Pandangan kita terhijab dari permulaan, asal-usul, kebenaran. Yang kita yakini kebaikan barangkali bukan berarti kebaikan yang sesungguhnya. Bahkan, Musa tak pernah sabar menanti keadilan Allah yang sebenarnya saat ia menuntut untuk ditunjukkan keadilan sejati pada kisah pengendara kuda, anak kecil dan seorang buta. Musa tak pula sabar ketika –dalam runutan Al Kahfi 60-82 – ia mengikuti perjalanan Khidr.[1] Apa yang kita mengerti tentang rahasia –yang Allah sendiri firmankan, boleh jadi engkau membenci sesuatu padahal itu baik untukmu, dan boleh jadi engkau menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu? [2]
Juga, pada kebenaran terhadap apa yang sesungguhnya kita miliki. Harta yang ditumpuk, rumah yang dibangun, makanan yang disajikan, anak-anak yang dilahirkan dan ditumbuhkembangkan? Selera duniawi kita yang menjadi hijab bagi benarnya materi yang kita genggam hari ini. Lantas kita dibisiki syaithan, didesak nafsu yang menggedor-gedor untuk menjadi lupa bahwa Allah memberi pesanNya: bermegah-megahan telah melalaikanmu[3]. Hingga ujung mulut kita mencium tanah kubur, temnpat pelepasan segala hiruk pikuk dunia.
Muhammad pernah bersedih saat Jibril tak lagi hadir menyampaikan wahyu –dan bisik-bisik para pembencinya menambah pedih itu hingga dijawab Allah dalam surat Adh Dhuha yang indah. Allah telah memberikan segalanya kepada manusia, seperti ia memberikannya kepada Muhammad. Kita yatim dalam kuasa, tak punya daya apapun hingga Allah yang melindungi. Kita bingung, tersesat tak tentu jalan hingga Allah menunjukkan ke mana arah melangkah. Kita tak punya apapun di dunia, miskin dan kekurangan hingga Allah yang memberikan kecukupan.[4]Kita penuh aib dan kesalahan, dosa yang berjejeran hingga Allah yang menutupkannya dan menyelimutinya dengan kebaikan.
Keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya itu yang seringkali tak kita sukai. Ia tidak berhenti pada pernyataan sikap, deklarasi i’tikad, atau konfirmasi atribut keimanan, tetapi benar-benar diamplifikasi dalam keadilan sosial: memberikan harta yang dicintainya kepada mereka yang termarjinalkan –yatim, fakir, miskin, dan mereka yang meminta dalam kesusahannya. Berdustalah kita kepada agama ketika menjadi bagian dari tabiat personal dan sistem yang menghardik anak-anak yatim, menempatkan mereka pada aksis terbawah dalam strata sosial, dan tak memberi makan kaum miskin dengan terus melapangkan jarak, gap, kesenjangan, antara kita dan mereka.[5]
Lantas, apa yang kita miliki? Al Ahnaf bin Qais menyitir syair indah: Engkau akan menjadi milik hartamu jika engkau menahannya, dan jika engkau menafkahkannya maka harta itu akan menjadi milikmu.[6] Kita menjadi hilang, terampas kemerdekaannya, terbelenggu langkah pijakannya ketika kita sendiri yang menyangkutkan materi dunia menjadi tuhan-tuhan kecil yang kita puja-puji. Yang hilang dari pelukan kita, yang tak kita genggam erat-erat, yang kita rela dan ikhlaskan, itulah yang yang menjadi milik kita sejatinya.
Puasa kita –adakah menjadi pelepas hijab kita dari pandangan yang terkaburkan oleh nikmatnya dunia?
Rotterdam, Ramadhan 1438
*Judul ini diambil dari judul lagu Letto, “Memiliki Kehilangan”
[1] Lihat QS Al Kahfi 60-82
[2] Lihat QS Al Baqarah 216
[3] Lihat QS At Takatsur
[4] Lihat QS Adh Dhuha
[5] Lihat QS Adh Dhuha dan QS Al Maún
[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir terhadap QS At Takatsur