Parade Keselamatan

9 mins read
2

Sudah setahun lepas dari perjanjian Hudaibiyah, dan kini kaum muslimin bersiap melangkahkan kaki lagi ke Mekkah. Mereka memiliki jatah tiga hari berziarah di dalam kota yang – sesuai perjanjian – akan dikosongkan dari penduduknya. Kota itu telah sepi senyap tepat ketika dua ribu orang merayap masuk ke Mekkah. Penduduknya berpindah ke bukit-bukit di sekitaran Mekkah, memasang tenda dan membawa kebutuhan mereka secukupnya. Mereka tak akan mengganggu Muhammad ﷺ dan rombongannya. Mereka hanya akan menonton dari kejauhan, mengamati segala gerak gerik Muhammad ﷺ yang berniat mengerjakan umrah qadha – umrah pengganti – selama tiga hari.

Pada satu sisi, inilah ujian – juga jebakan – yang disediakan Quraisy kepada Muhammad ﷺ untuk melihat sejauh mana Muhammad ﷺ dan rombongannya memanfaatkan keleluasaan yang diberikan. Berhala-berhala yang masih tegak berdiri di sekitaran Ka’bah, apakah akan mereka hancurkan? Rumah-rumah yang ditinggalkan kosong melompong dari penghuninya, apakah akan mereka jarah? Ketenangan yang mengisi jalan-jalan kota, apakah akan mereka ubah menjadi keriuhan pesta yang berlebihan, bahkan menjadi medan laga penuh darah?

Semua mata tertahan seperti tak berkedip.

Yang masuk ke Mekkah saat itu di luar sangkaan dan bayangan mereka. Tidak ada kericuhan. Semua berjalan rapi dalam barisan yang tertib. Tidak ada pesta perayaan. Yang terhempas dari lisan rombongan besar itu hanya ucapan ‘Labbaika, Labbaika’. Mereka menyambut seruan Tuhannya, seruan Allah. Tidak lebih. Tidak ada kerusakan yang dibuat. Tidak ada ternak yang dijarah.

Ada percikan hasrat untuk meneriakkan tantangan berperang. Abdullah bin Rawaha menyelinap dan telah bersiap meneriakkannya. Tetapi Umar bin Khattab dan Muhammad ﷺ segera mencegahnya. Tak ada kalimat yang lebih baik saat itu ketimbang laa ilaaha illallaahu wahdah, wanashara ‘abdah, wa’azza jundah, wahzamal ahzaaba wahdah. Tak ada Tuhan selain Allah yang MahaTunggal, yang Menolong hambaNya, yang memperkuat tentaraNya, dan yang menghancurkan sekutu musuh yang bersatu. Muhammad ﷺ mengulanginya lagi ketika mereka sampai di Shafa dan menghadap Ka’bah. Peristiwa yang kemudian dicatat para ahli fiqih sebagai sunnah dalam manasik umrah dan haji.

Semua mata tertahan seperti tak berkedip.

Mereka bukan saja melihat bagaimana Muhammad ﷺ dan rombongannya berperilaku selama di mekkah, tetapi juga menjadi saksi manasik dan hukum yang muncul dari apa yang mereka lihat.

Muhammad ﷺ langsung masuk ke arah Ka’bah tanpa tertaut pandangannya ke jurusan lain. Orang-orang Quraisy menatap gerak gerik mereka dari sebelah al hijr. Lalu, Muhammad ﷺ memberikan komando kepada para sahabat, “Jangan sampai mereka – orang-orang Quraisy itu – melihat satu kelemahan pun yang ada pada diri kalian.”Para sahabat pun diminta untuk menunjukkan bahwa mereka kuat, tangguh, dan tak lemah di tengah-tengah musim yang begitu terik dan menghabiskan begitu banyak energi.

Maka, Muhammad ﷺ melilitkan kainnya ke bawah ketiak kanannya agar orang-orang Quraisy itu melihat jelas bahu sebelah kanan mereka yang kuat. Begitupun semua sahabat laki-laki. Setelah lewat dari Hajar Aswad, mereka berlari-lari kecil ketika berthawaf, lalu kembali berjalan kaki seperti biasa ketika sampai di rukun Yamani. Tiga putaran pertama itu dilakukannya dengan ritme yang sama: berlari-lari kecil, lalu berjalan biasa.

Orang-orang Quraisy itu berdecak. Hilang sudah bayangan mereka terhadap kaum muslimin yang dianggapnya lemah. Rombongan umrah itu nyatanya kuat dan tegar. “Kalian sungguh berlari seperti kijang,” desah mereka dari atas bukit. Mereka mengubur imajinasi yang dulu terbayang di kepala mereka akan lemahnya orang Islam. Yang terbit kemudian adalah kekaguman – sekaligus hukum fikih yang menyerukan mustahab-nya menyilangkan kain ihram dan berlari-lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf dari Hajar Aswad hingga rukun Yamani – area tempuh yang kini secara modern dipandu dengan lampu di dinding Masjidil Haram.

Semua mata tertahan seperti tak berkedip.

Thawaf dilakukan seperti sedia kala dari Shafa ke Marwa. Ternak kurban disembelih. Rambut dicukur. Dan paripurna sudah umrah yang rombongan besar itu lakukan dengan damai dan tenang. Hingga tiba waktu zuhur, Bilal naik puncak Ka’bah untuk adzan. Lantunan yang merdu – yang suaranya merasuk ke telinga orang-orang Quraisy yang memandangnya dari kejauhan di atas bukit. Itulah adzan pertama yang berkumandang di Ka’bah setelah tujuh tahun sebelumnya tak pernah ada ijin untuk melakukannya di Mekkah.

