar soal benar dan baik. Ia juga soal kepantasan dan kelayakan. Patokannya bukan belaka soal iman, Quran dan hadits, tetapi pemahaman dalam memandang karakteristik sosial orang-orang di sekitar.

Memahaminya dan menyelami kearifan sosial butuh keterampilan. Kearifan tidak muncul begitu saja dari buku-buku teks, dari artikel di internet, dari postingan di media sosial. Kebijaksanaan terbit dari interaksi yang hangat dan luwes, yang dimulakan dengan kebesaran hati untuk menampung sebanyak-banyak kegembiraan dan kebahagiaan orang lain di dalam hati kita. Di dalam kearifan itu, hukum menjadi perkara yang menyenangkan, tidak kaku dan terasa mengerikan. Dalam kebijaksanaan itu, ada kebersamaan langkah untuk bersama-sama menapak ke surga, bukan saling menyingkirkan satu sama lain.

Afattaanun anta? Muhammad mengulangnya hingga tiga kali kepada Muadz.Apakah Muadz – dan kita – menjadi ahli fitnah?

Kita dengan mudah menuduh orang lain buruk karena tak menuruti standar kita tanpa memahami konteks personal dan komunal mereka. Kita dengan gampang menyingkirkan orang lain dari jalan kebaikan karena tak sesuai dengan langkah gerak kaki kita tanpa tahu sebab dan latar belakang mengapa mereka melakukannya. Syariat kita sangkakan sebagai produk mutlak tanpa tahapan. Hukum kita anggap sebagai ketukan palu final yang tak boleh diganggu gugat. Padahal, da’wah dan kebaikan adalah jalan panjang berliku yang di setiap tikungannya selalu ada hikmah dan pelajaran untuk dipahami.

Waraa-akal kabiir wa dzul haajah wadh dha’iif. Di belakangmu, Muadz – kata Muhammad ﷺ – ada orang-orang tua, ada orang-orang yang juga punya urusan lain, ada orang-orang yang lemah dan tak kuat mengikuti standarmu. Di sekeliling kita, ada orang-orang yang belum paham dengan sempurna, yang tak paham sama sekali, bahkan tak punya ide apapun tentang standar-standar yang kita patok tinggi bagi diri kita. Tugas kita bukan sekadar showing off, mempertontonkannya, menunjukkan, mensuar-suarkannya, tetapi terlebih dahulu memahami psikologi, karakteristik, dan konteks sosial budaya mereka yang beragam.

Pada perkara yang substantif, tauhid, keyakinan kepada Allah, pilar keagamaan, Muhammad ﷺmemberi marka yang tegas. Tetapi, Muhammad juga memberikan kelonggaran dalam ibadah. Muhammad ﷺ tidak hadir di Madinah dengan standar tinggi yang tak substantif. Muhammad ﷺ manusia biasa – yang dari kenormalannya kita belajar banyak tentang dinamika hidup dan syariat. Kita mendapati ragam dan variasi riwayat yang beterbaran di speanjang hidupnya sehingga – dalam kaidah fikih – menyebabkan ikhtilaf dan perbedaan rumusan hukum. Muhammad ﷺ juga menghadapi istri dengan ragam karakteristiknya yang tidak sempurna; kadang cemburu, kadang merajuk – yang dari semuanya kita belajar hidup bermahligai rumah tangga.

Idzaa shallaa ahadukum linnaasi, falyukhaffif.[7] Kalau kita mengimami shalat bagi orang lain, maka ringankanlah bacaannya. Jika kita berada di tengah keluarga, pertemanan, jamaah, komunitas, maka ringankanlah standar agar dengan mudah mereka ikuti. Agar tak timbul di kepala mereka gambaran agama yang menyusahkan, menyengsarakan, dan menjadi beban yang memberatkan. Agama ini harus tampil di hadapan kita dalam citranya yang mudah sehingga kita berlomba dan bersenang-senang mengarungi lautan cinta kita kepada Allah. Jangan sampai kening kita menjadi simbol ketaatan, tetapi lisan kita menjadi mercusuar fitnah bagi orang lain.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

[1] Dari jalur periwayatan Ali bin Abi Thalib.

[2] Dari jalur periwayatan Hazm bin Ubay bin Ka’ab.

[3] Dari jalur periwayatan Jabir bin Abdillah.

[4] Melihat keterangan ini, yang mungkin lebih tepat adalah shalat isya karena jarak antara Nabawi dan Quba dapat memakan waktu satu jam perjalanan dengan berjalan kaki. Wallahua’lam.

[5] HR Muttafaq alaihi. Dari Jabir bin Abdillah.

[6] HR Bukhari. لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً

[7] HR Muttafaq alaihi, dari Abu Hurairah.

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.behance.net/gallery/42146759/E-Dawah-Committee-Project

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

  1. Muadz hanya ingin meniru bacaan dan cara Rasulullah saw. mengimami, tp bukan itu yg dimaksud Rasulullah saw.

  2. Saya meninggalkan jamaah Shalat karena jamaahnya menghinakan imam yang membaca surat-surat juz 30 setelah al Fatihah. Tak hanya pada saat shalat, di forum-forum pengajian pun menyindir-nyindir mereka yang hanya membaca surat-surat pendek saat sembahyang wajib.

    Kepandirin semacam ini terus digalakkan oleh kelompok yang merasa paling tinggi derajat takwanya ketimbang saudara-saudara seiman lainnya.

    Na’uzubillah…

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan