Lebar Sayap Madinah

9 mins read

Mekkah dan Madinah – dua kota utama tempat mula sebaran Islam – sebenarnya adalah daerah yang relatif aman dalam peta politik global. Belum ada pengetahuan yang berlimpah tentang minyak bumi sehingga tak ada pertengkaran global dari dinasti-dinasti penguasa dunia kala itu untuk memperebutkan jazirah Arab. Kedua kota itu lantas seringkali hanya jadi tempat persinggahan dagang orang-orang yang hilir mudik menuju Syam – yang kini dikenal sebagai Syiria – dan Yaman. Tidak ada kebutuhan untuk meluaskan daerah kekuasaan. Yang mereka butuhkan justru ketenteraman agar tidak ada gangguan serangan dari luar yang benar-benar mematikan usaha dagang dan bisnis peziarahan mereka.

Jikapun ada perang-perang kecil, pastilah itu hanya terjadi di daerah utara jazirah Arab – daerah yang kini dikenal sebagai Jordania dan Irak. Di situlah area buffer, bantalan bagi dua kekuatan global yang sering bertikai: Romawi dan Persia. Romawi menjadi kekuatan adidaya di sebelah utara semenanjung Arab setelah mengalahkan Yahudi di Syam dan Palestina. Di Timur laut, ada kekuatan Persia yang menggeliat dan siap menerkam Romawi kapan saja. Dan, bangsa Arab yang bermukim di utara semenanjung kerap dijadikan kekuatan proksimat bagi dua kerajaan besar itu.

Dengan begitu pula, muncul dua kerajaan dari gabungan konfederasi beberapa suku yang masing-masing memilih bergabung ke dua kubu besar. Konfederasi suku Ghassanid menjadi kompatriot sekaligus buffer bagi kerajaan Romawi. Kerajaan kecil itu kini dikenal sebagai negara modern Jordania, Palestina, dan Suriah. Di sisi timur ada Konfederasi Lakhmid yang memilih bergabung dengan kekuatan Persia. Mereka bertempur berpuluh-puluh tahun hingga akhirnya kepayahan sendiri.

Di semenanjung, bangsa Arab tumbuh sebagai bangsa pragmatis. Tak peduli dengan segala pertengkaran dunia asalkan mereka masih bisa berziarah ke Ka’bah dan memenuhi pundi-pundi dapur mereka dari neraca perdagangan yang mereka upayakan. Pertempuran suku memang kerap terjadi, tetapi itu hanyalah perang-perang kecil regional yang tak memengaruhi konstelasi politik dunia saat itu.

Ketika Muhammad ﷺ telah merasa aman dalam perjanjian Hudaibiyah, situasi politik regional berubah menjadi relatif stabil. Pemberontakan Yahudi bersisa di Khaibar – yang dalam beberapa waktu ke depan juga akan dibekap karena seringnya menjadi iritan. Maka, saat itulah Muhammad ﷺ memulai siasat besarnya untuk melebarkan sayap ke kancah global.

Muhammad ﷺ memutuskan untuk berkirim surat kepada Heraklius penguasa Romawi, Kisra raja Persia, Muqauqis dan Najasyi di regio Abisinia. Ia juga mengirimkan surat kepada penguasa Ghassanid, Harits al Ghassani, di utara. Lalu, mengirimkan pula surat kepada penguasa Kisra yang bertahta di Yaman, Harits al Himyari.

Keputusan ini terasa begitu mengejutkan karena sudah berabad-abad bangsa Arab tak ingin memancing keributan dengan Persia dan Romawi. Langkah Muhammad ﷺ dianggap berbahaya bagi banyak orang dengan mempertaruhkan kehidupan orang banyak demi memperluas pengaruh geopolitik keluar dari sekadar di dataran Arab.

Tetapi, Islam di tangan Muhammad ﷺ telah dianggap selesai membangun pondasi tauhid. Islam mulai menjelajah area lain yang lebih luas, menyentil kehidupan sosial, masuk ke ranah hukum publik, lalu kini saatnya untuk memperluas pengaruh politik ke mancanegara. Semua dilakukan bertahap, tak ada yang instan. Tidak grasak grusuk. Tidak petatang peteteng. Tidak overconfidence. Tidak memburu-buru ingin menampilkan diri segera sebagai pemimpin. Tidak seperti kita yang kerap tak sabar melakukan pekerjaan secara bertahap: ingin lekas jadi, ingin cepat sukses, ingin segera hebat. Kita kerap terpana pada silaunya kemegahan kemenangan, pesona citra yang diagung-agungkan banyak orang meski hanya di dunia maya, tapi luput menanam pondasi yang kuat agar tak goyah batang persona kita yang menjulang tinggi.

Tetapi, tidak bagi Muhammad ﷺ. Banyak orang berpikir bahwa langkah Muhammad ﷺ adalah sebuah kecerobohan karena usia pergerakannya belum juga lewat lima belas tahun. Bau kencur. Tetapi, Muhammad ﷺ berbeda dari dari dua kekuatan global yang mencengkeram dunia kala itu. Ketika Romawi dan Persia saling sikut untuk meraih kemenangan materiil, Muhammad ﷺ menawarkan apa yang mereka tidak dapatkan dari pertempuran penuh darah. Kekuatan rohani.

Kristen di Byzantium telah terpecah-pecah menjadi banyak sekte. Persia terbelah dalam kelompok konservatis paganism dan kelompok modern Mazdaism. Muhammad ﷺ datang dengan membawa angin baru, ajaran yang utuh, pedoman yang menggerakkan dan memberi tenaga dalam hidup, lebih dari sekadar ritual dan tradisi usang dan jumud – yang seringkali hanya menjadi bagian pula dari kendara politik para penguasanya.

“Allah mengutusku sebagai rahmat bagi semesta alam,” Muhammad bermukaddimah kepada para sahabatnya sebelum ia kemukakan pendapatnya. Meski awalnya terasa mengejutkan, para sahabat kemudian memberi dukungan penuh. Cincin dari perak pun dibuat, sebagai cap penanda yang lestari bertuliskan ‘Muhammad Rasulullah’. Kepada Heraklius, Muhammad ﷺ memulai suratnya dengan basmalah. “Terimalah ajaran Islam, maka Tuan akan selamat,” tulisnya. Sebuah hentakan besar yang dapat membakar amarah Heraklius – seberapapun kuatnya ia meyakini bahwa agama yang dianutnya pun membawa risalah yang serupa. Jikapun Heraklius menolak, Muhammad ﷺ harus menyatakan: isyhaduu bi-anna muslimuun. Mereka harus tahu, sadar, mengerti, dan memahami bahwa ada sekelompok orang kini membawa risalah baru yang utuh dan menyentuh rohani melalui kedalaman Islam yang kokoh dan paripurna.

Itulah sejatinya pemimpin. Itulah sejatinya da’wah kepada mereka yang tak mengenal ajaran baru, kepada mereka yang selalu menumpas kelompok yang meniupkan perubahan.

Nyatanya, Heraklius tidak berbalas amarah. Ia tidak murka, tidak geram, tidak mengerahkan ekspedisi militer untuk menggempur Madinah. Ia justru membalas surat Muhammad ﷺ dengan baik – sehingga banyak orang berspekulasi bahwa Heraklius telah menerima Islam dan memeluknya. Ia berbeda sama sekali dengan penguasa Persia yang murka dan merobek-robek surat Muhammad ﷺ, lalu meminta penguasa Persia cabang Yaman untuk segera menyelesaikan perkara ini dengan membawa kepala Muhammad ﷺ ke hadapannya. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Penguasa Yaman ini telah mendengar kekuatan Muhammad ﷺ dan kaum muslimin, telah menyadari pula nilai-nilai yang dibawanya, hingga akhirnya ia bersedia memeluk Islam dan berkongsi politik. Yaman malah berubah haluan menjadi benteng pertahanan militer yang begitu kuat bagi Islam di selatan jazirah Arab.

Ketika Raja Muqauqis di Mesir dan Najasyi di Abisinia juga menerima usrat Muhammad ﷺ dengan lapang dan membalas suratnya dengan pernghormatan yang baik, kekuatan politik global baru telah terbentuk. Islam keluar dari zona nyaman ke zona riskan secara apik. Di titik inilah Islam menancapkan kakinya dalam konstelasi dunia yang membuatnya melanglang hingga penjuru bumi. Tak ada Islam di nusantara tanpa perantara cap cincin Muhammad ﷺ. Tak ada pula Islam di segala benua tanpa keberanian untuk keluar dari kepuasan regional. Islam harus dibentuk dalam cara pandang yang besar dan lebih besar lagi, sebagai rahmat dan kasih sayang bagi alam semesta. Islam harus dihadirkan sebagai penyalur rasa cinta kepada sesama manusia – seberapapun bedanya keyakinan yang dianut di antara sesama. Islam harus ditonjolkan sebagai keyakinan monoteism yang kuat tapi tidak arogan, yang kokoh tapi tidak semborono, yang teguh tapi tetap mendahulukan kasih sayang, bukan peperangan dan permusuhan.

Ketika sepasukan muslimin kembai dari perang di Khaibar, serombongan muslimin lain di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib pun kembali dari Abisinia. Kedua kelompok ini kembali dari medannya masing-masing. Di Khaibar ada yang berperang seolah Islam bertentangan dan membenci Yahudi, padahal sama sekali tidak. Karena mereka yang hijrah ke Abisinia membuktikan perkara wajah Islam yang sama sekali berbeda dari wajah perang: kedamaian dan persaudaraan.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

Gambar fitur diambil dari: https://geographical.co.uk/people/cultures/item/939-from-makkah-to-Madinah

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan