Memetik Kearifan Miqdad

4 mins read

Puncak dari pengetahuan adalah kearifan. Ia tidak dicapai dari sekadar banyaknya bacaan dan tulisan, tidak juga sekadar dari tingginya jenjang pendidikan dan banyaknya gelar yang dihimpun. Tidak dari luasnya kekuasaan, tidak pula dari lapangnya kesejahteraan dunia. Barangkali ia tak diajarkan pula di bangku sekolah, di ruang kuliah, di aula seminar, bahkan di sela-sela training kepemimpinan. Ia lahir dari kejernihan batin selama menjalani rentangan pengalaman hidup. Ia tumbuh dari ketulusan menerima putusan-putusan Allah dan ketetapan hati untuk terus mencari kerelaan Allah.

Siapa yang menyangka orang yang kerap disiksa derita kini tumbuh menjadi pribadi penuh kearifan? Miqdad bin Amr radhiyallahu ánhu (ra.), lelaki itu. Orang ketujuh yang bergabung bersama Rasul Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) di rumah Arqam bin Abi Arqam ra. Keimanannya menumpuk tebal di sela ruang-ruang gelap kezaliman pemuka Quraisy. Ia memilih berdiri di samping Rasulullah, memetik hikmah dan kearifan yang luasnya tak bertepi, dan menjadi ksatria tangguh yang tak mudah merengek mesti dihujani seribu ancaman sekalipun. Di tengah ancaman pasukan yang tiga kali lipat besarnya di Badar, kata-katanya menghujam ke sanubari, “Seandainya engkau, Muhammad, membawa kami ke dalam lautan lumpur, kami akan terus berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan.”

Saat Miqdad ra. diangkat sebagai amir, dan purnalah sudah tugasnya, Rasulullah Saw. bertanya kepadanya tentang jabatan amir-nya –jabatan yang membuatnya berada di posisi lebih tinggi dari rakyat jelata. Ia menolak jabatan itu lagi hingga kapanpun, hingga wafatnya sekalipun. “Sejak saat ini, aku tak lagi berkeinginan menjadi pemimpin, sekalipun untuk dua orang, selama-lamanya,” jawabnya. Kearifan yang ia reguk sepanjang hayatnya membuatnya sadar akan kelemahan dirinya sendiri dan memahami konsekuensi besar dari apa yang digenggamnya selama di tampuk kepemimpinan. Ia menempuh jalan yang mempertemukannya pada pemahaman hakikat dunia: fitnah, ujian. Ia mengerti kearifan yang diajarkan Rasulullah kala memutuskan sebuah perkara. “Hati manusia lebih cepat berbolak balik daripada isi periuk yang mendidih,” kata Rasul. Maka, ia selalu bersungguh-sungguh menyelami duduk perkara dan menimbang masak konsekuensi setiap kebijakan yang diambilnya.

Bahkan, kearifannya membuat Miqdad tak pernah terburu-buru menilai orang hingga sampai akhir hayat mereka. Kita tak pernah tahu perjalanan hidup orang. Tak pantas menyematkan gelar buruk bagi orang dan memasukkannya dalam golongan yang dimurkai, padahal setiap orang punya kesempatan untuk berbalik dan kembali kepada Allah. Begitupun sebaliknya. Apa yang membuat kita merasa lebih arif dari Miqdad, memberi stempel-stempel buruk kepada orang lain ketika Allah masih memberi tangguh untuk pemaafan dan ampunan? Apalah lagi, jika cap buruk itu kita sematkan hanya karena ketidakserasian langkah kita dengan mereka.

Orang-orang memuji Miqdad dan membayangkan betapa nikmatnya hidup seperti Miqdad; hidup di masa perjuangan bersama Rasul. Tapi, Miqdad menolak. Bukan hidup di masa Rasul yang membuat kehidupan manusia lebih afdhal, utama. “Demi Allah, bukankah pada zaman Rasulullah, banyak orang yang ditelungkupkan mukanya ke neraka jahannam?,” katanya merendah. Yang terpenting bukanlah pada masa siapa kita lahir, bukan di periode apa kita hidup, dan bukan di pemerintahan siapa kita berjuang. Yang terpenting adalah kemampuan kita menyejajarkan diri dengan kebenaran-kebenaran yang diamanatkan Allah; dalam substansinya yang hakiki, dalam cara dan prosesnya yang diridhai. Apalah yang membuat kita merasa bijaksana dan merasa benar mengungkapkan kata-kata daripada Miqdad, merasa paling benar dengan asumsi dan rekaan pikiran yang kerap diliputi nafsu dan cemburu?

Miqdad telah dilimpahi kearifan yang luas. Namanya telah dititipkan Allah dalam lisan Muhammad, “Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu dan menyampaikan pesanNya kepadaku bahwa Dia mencintaimu.” Kita merindukan itu; mengharapkan Allah juga menyampaikan rasa cintanya kepada kita. Tapi, sudah seberapa jauh langkah kita menempuh jalan menuju kearifan serupa Miqdad?

Rotterdam, 5 Ramadhan 1439

Foto fitur diambil dari: https://photo.sindonews.com/view/24644/subak-sebagai-bukti-kearifan-lokal-di-bali

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan