/

Open House Politik

4 mins read

Yang menarik dari lebaran adalah rumah-rumah yang terbuka dengan jejeran kue khusus yang mungkin tak ditemukan di hari selain lebaran. Di banyak daerah, rumah dapat terbuka sepanjang hari, sepekan penuh, bahkan sebulan tak henti-henti. Siapa saja boleh masuk. Siapa saja dipersilakan berkunjung.

Hanya rumah pejabat, barangkali, yang terbuka hanya sesekali. Dan lebaran itulah saksi bagaimana pintu rumah mereka terbuka, rakyat berbaris memanjang, karpet dijulurkan dari pelataran hingga ke pelaminan, tempat tuan rumah berdiri seperti sepasang pengantin yang sibuk bersalaman. Mereka sebut itu: open house. Acara yang ketika diumumkan ke khalayak sudah sekaligus menunjukkan secara implisit bahwa si empunya hajat adalah ‘orang penting’. Bisa presiden, menteri, gubernur, atau bahkan camat dan lurah. Bisa pengusaha, direktur, kepala kantor, atau bahkan kepala seksi. Tak ada ‘open house’ yang didatangi oleh sekadar keluarga besar. Pastilah para staf, bawahan, dan rakyat yang harus sibuk mencocokkan jadwal kapan pintu rumah pejabat itu terbuka dan ada kesempatan untuk berjabat tangan.

‘Open house’ menjadi ritual menarik sekaligus memilukan. Di situ ada momen antik tempat berdilusinya golongan atas dan bawah, kelompok pengatur dan diatur, grup pemilih dan dipilih, orang-orang borjuis dan proletar dalam satu tempat. Di situlah pula lebaran mengalami pergeseran kultur menjadi instrumen politik dan bisnis. Jangan cari proses maaf bermaafan di sana karena hilang tertimbun politik persona dan imej. Apalah lagi proses saling meng-halal-kan –yang orang-orang Indonesia memformulasikannya dalam aktivitas halal bi halal. Nihil. Formil belaka.

Dalam situasi pemimpin dan rakyat, telah tampak jelas siapa yang punya ruang kesempatan lebih besar untuk berbuat salah dan menumpuk kezaliman. Tak perlu ditanya siapa yang memiliki kedigdayaan lebih kuat untuk mengatur, memaksa, dan mengarahkan ke sudut mana kebijakan dan rakyat akan dibawa. Dengan begitu, ‘open house’ tak semestinya ditinggal dalam ruang politik belaka, tetapi dikembalikan ke dalam ujud substantifnya dalam relasi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin yang sepatutnya menyuruk-nyurukkan pundaknya ke setiap rumah rakyatnya yang terbuka, meminta maaf jika dalam sekian lama periode kepemimpinannya terlalu banyak kesalahan dan kekhilafan, dan memohon ampun atas mandat yang tak sepenuhnya dapat dipenuhi.

Bukan rakyat yang datang dan menyorongkan tangannya dengan beribu maaf. Bukan bawahan yang sibuk membawa-bawa bingkisan dan kemasan. Mereka justru orang paling berhak dimintakan maafnya, paling berhak didatangi rumahnya, paling berhak dimohonkan kerelaan hatinya. Seberapa sering harga bahan pokok naik, tarif listrik melonjak, biaya air dan gas berlipat-lipat –dan dengan begitu rakyat menjadi susah hatinya, lara perasaannya, dan limbung masa depannya. Seberapa kerap deadline menyengat bawahan, lembur dipaksaupayakan, gaji  tak tepat datangnya –dan dengan begitu keluarga mereka menunggu di rumah dengan cemas dan waswas, kualitas hidup mereka terkatung di antara harapan dan kenyataan yang tak pantas.

Tetapi, kita memang sejak lama keliru, dan senang dengan kekeliruan yang kita pelihara. Kepemimpinan itu dianggap puncak karir sehingga perilaku sosialnya terhadap mereka yang dipimpin menjadi sekadar atasan dan pujaan, bukan abdi dan hamba. Kompetisi pemilihan rayanya pun berubah menjadi sekadar perolehan kuasa dan tahta, bukan bagian dari pengabdian dan penghambaan kepada Tuhan.

Kita yang salah. Kita menyenangi rupa ‘open house’ politik semacam itu dan kita budidayakan sepanjang hayat negeri ini. Masuk ke saung penguasa dan calon penguasa hanya mencari ria dan suaka, bukan menyelidik bagian mana dari rumahnya yang masih bocor dan gompal untuk kita tambal dengan kritik. Kita menyenangi rupa ‘open house’ politik semacam itu dan kita budidayakan sepanjang hayat negeri ini. Sekadar jabat tangan dan foto bersama di hari raya, bukan rumah yang terbuka untuk kita tumbuhkan narasi kebangsaan yang kita usung dan tumbuhkembangkan bersama.

Rotterdam, Syawal 1440

Gambar fitur diambil dari: https://www.rukamen.com/blog/anggaran-yang-harus-disiapkan-untuk-open-house-lebaran/

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan