Mencari Do’a Sa’ad

4 mins read

Apa harapan yang menumpuk di sanubari kita dan sempat kita tuturkan berulang-ulang kepada Allah? Kadangkala kita merasa doa dan harapan itu tak tajam menusuk langit. Ia mengambang, tak terjawab. Ia tertahan, tak maqbul. Lantas kita mengeluh berkali-kali kepada Allah: mengapa tak juga terjawab segala pinta?

Barangkali kita pantas mencemburui Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ánhu (ra.). Ketika seorang laki-laki memaki Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin Ubaidillah ra., dan Zubair bin Awwam ra., Sa’ad mendatanginya dan mengingatkannya untuk tidak melakukannya lagi. Lelaki itu mengabaikan Sa’ad hingga Sa’ad berkata, “Kalau begitu, aku mendoakanmu kepada Allah.” Si lelaki tertawa, tetapi Sa’ad tidak marah dan balas memaki. Ia mengambil wudhu, shalat dua rakaat, dan berdoa. “Ya Allah, bila menurut ilmuMu orang ini telah memaki segolongan yang telah mendapat kebaikan dariMu, dan tindakan itu mengundang murkaMu, jadikanlah hal itu sebagai pertanda dan sebuah pelajaran.”

Mendadak unta liar datang mengamuk, masuk ke pekarangan rumah. Tak terbendung, unta itu menerjang si lelaki, menginjaknya hingga tulangnya remuk, kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Do’a Sa’ad terkabul secepat kilat. Tanpa delay.

Sa’ad tak begitu saja dianugerahi nasabah maqbul prioritas dari Allah. Ia lebih dulu menjadi hamba yang loyal kepada Allah dan Rasulullah. Ia menjadi lelaki yang pertama yang melepaskan anak panah ke arah musuh, dan dengannya pula menjadi yang pertama terkena panah musuh. Kecintaannya teruji dari sambutan yang menggebu-gebu setiap Rasulullah Shallallahu álayhi wasallam (Saw.) mengumandangkan perintah. Hingga suatu saat, Rasulullah mendoakan Sa’ad, “Ya Allah, tepatkanlah bidikan panahnya dan kabulkanlah doa-doanya.” Sejak itulah, do’anya melesat cepat dan kembali dengan jawab.

Ketika Rasulullah Saw. duduk bersama para sahabat, beliau mengungkapkan teka-teki, “Sekarang akan muncul di hadapan kalian seorang penduduk surga.” Tak lama kemudian, muncullah Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Sejak saat itu pula, Abdullah bin Amr bin Ash ra. membuntutinya ke mana saja Sa’ad pergi demi meminta rahasia agar dapat masuk surga dari Sa’ad.

Sa’ad tak menjawab panjang. “Tak lebih dari amal ibadah yang biasa kita kerjakan,” katanya. “Hanya saja, aku tidak pernah menaruh dendam atau niat jahat sedikitpun di antara kaum muslimin.” Hati yang bening, jernih, jauh dari prasangka dan dendam menjadi senjata yang memusnahkan halangan antara hamba dan Tuhannya.

Do’a-do’a kita yang mandek dan tak menuai jawaban barangkali tertahan oleh syak wasangka kita yang berlebihan, dendam yang dipelihara, kecemburuan yang dipupuk, dan ketidakrelaan kepada sesama saudara. Berulang kali kita meyakinkan diri bahwa Allah dekat –fainnii qariib, kata Allah– tapi tak kita lengkapi dengan falyastajiibuu lii wal yu’minuu bii. Kita lupa, permohonan kita bukan sekadar lihai menyusun ucapan, tetapi menegakkan laku yang mencerminkan iman: yang berkata baik atau diam, yang menjaga keselamatan saudaranya dari tajamnya lisan, yang menjaga penghargaan dan kemuliaan kepada sesamanya.

Puasa dan Ramadhan mensensitisasi kita untuk semakin dekat dengan Allah –aqrab wa aqrab. Maka, carilah do’a Sa’ad bin Abi Waqqash ra. di jalan yang kerap luput kita tempuh itu.

Rotterdam, 3 Ramadhan 1439

Foto fitur diambil dari: https://artikel.masjidku.id/articles-item.php?id=877

 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan