Di tengah masyarakat yang kehilangan nilai tentang moral dan absurd dalam keyakinan, Muhammad merasakan dorongan untuk menyendiri jauh dari kerumunan. Ia merasakan kesenangan yang ia sendiri tidak mengerti dari mana datangnya,[1] tetapi tentu bermula dari kegelisahan dan ketidaknyamanannya kepada realitas yang ada. Kita pun butuh menyendiri –keluar dari debat yang semakin penat dan hilangnya marka dan nilai. Semua bercampur aduk. Memaksakan diri turun gelanggang dengan persiapan ala kadarnya, menurutkan nafsu untuk sekadar melawan, kadangkala hanya membuat nilai kita ikut terdegradasi. Tak beda dengan yang dikritik, menjadi serupa dengan yang semula dianggap jahil. Kita perlu mengambil jarak sejenak untuk mengatur nafas, memurnikan lagi pikiran, dan mencari jalan ke mana cahaya itu dititipkan.
Yang datang pertama kali dari Allah kepada Muhammad, kemudian, adalah perintahNya membaca. Iqra –bacalah. Muhammad tak lantas membaca, bahkan dijawabnya: maa anaa biqaari’ –aku tak mampu membaca. Tiga kali perintah dan jawaban itu berulang. Barulah perintah yang keempat memadatkan pesan yang amat jelas lewat perantara Jibril bahwa membaca pada mulanya harus disandarkan kepada Allah. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.[2]
Iqra itu menyiratkan pesan penting bahwa, pertama-pertama, Allah harus disertakan dalam setiap pembacaan, baik teks maupun konteks. Nafsu harus disingkirkan, dan niatan harus dimurnikan. Hari ini kita menghadapi ruang baca yang sedemikian luas. Buku, teori, status facebook, rentetan twit, berita, makalah, juga keadaan-keadaan yang harus disikapi. Kita seringkali lupa membawa serta Allah dalam pembacaan kita. Kita merasa telah mengetahui segalanya sehingga merasa berkecukupan intelektual untuk dapat mencuplik ini dan itu, menukil ini dan anu, menyebarkannya ke sini dan ke sana tanpa berkeinginan merendahkan hati sejenak untuk berkata: maa anaa biqaari’ –Rabb, aku tak mampu membacanya, maka bantu aku memahaminya.
Iqra yang kedua memberi petuah yang krusial bahwa dari setiap pembacaan, pemahaman, penemuan, dan kejayaan intelektual kita, yang paling mulia tetaplah Allah. Warabbukal akram –tiada yang melebihi kemuliaan, ketinggian, keluasan pengetahuan Tuhan karena Dialah yang mengajarkan kita, bukan kita yang memungutnya sendiri dan berhak merasa sombong diri. Kita tidak mengerti sampai Allah yang memberikan ilham lewat jalanNya. Jika Dia memberi, tak ada yang mampu menahannya; jika Dia menghambat, tak ada yang berkuasa menyalurkannya; jika Dia telah memutuskan, tak ada satupun yang berkekuatan menolak dan menghapuskannya.[3]
Kita semestinya bertanya-tanya kepada diri sendiri: sudah seberapa baik Iqra yang kita tempuh. Kita perlu mawas diri bahwa manusia, seperti difirmankanNya, benar-benar melampaui batas karena merasa dirinya telah cukup. Merasa tak perlu pendampingan Allah, merasa tak ada imbas apapun dari segala sikap dan tuturnya di dunia. Iqra yang tepat seharusnya melahirkan cahaya pembeda, furqan. Kita memahami mana bacaan, tuturan, pendapat, kebijakan, dan strategi dari skala personal yang paling kecil sampai skala negara dan dunia yang paling besar: mana yang yanha ‘abdan idza shalla dan mana yang kaana ‘alal huda dan amara bittaqwa.[4] Mana yang mencegah manusia dari mengingat dan berdekatan dengan Tuhannya, dan mana yang berada dalam jalan lurus dan mengajak kebaikan.
Kita meyakini Al Qur’an turun pada bulan ini, dimulakan dari perintahNya untuk membaca dengan nama Tuhan. Yang terpenting bukanlah seberapa meriahnya kita merayakan nuzulul qur’an, tapi sejauh mana Tuhan benar-benar kita sertakan dalam pindaian membaca perkara hidup ini?
Rotterdam, Ramadhan 1438
[1] Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada QS Al Alaq 1-5
[2] Dalam Tafsir Isyari, disarikan dari tulisan Prof Nasaruddin Umar, “Makna di Balik Iqra yang Diulang”, iqra pertama bermakna how to read, yang kedua bermakna how to learn, yang ketiga bermakna how to understand, dan yang keempat bermakna how to elevate. Dalam: Tausiyah Ramadhan di kediaman Ketua Dewan Kehormatan ICMI, Prof Dr -Ing. BJ Habibie, Senin, 14 Juli 2014. Dapat dibaca pula di sini: https://sitarlingicmi.wordpress.com/2014/08/13/pengetahuan-keilahian/
[3] Terjemah bebas dari dzikir Allahumma laa maani’a limaa a’thayta walaa mu’yhiya limaa mana’ta walaa raadda limaa qadhayta walaa yanfa’u dzal jaddi minkal jadd. Dalam hadits shahih, tidak terdapat klausa “walaa raadda limaa qadhayta“. Lihat HR Bukhari dan Muslim.
[4] Lihat QS Al Alaq 6-12.