Di tengah peribadatan shalat, berhala-berhala pujaan orang Quraisy masih berdiri tegak di sekitaran Ka’bah. Muhammad ﷺ tidak menggesernya, apalagi menghancurkannya. Patung-patung itu tetap berdiri tegak, tetapi tak pernah dapat menggoyahkan keyakinan untuk menunduk pasrah dan bersujud penuh kerelaan menuju langit Allah.

Semua mata tertahan seperti tak berkedip.

Orang-orang Islam yang dulu dikenal baik oleh Quraisy kini adalah orang-orang yang berubah sama sekali. Dalam tiga hari yang singkat itu, tidak ada satupun yang meraih gelas minuman keras, tidak ada laku maksiat yang merusak kota, tidak ada makanan dan minuman yang tersisa mubazir dan berlebihan. Reformasi sosial di Madinah telah membuahkan hasil gemilang. Rombongan itu telah berubah signifikan menjadi rombongan paling beradab di jazirah Arab, memberi teladan dan standar baru martabat kemanusiaan yang dijunjung tinggi. Rombongan itu juga menerbitkan rasa penasaran Quraisy yang masih menatap di kejauhan. Ini agama yang benar, agama yang tak melanggar janji, agama yang konsekuen pada nilai kemanusiaan.

Tak perlu klaim apapun dari Muhammad ﷺ tentang kedamaian ajarannya. Tidak perlu mengunggah poster, tidak perlu rekaman video, tidak sebaran posting. Muhammad ﷺ cukup menunjukkan itu dari kedalaman hati dan jiwanya, yang dengan begitu pula menyentuh hati dan jiwa orang-orang yang menatapnya lekat-lekat.

Itulah parade keselamatan.

Tidak ada benci yang membuncah meski bertahun-tahun mereka pernah disiksa di Mekkah. Tidak ada dendam yang meluap meski luka dan perih mereka dekap antara Mekkah dan Madinah.

Tiga hari yang memikat sehingga Abbas bin Abdul Muthallib membawa serta Maimunah ke hadapan Muhammad ﷺ untuk dipinang. Maimunah telah terikat batinnya. Ikatan batin yang dilanjutkan dalam ikatan pernikahan itu menguatkan ikatan komunal yang semakin besar antara Quraisy dan kaum muslimin. Seperti pembuka tali kekang yang membatasi dua komunitas yang selama ini saling serang untuk berubah menjadi berpeluk hangat dalam kedamaian.

Tiga hari yang memikat sehingga Suhail tak ingin Muhammad ﷺ lebih lama tinggal lagi Mekkah meski untuk merayakan pernikahannya dengan Maimunah yang mengundang seluruh orang Quraisy. Suhail khawatir pengaruh Muhammad ﷺ semakin besar jika ia berlama-lama di Mekkah. Tidak ada rasa kecewa di dada Muhammad ﷺ dan kepemimpinan profetiknya membuka jalan yang lebih lapang tentang kedamaian dan keselamatan yang ia teladankan. Ia menerima dengan rela dan segera berkemas kembali ke Madinah tanpa ada satu pun kulit yang tergores, dinding yang retak, kotoran yang berserak.

Cerita ini mengalir deras ke seluruh jazirah Arab dan menimbulkan ketakjuban luar biasa. Satu per satu pion dan pendekar beralih haluan. “Muhammad bukan tukang sihir,” kata Khalid bin Walid – panglima perang Quraisy di Uhud. Ia masuk Islam, bergabung dengan agama yang dulu dibencinya setengah mati. Masa lalu yang berkelindan di kepalanya adalah semangat dan fanatisme jahiliyah. “Kini, kebenaran itu telah jelas bagiku,” pungkasnya.

Pilihan sukarela Khalid itu membuatnya berselisih paham dengan Abu Sufyan. Perkelahian nyaris tak terelakkan jika saja Ikrima bin Abu Sufyan tak melerai ayahnya yang hendak menyerang Khalid. Tahan, tahan, katanya. “Jangan-jangan, sebelum tahun depan, seluruh penduduk Mekkah telah beralih haluan menjadi pengikut Khalid jika engkau membunuhnya,” tahan Ikrimah.

Tetapi, tak butuh waktu lama untuk membuktikan kekhawatirannya. Amr bin Ash dan Utsman bin Thalhah – penjaga Ka’bah – turut pergi menemui Muhammad ﷺ untuk bersyahadat. Orang-orang Badui ikut pula bersyahadat.

Peralihan itu sungguh tidak ditempuh lewat kekerasan. Perubahan itu menjadi buah dari parade keselamatan. Bukan teriakan-teriakan yang saling menghujat – seberapapun benarnya teriakan itu.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

2 Comments

  1. Jazakumulloh khoir ya Dok, kisah ini harus masuk dalam lintas buku, lintas budaya, lintas agama dan lain lain
    Ya Nabi SAW. Seribu empat ratus tiga puluh sembilan tahun yang lalu, pada malam ini purnama Ramadhan, pasukanmu berjalan sepanjang 80 mil menuju ke Sumur Badar….Allaah Akbar

  2. subhanallah .Allahumma sholli ala nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa ashabihi ajmain .aamiin. syukron ust A Fuady atas kisah2nya yg luar biasa ini..barakallahu .

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan