Mencari Namrudz

4 mins read

Demokrasi barangkali telah menjadi lahan bercocok tanam paling menguntungkan hari ini, bukan ladang gandum, pabrik tempe, atau kandang sapi. Silakan hitung berapa banyak kapital yang digelontorkan dalam gerbong demokrasi, dari sekadar bergembiranya media sosial, munculnya banyak pengamat demokrasi, keuntungan lembaga survey, hingga dana kampanye yang jumlahnya barangkali cukup untuk memberi makan jutaan rakyat yang fakir. Sayangnya, lahan yang subur itu tak juga dapat diprediksi kapan dapat dipanen. Buahnya rupa-rupa. Yang sinis akan beranggapan bahwa buahnya lebih banyak yang menjelang busuk –jika tidak mau dikatakan memang busuk benar. Yang permisif berusaha meyakinkan untuk terus bersabar meski kabinet sudah berganti berkali-kali.  Jangan tanyakan mereka yang anti. Demokrasi sudah diketuk palu sebagai produk thaghut yang mesti dimusnahkan, berkebalikan dengan para pelaku demokrasi yang terus bergeming meski dikritik. Mereka itu yalhats aw tatrukhu yalhats; preokupasinya terhadap demokrasi sudah tak bisa digoyang.

Langkah positifnya –atau malah putus asa, adalah gelaran calon pemimpin alternatif yang diusung lembaga survey dengan rasionalisasi masing-masing. Mirip kontes, lembaga survey ini semacam juri seleksi dan pemilihnya adalah partai, bukan rakyat. Partai yang mengemas, rakyat yang menikmati tayangannya. Selewatan saja –setelah itu tali kendali balik lagi ke partai. Jadi, jangan protes jika televisi milik rakyat itu justru disibukkan perkara partai, bukan perkara rakyat. Jangan pula protes jika nanti yang terpilih lebih sibuk mengurus kelompoknya dibandingkan warga negaranya.

Memang sulit mencari pemimpin. Yang dikenal sekarang lebih banyak kontestan pemenang, bukan pemimpin. Lebih mirip juara kontes menyanyi yang digilir setiap lima tahun. Ya, begitulah demokrasi. Suara rakyat bukan lagi sebenar-benar suara Tuhan, tapi suara kapital. Siapa yang lebih punya banyak pulsa untuk kirim sms, jagoannya yang menang. Siapa yang berkehendak mengeluarkan lebih banyak ketika panggung digelar, ya dia yang ternobatkan. Kualitas barangkali jadi nomor kesembilan belas. Seleksi partai oleh KPU sempat jadi uji filtrasi kualitas. Sayangnya, KPU justru kalah hebat dari juri Indonesian Idol atau X-Factor yang tak pernah digugat di PTUN.

Semua kelompok menunjuk dadanya sendiri sebagai yang terbaik. Sesekali saling tuding antar kelompok, sesekali pula bertengkar di internal kelompoknya. Saling gusur. Media yang campur tangan semakin membuat kusut dengan asumsi-asumsi analis politik. Sudah tak jelas lagi siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang benar memang tak sepenuhnya benar, yang salah pun tidak salah sepenuhnya. Yang benar ada boroknya, yang bobrok juga ada benarnya. Repot jika keduanya saling tuding siapa yang paling bobrok.

Saya jadi berpikir, barangkali yang diperlukan Indonesia hari ini memang bukan pemimpin yang hebat, tapi cukup Namrudz –raja congkak yang menyebut dirinya Tuhan. Sudah tampak buruk dan sesatnya sehingga orang tak perlu lagi sibuk menganalisis siapa yang jahat dan siapa yang baik. Konsultan politik tidak perlu pula wara wiri di televisi hanya untuk memperkeruh karena ketidakjelasan batas antara baik dan buruk. Kalau Indonesia sudah tak punya idola, barangkali Indonesia butuh musuh bersama –yang siap ditimpuki dan di-gerunduli bersama-sama.

Jadi, mari cari ‘Namrudz’-nya Indonesia. Tapi, saya jadi khawatir sendiri. Celaka kalau ternyata ‘Namrudz’-nya Indonesia adalah demokrasi itu sendiri.

Rotterdam, Maret 2013

Gambar diambil dari: http://images.kekuatanpena.multiply.com/image/1/photos/upload/300×300/SdRf5AoKCGQAAH7dA341/democracy1.jpg?et=oO4lozT213xl3WqtPYeIog&nmid=0

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan