Merayakan Desas Desus

7 mins read

Pagi itu, Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam (Saw.) dan pasukannya bergegas menuju Madinah setelah singgah sejenak di perkemahan. Aisyah radhiyallahu ‘anha (ra.) yang kecil mungil sejenak keluar dari pelangkinnya untuk menunaikan hajat. Tak disangka, kalungnya jatuh. Disapunya pandangan ke seluruh jalan. Saat ia menemukan kalungnya lagi dan kembali ke kemah, pasukan Rasulullah telah berangkat. Ia tertinggal. Pasukan telah membawa pelangkin kosong di atas unta tanpa Aisyah di dalamnya.

Gurun nampak ganas dan akan membuatnya tersesat bila ia memaksa berjalan seorang diri. Maka, Aisyah memutuskan menunggu pasukan sadar bahwa pelangkinnya kosong dan menjemputnya kembali ke kemah. Dalam penantian itulah, seorang lelaki melintas. Ia juga tertinggal dari rombongan Rasulullah Saw. Tanpa niat buruk secuil pun, ia meminta Aisyah menaiki untanya agar segera menyusul ke Madinah.

Sayangnya, Madinah dipenuhi prasangka desas desus yang dikomando Abdullah bin Ubay. Melihat Aisyah datang bersama seorang lelaki, terbakarlah gonjang-ganjing. Siapa yang mengira Aisyah terpincut lagi dengan lelaki idamannya di masa kecil, lelaki muda tampan yang lebih segar dari Muhammad: Shafwan al Mu’attal? Rasulullah mula-mula menampik isu tak sedap itu. Shafwan lelaki beriman teguh, tolak hati Rasulullah. Tak mungkin ia bermain mata dengan Aisyah.

Namun, desas-desus berperangai angin. Ia beterbangan ke sana ke mari. Seperti api yang membakar daun-daun yang mengering, desas desus membakar jiwa-jiwa yang kerontang iman. Hamna, saudara perempuan Zainab binti Jahsy –salah seorang istri Rasulullah– mengerti bahwa Aisyah punya kedudukan khusus di sisi Nabi. Ia melihat kakaknya bukanlah istri prioritas. Maka, ia meletup-letupkan lagi isu tak sedap itu, mencari dukungan ke Hasan bin Tsabit ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. untuk memojokkan Aisyah. Abdullah bin Ubay siap siaga di luar sana. Ia mendapat pupuk untuk menumbuhsuburkan kebencian lagi terhadap Rasulullah dan keluarganya.

Muhammad Saw., lelaki penuh cinta itu, terbakar pula api cemburu. Cinta dan cemburu itu, bukankah memang sering berpadu? Yang satu tak akan muncul jika yang lain tak pernah ada. Masuklah lagi ke ruang hati keluarga kita sendiri –temukan di mana rasa cemburu bersembunyi. Jika ia tak pernah terasa lagi, tak pernah menggedor-gedor pintu kamar lagi, tak pernah membuat wajah memerah dan tangan mengepal; barangkali cinta telah terbang tak berbekas lagi.

Hubungan Muhammad Saw. dan Aisyah ra. mendadak kaku. Basa-basinya hilang, obrolannya kerontang. Aisyah jatuh sakit dan meminta ijin, “Aku akan pindah ke rumah ibu supaya ia dapat merawatku.” Di luar sana, orang-orang semakin ramai merayakan desas-desus bersama Abdullah bin Ubay. “Aisyah jatuh cinta kepada Shafwan,” teriak Ibn Ubay keras-keras. Orang-orang mengerubung dan bergosip. Pandangan mata mereka memicing.

Manusia memang mencintai desas-desus. Ia ringan dikunyah di mulut, mudah dilontarkan lidah, dan begitu nyaman didengar telinga. Cobalah hari ini kita tengok televisi, kita nyalakan radio, kita buka tayangan video, dan kita baca umpan di media sosial. Desas-desus berceceran di mana-mana. Ia tak lagi sekadar gosip para artis. Desas-desus berkendara politik setiap kali menjelang pemilihan pemimpin baru. Ia menukik tajam ke siapa saja yang ingin dihancurkan. Kita kerap kali menyambutnya suka cita. Kita mengafirmasi desas desus yang kita yakini menguntungkan posisi politik jagoan kita dan menjatuhkan lawan yang kita benci. Desas desus mengendap di meja-meja kantor; dan kita siap membukanya untuk menjatuhkan lawan karier, saingan bisnis, dan siapa saja yang dapat menghambat laju keuntungan materiil kantong dunia kita. Desas desus kita sajikan di meja makan kita. Sambil makan malam, kita membincangkan berita bohong dan menyetujuinya. Tidak melulu demi keuntungan pribadi, desas desus sering kita reproduksi hanya demi kenyamanan lidah dan telinga, memenuhi syahwat yang meronta-ronta dan tak mampu ditahan.

Namun, bukanlah Muhammad Saw. jika terus tebakar isu tak sedap. Bukanlah Muhammad Saw. jika tak menjernihkan hati dan meminta klarifikasi, tabayyun. Ia beranjak ke rumah Abu Bakar As Shiddiq ra, menjumpai Ali bin Abi Thalib ra, dan meminta saran dari Usamah bin Zaid ra. Lihatlah, Rasulullah pergi ke rumah Usamah –lelaki lepas remaja dan meminta pendapatnya! Karena pemahamannya terhadap psikologi manusialah, Rasulullah meminjam pandangan Usamah yang sebaya dengan Aisyah. Usamah hanya tersenyum, ia menolak segala desas desus. Ali menyarankan Rasulullah pergi bertanya kepada pembantu Aisyah dan meminta persaksiannya.

Siapakah kita jika merasa lebih baik daripada Rasulullah Saw? Setiap kali desas desus datang, kita kerap merayakannya dengan like dan share, dengan tombol forward dan perangkat copy-paste. Setiap kali desas desus masuk, kita sering kehilangan daya pikir untuk mengendapkannya sejenak untuk mencari apakah ada kebenaran di dalamnya. Jikapun benar, adakah kebaikan di dalamnya? Namun, kita sering memilih untuk membenarkan syahwat kalam dan syahwat digital kita. Jari-jari kita lebih lihai dan cekatan daripada keterampilan membenahi jiwa dan nurani. Kita secara tidak sadar telah memasok bahan bakar desas desus untuk berkobar lebih besar. Yang terbakar di luar sana juga akan meredupkan cahaya di dalam hati, menggelapkannya dengan titik noda yang semestinya kita hapus setiap hari dengan permohonan ampunan.

Tak perlu kita bahas ujung ceritanya. Kita telah hafal ayat yang turun kemudian. Namun, kita masih saja sering melupakan jalan manusiawi Rasulullah Saw. Pada insiden yang menegangkan ini, kita menjumpai Rasulullah Saw sebagai manusia. Ia juga rentan serupa kita. Ia melemah dengan desas desus yang membara. Namun, tuntaskah cerita ini hanya untuk diperdengarkan, dan tidak menjadi teladan? Yang hilang dari diri kita hari ini adalah penyesuaian frekuensi kita dengan Allah. Kita membuat sinyalnya kabur dengan membiarkan diri kita tercebur dalam perayaan-perayaan kita terhadap desas desus.

Jika masih saja kita merasa aman dengan menggunjing dan merawat desas desus, puasa kita tak akan pernah aman. Ia hanya akan meninggalkan lapar dan haus tanpa nilai. Habis.

Rotterdam, 15 Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: http://tutorials411.com/2016/12/09/design-gosip-logo-photoshop/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan