Maling Sepatu, Maling Budaya, Maling Segalanya

4 mins read

maling sepatuKetika semua orang ribut bicara ulah Malaysia yang mencuri budaya negeri, kawan saya justru kerepotan sendiri dengan sepatunya yang hilang. Kawan saya itu merengut, bersungut-sungut, sambil bercerita bahwa belum sepekan yang lalu telepon selulernya juga hilang. Bukan di mana-mana. Bukan di toilet, bukan di pasar, bukan di terminal. Malah di tempat yang dia pikir paling aman sedunia karena labelnya yang luar biasa gagah: Rumah Tuhan. Telepon selulernya hilang saat berdesakan setelah selesai wudhu, sedangkan sepatunya raib setelah khutbah dan shalat Jum’at selesai.

“Tuhan mungkin sudah tak punya rumah,” pikir saya waktu itu.

RumahNya sudah dibakar, dihanyutkan bah. Yang bersisa hanyalah beton-beton yang menjulang –yang membuatnya harus mengemis di pinggir jalan sambil memutar shalawat dan kasidah sebelum semua dindingnya rampung dibangun. Tapi, cobalah masuk ke dalam, ruhnya melompong. Kefakiran telah menjelma kekufuran justru di tempat seharusnya manusia mampu melihat kebenaran dan bertaubat atas segala kesalahan.

Kawan saya mungkin tak akan sebegitu kecewanya dengan segala kehilangan. Saya tahu benar keikhlasan telah tumbuh menjalar di dalam sumsum tulangnya. Yang tak habis-habis dipikirnya hanyalah pertanyaan kecil, “Mengapa harus di masjid?”

Ah, saya saja yang mungkin terlalu terkesima dengan simbol. Percaya bahwa yang memakai udeng-udeng alias sorban di kepala itu dinamai kiai, ustadz, syekh, atau habib. Yakin bahwa yang berjenggot dan berjidat hitam itu pasti masuk surga. Memicingkan mata ketika yang lewat di depan mata saya adalah lelaki dengan rambut panjang dan jeans belel yang tak terurus. Padahal, saya tak mengerti yang mana maling dan yang mana polisi, yang mana jagoan dan yang mana penjahat.

Apalagi setelah semua orang, semua forum, semua website, semua koran, semua majalah, semua warung kopi, semuanya ribut bicara budaya yang disita negeri tetangga. Dulu batik, reog, sekarang malah tari. Semua kepala mendadak panas, semua lidah tiba-tiba menajam. Saya tak paham-paham, ke mana saja mereka yang menghujat selama ini –ketika dansa dansi dan jingkrak jingkrik lebih menyita dasar pikirannya dibanding tari marjinal yang cuma dikenalnya di buku kesenian sekolah dasar? Ataukah memang begitu bentuk heroisme sesungguhnya? Datang tiba-tiba, tersulut, lalu terbakar. Setelah itu, lupa lagi. Dansa lagi, ajeb-ajeb lagi…

Lantas saya teringat apa yang diucap Baba pada Amir Agha di The Kite Runner-nya Khaled Hosseini bahwa dosa yang paling dasar adalah mencuri, maling. Berbohong adalah mencuri kejujuran, berkhianat adalah mencuri kepercayaan, korupsi adalah mencuri harta instansi, membunuh adalah mencuri kehidupan. Saya tak paham benar apakah kemudian kaya juga berarti mencuri orang-orang miskin –karena orang kaya semakin kaya dan meninggalkan kemiskinan di dasar strata komunitas negeri.

Sewaktu semua berteriak-teriak, saya jadi nyinyir sendiri. Saya merasa tak punya apa-apa sebagai manusia. Selama ini malah jadi pencuri kepunyaan Tuhan. Mencuri rizkiNya yang tak saya kembalikan dengan ibadah yang khusyu’, menjadi maling atas semua pemberianNya tanpa mampu bersyukur dengan sepenuhnya. Tuhan titipkan harta di saku, tapi justru dicuri dengan memakannya sendiri, menyimpannya rapat-rapat di bank paling top, lalu lupa dizakatkan, apalagi disedekahkan. Tuhan menganugerahi kesehatan, tapi kemudian dimalingi dengan gaya hidup yang kelewatan. Tuhan mengucurkan waktu untuk diisi, tapi malah ditelikungi dengan kemaksiatan.

Ketika ada yang kehilangan laptop lagi di dalam masjid, saya hanya bisa mengelus-elus dada. “Ambil hikmahnya saja,” mungkin menjadi kata yang terlalu lumrah, terlalu normatif. Sekali waktu saya mau bilang dengan sungguh-sungguh, “Itu belum seberapa. Jangan-jangan sampean sudah malingi Tuhan jauh lebih besar dari itu.”

Waktu budaya negeri disamber negara tetangga, saya tak mau ikut-ikutan marah dan bakar-bakar bendera. Saya cuma bisa bilang, “Kita belum mampu menghukum diri kita yang menjadi maling di negeri sendiri.”

Entah sadar atau tidak. Maling-maling masih berkeliaran. Jangan-jangan justru di aliran darah kita. Tuhan sadarkan karena Sayang. Selanjutnya, terserah saja. Menjadi sadar atau malah jadi maling segalanya…

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan