Ajakan yang baik tak selamanya dapat diterima dengan mudah dan baik pula. Muhammad –manusia terbaik dan terpercaya itu, bahkan melalui penolakan yang tak habis-habis. Sebagian mereka menyusun skenario mendekati Abu Thalib, meminta agar kemenakannya berhenti menyebarkan tauhid yang dianggap mereka memecahbelah persatuan. Sesungguhnya bukan persatuan dan kedamaian yang terpecah-pecah dengan datangnya Muhammad, tapi kesenangan kapital dan kekuasaan yang hanya dinikmati kaum elite lah yang terancam sehingga mereka jadikan ketakutan masyarakat sebagai komoditas politik menjungkalkan da’wah Muhammad. Inikah bisikan para elite yang disampaikan secara rahasia, lobi di ruang tertutup yang mengendorkan jalan lawan. Tetapi, Muhammad tegas menjawabnya – sekiranya matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, selangkahpun aku tidak akan meninggalkan jalan da’wah ini hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa dalam perjuangan itu.[1]
Sebagian lagi berusaha menyuap dengan tawaran harta dan wanita, maka dikirimlah Utbah bin Rabiah untuk membujuknya dengan tawaran prestisius: menjadi manusia paling kaya atau menikahi 10 wanita tercantik dari kaumnya. Inilah negosiasi nafsu, mengikat lawan dengan tawaran yang menggoda agar diam dan membuatnya bahagia dengan dunia. Tapi, Muhammad tak pernah menganggap agama dapat ditukarguling dengan dunia. Ia menjawabnya dengan serangkain ayat Fushilaat yang bukan hanya membuat mundur Utbah, namun juga melunakkan hatinya untuk masuk Islam.[2]
Sebagian yang lain menjalankan trik halus. Win-win solution. Sehari ini Muhammad beribadah dengan caranya, sehari esok beribadah dengan cara Quraisy.[3] Inilah rayuan prasmanan agama, menjadikannya permainan yang dapat saja ditukar, dicomot seenaknya, dan mengambil apa-apa yang disuka dan meninggalkan, bahkan menolak dan memusuhi ajaran yang berlawanan dengan nafsunya.
Mereka yang berputus asa mengambil jalan lebih kotor. Jika ajarannya tak mampu dibantah, maka mereka menusuk personalitas Muhammad. Dirusaknya citra Muhammad dengan tuduhan gila,[4] direndahkannya wahyu dengan menyebutnya syair murahan dan tenung,[5] dan disiapkannya skenario Abu Jahal untuk menimpakan batu besar ke kepala Muhammad. Inilah kriminalisasi, jalan politik yang paling durhaka terhadap kebenaran. Muhammad tak berkuasa di luar apa yang mampu dilakukannya, maka Allah-lah yang selalu hadir melindunginya dari setiap upaya jahat, kemudharatan yang direncanakan manusia.
Muhammad tentu tidak akan pernah ada lagi di sisi dan sekeliling kita, tetapi hikayatnya tercatat manis dan tak lekang dimakan zaman. Kisah dirinya tak akan berulang –lagipula, siapakah di antara kita yang mampu menyamai Rasulullah, bahkan mendekatinya pun tak sampai-sampai. Tetapi pola dan metodenya berulang. Kejahatan, ketidakadilan, keterperdayaan kepada nafsu akan berulang dalam skalanya masing-masing –personal, institusi atau negara; dengan subyeknya masing-masing; dengan alasan dan motifnya masing-masing; dan dengan cara dan strateginya masing-masing.
Jika hari ini kita menemukan cara-cara kaum Quraisy kepada Muhammad itu kembali di ruang personal, pekerjaan, masyarakat, dan kehidupan bernegara kita, bukankah Allah juga menyediakan resep dan jalan keluarnya dalam Al Qur’an untuk kita resapi, tekuni, dan jalani? Merayakannya dengan kembali kepada Al Qur’an –bukan sekadar untuk diselesaikan bacaannya dengan tergesa, bukan pula sekadar merayakan tanggal turunnya di mimbar-mimbar, tetapi mengambil intisarinya dengan lebih seksama. Muhammad itu –disebutkan Allah, adalah proxy paling dekat untuk mencintaiNya. Jika kita mencintai Pemilik Alam Raya yang kita selalu yakini mampu berbuat makar apapun, sejauh mana kita berupaya menjalani perintahnya: jika mencintaiNya, maka ikutlah ajaran, juga perangai, sikap, dan perilaku Muhammad?[6]
Rotterdam, Ramadhan 1438
[1] HR Bukhari dan Thabrani
[2] Lihat Tafsir Ibnu Katsir, QS Fushilaat 1-13
[3] QS Al Kafirun
[4] QS Al Hijr 6, QS Al Mu’minun 70
[5] QS Al Haqqh 38-42, QS Yasin 69
[6] QS Ali Imran 31
Gambar diambil dari: http://thayyiba.com/wp-content/uploads/2016/01/muhammad-kaca-mata.jpg