Siang itu seorang lelaki datang ke istana Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, tepat di jantung kota Kufah. Ia membawa pesan yang sangat jelas: bakar pintu istananya, lalu segera pulang. Lelaki itu, Muhammad bin Maslamah, dengan cergas melaksanakan perintah yang diberikan. Ia membakar pintu istana yang membuat Sa’ad terkaget-kaget.
Padahal, tak lama sebelumnya Sa’ad membangun istana barunya di tengah pasar. Tak begitu lama pula sejak ia meminta izin kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu untuk berpindah kota. Kufah yang ditempatinya saat itu semula bukanlah kota utama. Ia menjadi kota alternatif yang diusulkan Sa’ad kepada Khalifah Umar setelah banyak sahabat Rasulullah terserang malaria di kota tempat Saad diperintahkan menjadi Amir: Madain –sebagian sejarawan menyebutnya Ctesiphon.
Sa’ad meminta dua sahabatnya, Hudzaifah bin al Yaman dan Salman bin Ziyad, untuk mencari kota baru untuk mengganti Madain. Keduanya berjalan menyusuri garis sepanjang sungai Eufrat, menempuh jarak ke selatan, dan berhenti menjelang daerah Hira. Di titik itulah mereka menatap dua biara Kristen yang berdiri di sana dengan pondok-pondok kecil dari ilalang yang berkerumun di sekitarnya. Sempurna, pikir mereka.
Penilaian mereka disetujui Sa’ad –yang kemudian meminta pula persetujuan Khalifah Umar untuk segera berpindah kota pemerintahan. Selepas disetujui, Kufah segera dibangun. Seorang prajurit diminta Sa’ad untuk melepas panah ke empat penjuru mata angin. “Di mana anak panah itu menancap, di situlah kalian mendirikan rumah-rumah kalian,” kata Saad.
Kufah dibangun dengan cepat. Rumah-rumah kayu berdiri di empat penjuru kota. Istana pertamanya dibangun berlekatan dengan masjid, tepat di depan arah mihrab. Baitul Mal yang sempat dirampok pun dijadikan satu dengan istana agar aman karena ramainya orang yang keluar masuk masjid. Sayangnya, hanya dalam beberapa bulan, rumah-rumah kayu itu terbakar. Api menjalar cepat. Sa’ad melapor kepada Khalifah Umar dan mendapat respons cepat, “Bangunlah rumah dari bata.”
Tetapi, syarat dari Khalifah harus dipenuhi: tak boleh berlebihan dan melampaui batas. Tingginya tak boleh lebih dari tiga abyat –setara tiga lantai apartemen. Tak peduli jika ada orang yang sanggup membangunnya lebih tinggi dari itu, kesederhanaan dan kesetaraan antar Muslim harus dijunjung. Di sinilah nilai Islam dipertontonkan dalam tata pemerintahan. Islam terkadang nampak lebih sosialis daripada negara sosialis modern sekalipun. Tetapi, nilai itu luntur di tengah riuhnya arus kapital. Di negara mana rumah-rumah kini tertata setara? Yang kaya bebas membangun rumahnya selebar dan setinggi apapun. Yang miskin harus rela berdiri, tidur, dan mandi di sekotak kecil papan yang berhimpit-himpitan. Yang kaya –bahkan setengah dan seperempat kaya– boleh berganti-ganti mobil dan menyumpahserapahi kemacetan yang tak usai-usai untuk pergi ke pusat belanja dan gedung kantornya yang menjulang. Yang miskin –bahkan setengah dan seperempat miskin– menjadi aksesoris kepadatan dan kemacetan kota sambil terus bertahan hidup ala kadarnya.
Khalifah Umar memberi batas tegas. Bukan hanya mana yang benar dan mana yang salah, tetapi juga mana yang patut dan mana yang tidak patut. Sa’ad mengangguk. Sebagai amir Kufah, ia taat tanpa sedikitpun resistensi. Siapa yang berhak melawan pemimpin yang dengan tegas menegakkan nilai Tuhan dalam semua sendi laku pemerintahannya?
Kufah pun menjelma kota modern. Sa’ad menatanya dengan apik dibantu seorang penata kota bernama Abu al Hayyaj –yang sering diklaim sebagai city planner Muslim pertama. Jalan dibangun dari pusat kota dan menyebar ke tepi-tepi kota. Di sisi kanan-kirinya dibangun pemukiman masing-masing suku, sehingga satu area dapat ditempati beragam suku. Lebar jalan utamanya –sesuai kriteria yang ditetapkan Khalifah Umar– adalah 40 hasta atau 20 meter. Jalan tepi selebar 15 meter atau 10 meter. Jalan gang tak boleh lebih sempit dari 3,5 meter.
Tengah kota dibiarkan kosong menjadi alun-alun. Di situlah masjid sederhana berdiri. Setelah kota semakin riuh, istana baru dibangun. Di sinilah letak mula persoalannya.
