Di sekitaran Mekkah, tempat Muhammad ﷺ tumbuh besar, Quraisy tak banyak ambil pusing dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Tetapi, tidak dengan Muhammad ﷺ. Tak peduli bahwa Muhammad sebelumnya adalah orang yang paling mereka percayai untuk dimintakan pendapatnya, Muhammad yang memulai menyebarkan ajaran tauhid adalah Muhammad yang sudah berbeda sama sekali di mata pandang mereka. Muhammad kali itu telah menjadi Muhammad sang penyair, tukang sihir, dan orang gila.
Pernah suatu ketika, saking inginnya Quraisy meledek Muhammad ﷺ, mereka melakukan kunjungan ke beberapa kaum. Sowan. Bukan untuk silaturahim, tapi unjuk kekuatan politik. Kunjungan pertamanya ditujukan ke orang-orang Yahudi yang mereka tanya dengan lantang agar terdengar banyak orang, “Mu’jizat apa yang dibawa oleh Nabi Musa kepada kalian?” Orang-orang Yahudi menjawab, “Tongkat dan tangannya yang tampak putih bagi orang yang memandang.”
Mereka beringsut, kali ini mendekati orang-orang Nasrani dan bertanya hal yang serupa, “Apa yang dilakukan Nabi Isa?” Orang-orang Nasrani itu menjawab, “Dia dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya, orang-orang yang terkena penyakit supak, dan dapat menghidupkan orang yang telah mati.” Nampak senyum tersungging di sudut bibir orang-orang Quraisy. Seolah-olah ingin berteriak dan bersorak, “Mari sekarang kita tanya si Muhammad! Haha.”
Benarlah. Mereka mendatangi Muhammad ﷺ, namun tanpa pertanyaan. Mereka meminta, “Berdoalah kepada Allah, semoga Dia menjadikan bagi kami bukit Shafa ini menjadi bukit emas.” Itulah permintaan paling penuh ejekan. Mereka tertawa terbahak-bahak seolah puas dengan runutan logika yang mereka susun untuk menyudutkan Muhammad ke pojok paling terkucil, penuh dengan rasa malunya.
Tetapi, tidak seperti apa yang mereka duga. Dua buah ayat turun serta merta, menjadi jawaban paling sempurna atas ejekan mereka, sekaligus menjadi ejekan balik terhadap hati yang tak dilatih untuk berpikir. Ketika itulah Jibril menyampaikan wahyu kepada Muhammad, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.”[1]
Hook keras menghantam dagu Quraisy. Mereka terjerembab mundur. Tak ada ejekan tersisa pada hari itu. Semua senyap. Masuk ke dalam rumah dengan rasa malu yang tak bisa dikubur di dalam saku gamisnya sendiri.
Allah ﷻ, melalui Muhammad ﷺ, seolah ingin menjabarkan hal paling sederhana dengan cara paling sederhana. Tak perlu mu’jizat untuk tahu di mana Allah. Tak perlu kejadian istimewa untuk mengerti bahwa daya kuasa kehidupan ini berkumpul dalam kesatuan ujud Allah. Manusia modern telah tumbuh dan berkembang biak dari zaman ke zaman. Jika Ibrahim terlalu purba untuk dibilang modern, ia telah menggunakan filsafat akalnya yang paling sederhana untuk menemukan siapa yang layak disembah. Kita, di tengah-tengah kegemilangan teknologi, justru seringkali tersesat untuk menyadari bahwa Allah begitu mudah untuk dicari.
Allah adalah mula dan akhir perjalanan hidup kita. Tak ada bagian hidup kita yang tak dijamah Allah. Ia memandu, memberi tanda dan marka yang tegas. Pada kata-kata, disalurkanNya Qur’an yang dihafal turun-temurun melintas generasi. Di situlah Allah memandu hidup –yang Abu Bakar pun berkata, “Jika saja tali untaku hilang, aku akan mencarinya di dalam Al Quran.”
Di dalam Qur’an. Bukan di dalam mushaf dan tulisannya. Qur’an melintas wujud fisik. Ia bacaan yang tak dapat digenggam, tulisan yang tak dapat dirobek, suara yang tak dapat ditangkap. Ia adalah ilmu, tanda, dan nilai. Ia melekat bukan pada lembar-lembar yang dibaca tergesa-gesa, hafalan yang dirapal tanpa makna. Ia mewujud pada pemahaman dan aplikasi nilai.
Para sahabat Rasul tak akan berpindah mempelajari ayat lain sebelum ayat yang yang tengah dipelajarinya selesai dipahami dengan baik. Bukan hanya para sahabat, bahkan Muhammad ﷺ sekalipun. Beliau mengulang-ulang membaca surat Al Fath sendirian di atas untanya dengan bacaan yang pelan.[2] Di atas keyakinan itulah bacaan Quran memiliki kekuatan. Ada keseimbangan antara yang diserap dan yang diamalkan.
Berapa kali kita membaca Al Ikhlas, tapi tak pernah kembali untuk menemukan bahwa Allah adalah tempat sandaran yang sempurna –Ash Shamad.[3] Berapa sering kita merapalkan An Naas dalam shalat, tapi tak berdaya untuk meminta perlindungan dari hembusan rayu setan jin dan setan manusia –alladziy yuwaswisu fii shuduurin naasi minal jinnati wan naas.[4] Kita justru mengafirmasi ajakan mereka, menjadi suporter setia untuk melakukan intimidasi terhadap kebaikan dan pelempangan jalan terhadap keburukan dan kezaliman. Sudah seberapa melekatnya Al Kautsar di kepala, tapi seringkali kita terlena di dalam limpahan nikmat dan lupa mensyukurinya dengan shalat dan pengorbanan –fashalli lirabbika wanhar.[5] Kita tak memahami bahwa dalam surat pendek favorit kita itu ada kisah tentang telaga yang dijanjikan Allah dan orang-orang yang terusir dari telaga karena ketidaksetiaannya pada nilai ajaran Muhammad.
Tak perlu beranjak jauh ke dalam, menyelami ayat-ayat panjang dalam lembar mushaf yang padat itu. Keluarlah sejenak dari rumah dan pandanglah langit. Pernahkah kita serupa Abu Sulaiman Ad-Darani yang “..bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang terlihat oleh mataku melainkan aku melihat bahwa Allah telah memberikan suatu nikmat kepadaku padanya, dan bagiku di dalamnya terkandung pelajaran.” Lukmanul Hakim, sang arif bijaksana itu, pun berkata, “Sesungguhnya lama menyendiri mengilhamkan berpikir, dan lama berpikir adalah jalan yang menunjukkan ke pintu surga.”
Ayat-ayat Allah menghampar. Fil aafaqi wafii anfusikum.[6] Di seantero ufuk dan dalam dirimu sendiri. Ia tidak memadat hanya pada mushaf. Ia menjelma dalam keseharian. Angin yang berhembus, awan yang berarak, darah yang mengalir. Bahkan, pada nasib baik dan buruk kita. Barangkali kita telah merasa mengkhatamkan mushaf Qur’an beribu-ribu kali. Berulang kali dikebut demi target-target yang telah diresmikan di atas kertas dan di dinding media sosial. Tapi seberapa jauh kita telah menyanggupi untuk mengkhatamkan ayat-ayatNya –fil aafaqi wa fii anfusikum?
Rotterdam, Muharram 1440
Gambar fitur diambil dari: https://mukhlason.wordpress.com/2012/09/03/jumlah-ayat-dalam-al-quran/
[1] QS Ali Imran 190-191
[2] Dari Hadits Riwayat Bukhari: حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو إِيَاسٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ أَوْ جَمَلِهِ وَهِيَ تَسِيرُ بِهِ وَهُوَ يَقْرَأُ سُورَةَ الْفَتْحِ أَوْ مِنْ سُورَةِ الْفَتْحِ قِرَاءَةً لَيِّنَةً يَقْرَأُ وَهُوَ يُرَجِّعُ
Abdullah bin Mughaffal berkata, dari Adam bin Iyas, Dari Syu’bah, Dari Abu Iyas, “Aku pernah melihat Nabi Saw membaca saat beliau berada di atas untanya yang berjalan, ketika itu beliau membaca surat Al Fath atau bagian dari surat Al Fath, yakni dengan bacaan yang pelan seraya mengulang-ulangnya” (HR. Bukhari no. 4659).
[3] QS Al Ikhlas
[4] QS An Naas
[5] QS Al Kautsar
[6] QS Fushilat 53