Pada tahun 9 H, Islam bukan kelompok kecil yang mudah di-bully, ditakut-takuti, dan disiksa. Islam telah berubah menjadi kekuatan yang superior di jazirah Arab. Bukan lagi sekadar Madinah, kekuasaannya telah meluas jauh, tentaranya telah memenangi pertempuran jauh dari rumah-rumah mereka. Harta rampasan perang mulai melimpah. Muhammad ﷺ tak lagi jadi pusat cibiran sebagai tukang sihir dan orang gila, tetapi musuh politik paling berbahaya bagi mereka yang terancam kuasanya.
Di tengah gelimang kemenangan dan harta, muncul desakan untuk sedikit merenggangkan badan, meluaskan halaman rumah, menumpuk pakaian di lemari, dan melampiaskan keinginan berbelanja lebih banyak. Bagi sebagian orang Islam saat itu, inilah saatnya keluar dari rasa prihatin yang begitu panjang. Bahkan, bagi istri-istri Muhammad ﷺ. Mereka yang diberikan uang belanja a la kadarnya selepas Perang Khaibar dengan sedikit makanan dan kurma setiap tahun, mulai gelisah. Terlebih, Muhammad baru saja dikaruniai anak laki-laki, Ibrahim, yang begitu disayangnya dari rahim Maria al Qibtiyah.
Muhammad ﷺ tengah duduk masyghul di tengah istri-istrinya ketika Abu Bakar dan Umar bin Khattab masuk ke ruangannya. Situasi yang aneh. Suami dan istri saling berdiam tak bersuara dengan mimik sedih bercampur kecewa yang tak dapat disembunyikan. Umar mengambil langkah cermat dengan bercanda, “Kalau Tuan melihat Bint Kharija (maksudnya, istri Abu Bakar) meminta belanja kepadaku, maka aku akan bangun dan meninju lehernya.” Umar sedang mengolok-olok canda Abu Bakar, dan sukses membuat Muhammad ﷺ tertawa. Muhammad pun terbuka dan membalas, “Istri-istriku ini di sekelilingku sedang meminta belanja!”
Siapa yang tak ingin keluar dari penatnya hidup dan keprihatinan untuk menikmati keleluasaan dalam perayaan atas kemenangan-kemenangan dunia? Naiknya gaji dan pendapatan membuat kita meluapkan keinginan yang tertahan untuk membeli barang yang dulu tak terbeli, menjangkau tempat wisata yang dulu belum pernah dijejaki, atau mencicipi makanan yang dulu bahkan baunya tak pernah dihidu. Kita merangkai taman hijau di depan rumah, melebarkan halamannya, meninggikan lantai bangunannya, dan membeli kendaraan baru yang lebih mewah untuk memenuhi hasrat yang dulu terpendam. Kenikmatan selalu membuka jalan menuju rasa ingin yang bertambah-tambah. Kita merasa bahagia dan senang dengannya. Tapi, kita seringkali luput bahwa kesenangan tak punya limit. Ia hanya membuka keinginan untuk kesenangan-kesenagan lain yang belum dicapai.
Kala itu, Muhammad bersedih. Ia telah menjangkau negeri jauh yang dulu tak pernah dibayangkan akan dikuasai dan didakwahi. Tetapi, rumahnya sendiri adalah ruang sekam tempat bersemayam hasrat dunia dan kecemburuan. Istri-istrinya gigih menuntut dan menyusun skenario sindiran kepada Muhammad atas nama cemburu. Mereka bersikukuh atas tuntutannya. Hingga Muhammad pergi menunggang kuda, menyepi jauh pada sebuah bilik kecil.
Percikan-percikan dalam rumah tangga tak boleh menghambatnya dari sikap waras, berpikir tenang, tidak emosional, dan terus menjalankan tugas dakwah yang digariskan padanya. Ia membuat marka tegas: ditinggalkannya istri-istrinya selama sebulan. Sebuah titik yang membuka hukum baru dalam tradisi Islam tentang bolehnya bersumpah tak menggauli istri.
Muhammad telah meletakkan pondasi yang kokoh dalam keluarganya sendiri. Ia menciptakan karakter yang kuat dalam dirinya untuk di-copy paste oleh istrinya. Di mana letak kesenangan, di mana wujud kebahagiaan, di mana posisi kekekayaan? Muhammad membuang nafsu jauh dari dirinya. Karena tak ada yang memberi batas bagi nafsu untuk berhenti. Sekali nafsu diberi ruang, ia akan meminta lebih, lebih dan lebih.
Setelah jumpai makanan lezat, tumbuh keinginan untuk mengulang, bahkan mencari makanan dan resep yang lebih lezat. Selepas menjejak di tempat wisata yang indah, muncul itinerary baru ke tempat lain yang belum dijejaki. Sehabis menikmati kendaraan yang nyaman, ada desakan untuk mencari uang lebih banyak lagi agar dapat menikmati kendaraan yang jauh lebih nyaman dan keren. Begitu keuntungan datang, ada keinginan yang tak bisa dikekang untuk memproduksi lebih banyak, menjual lebih intens, dan mendapat laba yang jauh lebih tinggi. Saat kesuksesan diraih, ada ribuan hasrat untuk memperoleh kesuksesan yang lebih megah sehingga raihan itu dapat dipertontonkan ke muka dunia.
Kita tak pernah mencapai titik kepuasan sejati. Yang kita nikmati adalah kepuasan-kepuasan nisbi dalam standarnya masing-masing –yang kemudian menerbitkan target kepuasan berikutnya dan berikutnya.
Dalam bilik kecilnya, Muhammad mempertontonkan kesejatian pemimpin. Umar masuk menemuinya, dan berlinanglah air matanya. Ia melihat Muhammad, pemimpin kelompok besar di jazirah Arab, hanya tidur bersandarkan pelepah kurma. Punggungnya masih penuh dengan cetakan pelepah kurma kering. “Wahai Rasulullah, Kisra dan Kaisar menikmati kemewahan hidup begitu rupa, sedangkan engkau makhluk pilihan Allah justru hidup begini rupa,” tangis Umar kepada Muhammad. Tak ada jawaban panjang. Tak ada nada kecewa. Tak ada pula umpatan kepada istri-istrinya. Muhammad hanya menjawab, “Aw fii syakkin anta, ya Ibna al Khattab?” Ragukah engkau wahai putra Al Khattab? Mereka semua adalah kaum yang disegerakan kebaikannya di dunia. Tidakkah engkau rela kenikmatan dunia bagi mereka, dan kenikmatan akhirat bagi kita?
Kita sudah begitu jauh tersesat di dunia. Alam demokrasi menuntun kita untuk disodori pilihan pemimpin dan wakil rakyat yang ditunjang dana dan kemewahan. Di puncak kekuasaan dan pemerintahan, kita terus diajak berlomba menumpuk bata peradaban ekonomi yang menjulang, tetapi fakir menghujamkan akar karakter yang memancang kuat ke dasar bumi. Kita kerap terkagum pada angka –dalam target-target tahunan yang harus dicapai, dalam anggaran yang harus dihabiskan, dalam kurva-kurva yang harus dipresentasikan. Kita luput menanam benih sikap, perilaku dan perspektif yang lurus pada generasi baru dan akan datang. Kita rabun memandang masa depan hanya dalam kacamata peradaban fisik, bukan mental dan karakter bangsa. Kita bertikai sekian lama –saling mengaku yang paling benar dan cerdas, hanya demi melampiaskan jalan kekuasaan yang satu atas yang lain. Kita hilang akal tentang kesadaran ruhani yang membuat hutan terbakar tak berbekas, bukit-bukit gundul tanpa pohon, laut rusak dan kotor, gunung es mencair, dan lapisan ozon terus terkikis. Kita mengekor pada kerakusan dan pada mereka yang terus rakus.
Muhammad akhirnya pulang ke pangkuan istrinya setelah satu bulan –masa yang telah cukup membuat istri-istrinya tersadar akan kepanikan mereka terhadap dunia. Aisyah telah menghitung-hitung dengan cermat hari-hari yang berlalu tanpa Muhammad. Ia galau. Bukankah rasa marah Muhammad adalah juga kemarahan Allah ﷻ, Sang Terkasih? Entah sudah berapa lama kita tak merasa terasing dari Muhammad yang kemudian membuat kita menyadari untuk mengambil jalan pulang menuju Allah lagi. Entah sudah berapa episode kehidupan justru kita yang telah jauh pergi dari Muhammad tanpa ingin menengoknya lagi dalam sejarah masa depan kehidupan kita.
Aisyah berbahagia saat Muhammad mengetuk pintu rumahnya lagi. “Ini baru malam ke-29,” katanya mengoreksi. Padahal, Muhammad bersumpah tak pulang hingga sebulan. “Bulan ini hanya ada 29 hari,” jawab Muhammad. Mereka tersenyum bahagia. Tercatat dalam sejarah, ditulis para perawi, dan menjadi hukum di tangan para fuqaha.
Rotterdam, Shafar 1441
Foto fitur diambil dari: http://baitsalmaqdis.blogspot.com/2016/03/dunia-yang-membuat-manusia-gelap-mata.html