Sa’ad memindahkan istana ke dekat pasar. Berbeda dengan masjid yang sederhana, istana dan bentengnya dibangun dari bata yang dibakar dan diambil dari istana tua Raja Hira semasa pra-Islam. Ia membangunnya bersama Ruzbih bin Buzurghmir, seorang arsitek dari Persia. Meski begitu, suasana pasar yang ramai tetap masuk ke dalam istana. Suara pasar itu membuat Sa’ad sulit mendengar orang yang sedang berbicara kepadanya, begitupula suaranya sulit didengar yang lain. Sa’ad mencari cara mengatasinya. Ia memutuskan untuk mengunci pintu istana dan memberi batas siapa dan kapan orang dapat masuk ke istananya.
Berita ditutupnya pintu istana itu sampai pula ke telinga Khalifah Umar di Madinah. Umar marah, lantas mengirim Muhammad bin Maslamah untuk segera pergi ke Kufah, membakar pintu istana Sa’ad, dan segera kembali ke Madinah tanpa menyisakan sekecil apapun ruang untuk negosiasi.
Tak ada ruang bagi pengelola kekuasaan, pemerintah, dan pejabat untuk memisahkan diri dari rakyatnya. Meski Sa’ad dapat saja memberikan alasan atas niatnya yang tak sepenuhnya salah, ia tetaplah keliru. Pemimpin tak pernah dilihat dari niat di dalam hatinya. Pemimpin dinilai dari gerak geriknya, dari kebijakannya yang zahir, dari keputusan politiknya, dan dari ucapannya di ruang publik. Tak peduli seberapa baik niat yang bersemayam di jiwanya, jika yang tampak di ruang publik adalah kebijakan yang merugikan, keputusan yang menyengsarakan, gerak gerik yang memisahkan dirinya dari rakyatnya, tindak tanduk yang menegaskan dirinya tak membuka ruang kritik dari siapapun, maka pemimpin itu tengah menyusun kekeliruan.
Pemimpin publik, kepala negara, pejabat pemerintahan adalah mereka yang semestinya paling sadar bahwa sekujur tubuhnya telah diambil untuk menjadi tontonan publik. Mereka sepatutnya sadar bahwa ruang yang bersisa dari dirinya adalah ruang kritik, bukan puja puji. Dengan begitu, mereka benar-benar hidup. Tanpa itu, mereka mati di kuburan pujian yang digalinya sendiri.
Khalifah Umar menegaskan itu kepada seorang sahabat Rasul yang mulia: Sa’ad bin Abi Waqqash. Siapa yang tak mengenal Sa’ad? Bahkan, Umar pun tak pernah lupa bagaimana Sa’ad masuk Islam dan mendapat boikot dari ibunya sendiri. Umar tak pernah lupa bagaimana ia meminta Sa’ad, sang singa yang menyembunyikan kukunya, untuk menghalau 100 ribu prajurit Persia di Qadisiyah. Begitupun Sa’ad tak pernah lupa bahwa Umar pernah mengiriminya surat, “Jangan engkau terperdaya di hadapan Allah hanya karena engkau disebut-sebut sebagai paman dan sahabat Rasulullah. Sungguh, tidak ada kelebihan hubungan keluarga antara seseorang dan Allah, kecuali dengan menaatinya.”
Muhammad bin Maslamah pun membakar pintu istana. Pembakaran itu menjadi simbol keberpihakan Islam terhadap hak rakyat. Pemimpin tak boleh terlihat memisahkan diri dari rakyatnya –apapun dan sebaik apapun alasan di baliknya. Pemimpin tak boleh menutup ruang bagi kritik, tak boleh memilah siapa dan kapan orang dapat masuk ke istananya – apapun dan sebaik apapun alasan di baliknya. Pemimpin tak boleh mendudukkan dirinya lebih tinggi, membangun gedungnya lebih megah, menyiasati kebijakan bagi diri dan kelompoknya lebih longgar daripada rakyatnya –apapun dan sebaik sebaik apapun alasan di baliknya.
Jika pemimpin masih berlaku demikian, ketuklah istananya dan banjiri ia dengan kritik. Jika ia dengan sengaja membangun tembok keangkuhan, bakarlah pintu istananya. Hingga ia kembali menjadi seperti Sa’ad yang kita kenal, yang berterima kasih dan menyejajarkan dirinya kembali dengan arahan Khalifah Umar.
Jadilah pula pembakar pintu istana serupa Muhammad bin Maslamah. Ia tak sudi menerima hadiah apapun dari Sa’ad yang berterima kasih atas kritiknya. Ia berjalan lurus mematuhi Khalifah Umar: bakar, berikan peringatan kepada Sa’ad, lantas pulanglah segera ke Madinah. Pembakaran itu menjadi simbol kritiknya yang paling jernih dan lurus; tak menyisakan sedikitpun celah untuk mendapatkan keuntungan duniawi darinya.
Rotterdam, 29 Muharram 1440