Selepas lebaran, maghrib hilang dari ingatan. Padahal, sebulan lalu kita hafal kapan tibanya: jamnya, menitnya. Sebulan lalu, kita mengatur di mana kita akan habiskan maghrib bersama, kalau perlu berikut isya dan tarawihnya. Kita merayakannya di pinggir jalan dengan kolak, es buah, dan gorengan, juga martabak dan aneka jajanan. Kita bergembira dengan maghrib. Kepada maghrib pula kita menggantungkan harapan agar tunai puasa yang menyebabkan lapar dan dahaga.
Lepas sudah satu pekan, kita tak lagi ingat jam dan menit berapa maghrib akan ditunaikan di speaker-speaker masjid. Meja makan kosong. Jalan raya padat hanya dengan asap knalpot dan klakson yang bersahutan. Ia berubah dari kegembiraan yang meletup-letup menjadi gundah dan resah di tengah jalan.
Di mana kita menghabiskannya sekarang?
Tak ada yang peduli lagi berapa banyak jumlah iklan yang bersesakan menjelangnya di televisi. Tidak juga debat kecil tentang stasiun televisi mana yang paling cepat mencapai maghrib dan menyetel adzan, kultum menjelang maghrib mana yang paling apik, doa berbuka mana yang paling unik, juga suara muadzin mana yang paling syahdu didengar.
Maghrib sudah hilang, kata mereka. Yang tertinggal hanyalah sahutan adzan dari menara yang kepayahan. Tapi, bukanlah ia hilang, sesungguhnya. Yang tidak nampak, bukan berarti selalu tak ada. Seringkali, ia tidak terlihat karena kita tak pernah sungguh-sungguh mencarinya, menujunya.
Karena sesungguhnya maghrib selalu semarak dengan doa. Mungkin kita yang enggan lagi menjumpainya.
Rotterdam, Syawal 1438
Gambar diambil dari: http://ternakmania.website/meme-azan-magrib.html