Puasa, Ketamakan yang Luruh

4 mins read

Dunia yang tidak kita kekang hanya akan menuntun kaki kita menuju ketamakan. Ia tidak hanya berbentuk korupsi yang jumlahnya milyaran atau trilyunan. Ketamakan menjelma apa saja dalam kadar, spektrum, dan tataran hidup yang kita lakoni. Ia menyusup dalam keinginan untuk bersaing naik posisi di kantor. Ia menggeliat di tengah-tengah pasar, pojok toko, lantai bursa, atau portofolio investasi untuk meraih keuntungan setinggi-tingginya. Ia menyelinap di tengah-tengah obrolan orangtua tentang siapa yang rumahnya paling besar, anaknya paling pintar, atau sekolahnya paling bagus. Ia duduk bersama konsep strategi politik demi meraih suara sebanyak-banyaknya. Bahkan, ia mendampingi di podium, mimbar tempat para pemuka agama berkhutbah, untuk membisikkan bahwa hanya perkataannyalah yang paling benar, sedangkan yang lain salah, sesat, penuh bid’ah, dan tak layak mendapat porsi jengkal tanah di surga.

Ketamakan kita, seberapapun kecilnya, tidak laik untuk dipelihara. Bukankah Allah mengingatkan bahwa lubuk terdalam neraka jahim disiapkan bagi mereka yang thaghaa wa aatsaral hayaatad dunya; tamak, berlebihan, menolak kebenaran-kebenaran Allah, dan terus mencondongkan diri pada hasrat dunianya? Maka, keterampilan hidup lainnya yang kita perlukan adalah menahan hawa –hasrat yang menderu-deru. Ia tertahan bukan karena sudah tak lagi berkeinginan, impoten karena telah berada di pucuk kegemilangan. Ia tertahan karena rasa takut kepada Allah, khaafa maqaama rabihi. Ia ditekan karena memahami bahwa tidak ada prioritas yang lebih utama dalam hidup ini dan tujuan yang paling asasi sebelum kematian, kecuali mengharap kerelaan Allah.

Kita tak dapat membayangkan bila ketamakan itu menyeruak di antara Umar bin Khattab radhiyallahu ánhu (ra.), Khalid bin Walid ra., dan Abu Ubaidah bin Jarrah ra. Siapa yang tak mengenal Khalid? Popularitasnya paling tinggi sebagai panglima perang. Strateginya paling jitu demi memenangi pertempuran. Ia mampu berdebat apapun dengan Umar ra. dan menyelisihi pendapat sang khalifah tentang kekuasaan dan kebijakan dari tumpukan pengalamannya di lapangan. Ketika Umar ra. berketetapan bahwa kekuasaan panglima harus dibatasi dan Khalid menentang, Umar mengirim surat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah: Khalid dipecat, dan engkau, Abu Ubaidah, saat ini diangkat menjadi panglima.

Tak ada Khalid di samping Abu Ubaidah bin Jarrah kala itu. Ia tengah bertarung bersama pasukannya. Abu Ubaidah bisa saja mengumumkan pergantian panglima saat itu juga, mengkudeta Khalid demi puncak kekuasaan militer. Tapi, apalah arti ketamakan? Ia hanya mengundang bala kehancuran. Abu Ubaidah justru meminta utusan khalifah untuk merahasiakan pesan dari telinga orang-orang. Tidak ember, tidak membocorkan pembicaraan rahasia, dan tidak merasa hebat karena menjadi yang pertama menggenggam informasi A-1.

Setelah perang usai dan pasukan Khalid menang, Abu Ubaidah menyerahkan surat itu kepada Khalid. Khalid tidak menolak sedikit pun. Tidak denial, tidak menentang, tidak ambekan, tidak menyusun pembelaan dan dakwaan balik kepada khalifah, meskipun ia sangat sanggup untuk melakukannya. Ia bahkan menyesali keputusan Abu Ubaidah, “Apa sebabnya engkau tidak menyampaikannya kepadaku saat surat ini tiba?”

Dan, ketamakan luruh sama sekali oleh keimanan, seperti jawaban Abu Ubaidah kepada Khalid. “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombakmu. Bukan kekuasaan dunia yang kita cari dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah,” jawabnya.

Puasa semestinya mendorong kita untuk menyusuri lagi jengkal demi jengkal yang tersisa dari upaya kita meluruhkan ketamakan. Barangkali ketamakan kita hari ini belum serupa tamaknya pejabat yang korup, politisi yang curang, karyawan yang saling sikut, atau pedagang yang mengurangi takaran. Barangkali ketamakan kita sore ini masih berupa serakahnya kita terhadap hidangan berbuka. Ia kecil, tapi akan membesar jika kita tak menempuh jalan puasa yang benar.

Rotterdam, 2 Ramadhan 1439

Gambar fitur diambil dari: https://www.kopi-ireng.com/2016/08/puasa-rajab.html

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan