Di Rotterdam, persoalan ini bermunculan ketika saya membahas bab ‘Berwasiat kepada Wanita’ dalam kitab hadits Riyadhus Shalihin yang disusun Syaikh Imam an Nawawi. Dalam salah satu hadits yang dimasukkan Imam an Nawawi dalam bab tersebut, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki). Ada beberapa hadits dengan konten (matan) sejenis.
Dalam Riyadhus Shalihin, hadits tersebut berbunyi,
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Berwasiatlah kepada para perempuan. Sesungguhnya perempuan itu dibuat dari tulang rusuk. Jika engkau mencoba meluruskannya (dengan paksa), engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan saja, maka ia akan tetap lengkung selama-lamanya. Maka, berwasiatlah yang baik-baik kepada kaum wanita itu.”
Perempuan, kata Rasulullah ﷺ, diciptakan dari tulang rusuk. Secara eksplisit, pernyataan tersebut memang benar demikian, diriwayatkan secara mutawattir, dan dikodifikasi dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Begitupun dalam hadits lain yang serupa,
ٳنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا
“Sesungguhnya, perempuan diciptakan dari tulung rusuk yang tidak bisa lurus selama-lamanya. Kalau kamu mau bersenang-senang dengannya, kamu bisa melakukannya. Jika kamu meluruskannya, kamu akan mematahkannya. Dan, patahnya itu adalah menceraikannya.”
Hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan dimuat dalam kitab-nya, Shahih Muslim, ini juga menyatakan secara eksplisit bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Yang dimaksud tulang rusuk adalah tulang rusuk laki-laki. Beberapa ulama salaf menafsiurkan hadits ini secara letterlijk, apa adanya, dengan pemahaman memang perempuan diciptakan dari bagian laki-laki.
Tetapi, apakah kemudian pemahaman tersebut mendorong pada persepsi yang lebih luas: Islam menempatkan perempuan pada proxy yang lebih rendah daripada laki-laki?
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tersebut, perlu kejelasan mengapa Rasulullah ﷺ sampai menyebut persoalan tulang rusuk dalam urusan perempuan ini. Ibnu Hajar al Atsqalani, ulama hadits terkemuka dalam mazhab Syafi’i, mengindikasikan bahwa yang dimaksud ‘perempuan diciptakan dari tulang rusuk’ adalah penciptaan Hawa yang diambil dari bagian tulang rusuk Adam. Dalam pemaparannya dalam kitab Fathul Bari mengenai teks hadit ini, beliau menjelaskan,
قِيلَ فِيهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ حَوَّاءَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ آدَمَ الْأَيْسَرِ وَقِيلَ من ضلعه الْقصير أخرجه بن إِسْحَاقَ
“Disebutkan bahwa hadits di atas adalah isyarat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang kiri, dan ada pula yang mengatakan tulang rusuk yang pendek, sebagaimana dicatat Ibnu Ishaq…”
Ibnu Hajar al Atsqalani tidak sendirian. At Thabary dalam kitab Tafsir at Thabary dan Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir pun menyimpulkan demikian ketika menafsirkan An Nisa ayat 1, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Kalian yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan darinya Allah menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminla satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.”
Dalam ayat tersebut ada tiga kata kunci penciptaan Hawa, pasangan Adam, yaitu نَفْسٍ وَاحِدَةٍ (seorang yang satu), مِنْهَا (darinya, dari orang tersebut), dan زَوْجَهَا (istrinya). Ini yang menguatkan pendapat bahwa Hawa, manusia perempuan pertama yang diciptakan, adalah bermula dari bagian tubuh laki-laki.[1]
Tetapi pendapat ini tidak sepi dari perdebatan. Al Maraghi, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah sebagian penafsir yang mencoba mengelaborasi latar belakang hadits Rasulullah ﷺ dan keterkaitannya dengan An Nisa ayat 1. Ulama kontemporer Indonesia semisal Hamka dalam Tafsir Al Azhar dan M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah pun tidak sepakat dengan penafsiran kebanyakan ulama salaf.
Al Maraghi menyebut bahwa interpretasi banyak ulama terhadap hal ini tidak berdasarkan pada Al Qur’an, melainkan apa yang tertera pada Taurat – yang juga mengindikasikan gambaran serupa. Kata نَفْسٍ وَاحِدَةٍ , menurut Al Maraghi, tidak merujuk kepada wujud Adam, tetapi bermakna wujud diri sendiri yang utuh. Muhammad Abduh mencoba menjelaskannya dengan menarik kelanjutan ayatnya, وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً (dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak) yang menggunakan bentuk kata nakirah (umum), bukan ma’rifat (khusus, diketahui), sehingga yang dimaksud bukanlah Adam seorang.
Rasyid Ridha dan Hamka mengelaborasi lebih jauh tentang muasal hadits ini. Menurut mereka, ide mengenai penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam bermula dari salah satu ayat di Perjanjian Lama (Kejadian II:21-22), “Ketika Ada tertidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pada tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan.” (Lihat gambar fitur)
Ide ini terus berulang, meluncur dari mulut ke mulut, dan tiba pula di tengah masyarakat Arab dan lingkungan Rasulullah ﷺ sehingga gambaran ini dapat dengan mudah dijadikan contoh dan metafora. Ketika Rasulullah ﷺ ingin mengungkapkan pentingnya memberikan nasihat kepada para perempuan, maka analogi ini pun dipakai.
Maka, kalimat ‘perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki’ adalah kalimat metaforik. Bahkan, dengan mudah, ide metafora itu dapat dilihat dari kalimat pembuka hadits Rasulullah ﷺ tersebut dan kelanjutannya. Hadits itu dimulai dengan ‘Berwasiatlah kepada para perempuan’, berilah mereka nasihat, sebagai muatan utama pesan Nabi. Dilanjutkan dengan ‘Jika engkau mencoba meluruskannya (dengan paksa), engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan saja, maka ia akan tetap lengkung selama-lamanya’, yang dengan sangat gamblang menjadi penjelasan bagi analogi tulang rusuk.
Kelengkapan hadits dan pembahasan yang mendalam sering kali terlewatkan ketika mendiskusikan hal ini sehingga siapa saja yang membacanya secara dangkal dapat menemukan konklusi yang tidak tepat. Beberapa kalangan salah mengartikan bahwa Islam dianggap menempatkan perempuan dalam strata yang lebih rendah dari laki-laki karena berasal dari bagian tubuh laki-laki. Beberapa kalangan yang lain kerap menjadikannya bahan lelucon perjodohan bahwa menikah adalah semata urusan menemukan tulang rusuk yang terpisah.
Padahal, inti pesan hadits ‘tulang rusuk’ ini justru menggambarkan betapa Islam memberikan perempuan tempat yang khusus dengan karakter yang berbeda dengan laki-laki – yang dengan itu semua, memerlukan pemahaman yang tepat dan cermat. Tidak sama dengan lelaki, memberikan nasihat dan berwasiat kepada perempuan harus disertai dengan kehati-hatian, kasih sayang, kecermatan karakter, dan kearifan. Bahkan, Imam Nawawi menyertakan potongan ayat وَعاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ (dan pergaulilah para perempuan, istri-istri kalian, dengan cara yang baik) ketika membuka bab tentang wasiat ini dalam Riyadhus Shalihin. Jika pun para lelaki atau suami tidak menyukai perangai istri-istrinya, ada pesan Allah yang tegas untuk bersabar dan melihat kebaikan-kebaikan lain dari istri.
Ada perhatian yang besar dalam konsep Islam terhadap perempuan. Konsep ini yang meniadakan tradisi Arab jahiliyah yang menempatkan perempuan dalam status sosial yang jauh lebih rendah daripada laki-laki. Mereka tak berhak mendapatkan warisan, dapat dinikahi sesuka hati hingga belasan perempuan oleh satu lelaki pada satu masa, atau ditahan di rumah dan dibuat susah ketika suami mereka meninggal. Islam membebaskan perempuan dari belenggu kejahilan itu semua, menempatkan mereka di tempat yang mulia, mendudukkan mereka setara dengan laki-laki, dan tidak membedakan status apapun di mata Allah, kecuali iman dan ketakwaannya.
Rotterdam, Januari 2020
Bagian dari serial “Merayakan Islam dan Indonesia di Rotterdam”
Gambar fitru diambil dari: https://www.cambridge.org/core/books/creation-of-eve-and-renaissance-naturalism/rib-and-the-side/7E9787249E6EA89545C5168043914C86
[1] Lihat “Shamsudin R, Baharudin AM. The creation of women from the perspective of mufassirun and muhaddithun between past and present scholar. MATEC Web of Conferences 150, 05064 (2018).”