Masih terngiang di kepala Abdullah bin Rawahah ketika ia berada di tengah rombongan Muhammad ﷺ memasuki Mekkah untuk menunaikan umrah qadha. Ia berada di depan barisan Muhammad ﷺ ketika thawaf mengeliling Ka’bah, dan tiba-tiba saja lidahnya lancar melantunkan syair indah. Abdullah adalah tipikal seniman Arab sejati. Di tengah budaya lisan Arab yang dominan, Abdullah menjelma penyair ulung, pecinta kata dan bait. Ia bersyair di mana saja. Ia berkasidah kapan saja: di tengah perang, di beratnya perjalanan, di sela-sela ibadah yang menguras air mata.
Abdullah pernah begitu berduka ketika Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad ﷺ, wasy syu’araa-u yattabi’uhumul ghaawuun. Penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Syair-syair, pada masanya, adalah peluru tembak yang menghujam personal Muhammad ﷺ secara tendensius, juga meriam yang meledakkan kebencian kepada ajaran yang dibawa Muhammad ﷺ secara keseluruhan – tak peduli seberapapun baiknya ajaran itu. Syair-syair menempel di dinding Ka’bah, dirapal di sepanjang jalan, menyeruak di tengah-tengah kerumunan untuk meledek dan menumbuhkan benih keraguan dan kebencian. Mereka fii kulli waadin yahiimuun, menyusuri lereng dan bukit-bukit untuk menyebarkan syair-syairnya. Mereka yaquuluuna maa laa yaf’aluun, mengatakan segala hal yang mereka sendiri tidak melakukannya.
Syair memang menjadi alat propaganda yang paling kuat di tengah masyarakat yang mencintai bunyi dan irama. Ia berubah bentuk di zaman yang serba instan dan melesat cepat.
Barangkali tak ada syair indah yang menyurusi lereng bukit dan menerbitkan kebencian sebegitu besarnya terhadap kebaikan hari ini. Syair-syair telah menguap, berubah bentuk menjadi baris-baris pendek yang agitatif, menyerang, meledek, dan menghantam sendi-sendi kebaikan. Syair-syair telah menyublim, berubah wujud menjadi potongan video pendek yang mencela, menertawakan, menggiring opini menuju lembah keburukan dan kenistaan. Syair-syair telah mencair dalam tulisan-tulisan pendek yang membodohkan, yang mencapkan bendera dusta dan kemunafikan, yang mencatat segala hal yang mereka sendiri tak pernah melakukannya.
Kita barangkali tak sadar risiko menelan semua berita, potongan twit, editan video, share status. Kita bahkan mungkin menikmatinya secara sukarela tanpa tahu persis ke mana alirannya akan bermuara.
Maka, Muhammad ﷺ pun memerintahkan menangkap penyair yang begitu mengganggu manusia dari kebenaran dan kebaikan. “Khuzu asy syaithaan,” Kata Muhammad ﷺ. Ambil setan ini. Setan berwujud penyair dan penabuh kasidah yang pekerjaannya menghalangi manusia dari kebaikan. La-an yamtali-a jawfu ahadikum qayhan khairun lahu min an yamtali-a syi’ran. Menenggak bekas muntahan ke dalam perut jauh lebih baik daripada menenggak syair-syair buruk rupa itu masuk ke dalam perutmu. Jangan telan apa yang diucapkan mereka. Jangan follow akun-akun mereka. Jangan kepo pada tingkah mereka – seberapapun tingginya ratingnya hingga masuk trending.
Beruntunglah Abdullah karena keimanan telah merasuk dalam tubuh dan jiwanya. Ia masuk pula dalam pengecualian yang Allah berikan: illalladziina aamanuu wa’amilush shaalihaati wa dzakarullaha katsiiran. Abdullah termasuk kelompok mereka yang beriman, melangsungkan aktivitas kebaikan, dan berupaya mengingat Allah sebanyak-banyaknya. Abdullah pun lepas dari dukanya, lepas dari keraguannya, dan terus menerbitkan syair-syair baru yang memesona.
Rasanya baru kemarin ia berkeliling Ka’bah, berthawaf, dan menuntaskan syair-syair manisnya. Sekarang, ia sudah harus kembali ke medan perang. Di hadapannya ada sepasukan Romawi di Mu-tah – sebuah area pedesaan di sekitaran Syam. Jumlahnya begitu banyak hingga ratusan ribu. Seolah-olah tidak ada habis-habisnya meski telah ditumbangkan satu per satu. Sekali pedang menebas musuh, seribu musuh datang menggelombang. Tak habis-habis. Pasukan muslimin dihajar habis, hampir tersapu musnah oleh bah pasukan Romawi.
Panglima pertama yang membawa bendera panji Muhammad ﷺ adalah Zaid bin Haritsah, anak angkat Muhammad ﷺ sendiri. Ia bertarung mati-matian di tengah kepungan pasukan musuh. Keberaniannya tak membuat ia surut langkah ke belakang hingga tertombak dan jatuh bersimbah darah.
Bendera berpindah tangan dengan cepat kepada Ja’far bin Abi Thalib – lelaki muda, tampan, yang baru saja kembali dari ekspedisi hijrahnya yang lama di Abisinia. Bendera digenggam tangan kanannya dan menjadi incaran musuh untuk dihempaskan ke tanah. Di tengah serangan bertubi-tubi itu, tangan kanan Ja’far tertebas. Putus. Ia pindahkan bendera ke tangan kirinya. Tertebas lagi. Putus. Hingga Ja’far berusaha sekuat tenaga untuk memeluk tiang panji itu dengan lengannya yang tersisa. Tetapi, pasukan Romawi terlanjur mengeroyoknya habis-habisan. Ia dihantam dari segala sisi hingga terjerembab dan syahid di medan laga. Dua lengannya yang terputus itu, kata Muhammad ﷺ, telah digantikan sepasang sayap menuju surga. Ja’far kemudian dikenang sebagai Ja’far at Thayyar – Ja’far yang beterbangan ke surga.
Selepas Ja’far tersungkur, panji Muhammad ﷺ tetap tak boleh ikut tersungkur. Maka, Abdullah bin Rawahah lah yang sigap mengambilnya. Ia maju dengan kudanya sambil membawa bendera itu. Sempat pula ia berpikir untuk turun saja dari kudanya. Ada rasa gentar yang menyelinap di dadanya. Yang dihadapannya kini benar-benar bukan sepasukan Romawi, tapi beratus-ratus batalyon yang tak habis-habis. Ada rasa kecut yang menghantamnya sejenak.
Tetapi, Abdullah adalah penyair ulung. Ia mengais-ngais keberanian yang tersisa di lubuk hatinya, lalu dibentuknya menjadi syair yang ia duga dapat membangun lagi tekadnya untuk maju menghantam.
Aku telah bersumpah, wahai Diri. Engkau harus turun ke medan laga
Tapi mengapa kulihat engkau menolak surga
Wahai diri, bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pasti akan mati jua
Syair itu dikenang melintas zaman. Dipakai oleh banyak panglima perang setelahnya untuk mengobarkan semangat. Tak ada pilihan bagi manusia, kecuali hidup untuk menunggu waktu kematian. Ujung kehidupan ini sudah mutlak dan pasti. Tak ada yang abadi. Tinggal caranya yang kita pilih sendiri. Kematian dapat datang di medan perang saat dada penuh dengan hasrat kecintaan kepada Rabb. Kematian juga dapat tiba di atas ranjang ketika tubuh tak tengah berbuat apapun, bahkan lemah tak berdaya. Kematian bisa saja menghampiri di tengah jalan, di atas kendaraan, di bangku hiburan, di tempat-tempat kemaksiatan. Kita yang memilihnya sendiri di mana tempat terbaik ketika Izrail datang menyambangi.
Abdullah memilih: jikapun ia harus mati, di sinilah tempat terbaik bagi kematiannya.
Ia menerobos masuk ke tengah medan laga bersama kudanya. Lonceng telah berbunyi, genderang telah ditabuh. Tombak dan pedang datang menghujam silih berganti. Baginya, itulah gerbang pembuka jalan ke surga. Ia tersungkur pula, pada akhirnya.
Di tengah perang yang berkecamuk itu, Jibril datang ke Madinah, menjumpai Muhammad ﷺ yang tengah bercakap-cakap dengan sahabat yang masih tinggal di Madinah dan tak ikut berperang. Muhammad ﷺ seolah telah diberi perangkat virtual reality di depan matanya. Tiba-tiba terdiam, menitikkan air mata. Muhammad ﷺ jatuh dalam duka yang mendalam. Diucapkannya pandangan yang ia terima: tentang Zaid yang gugur, tentang Ja’far yang gugur, juga tentang Abdullah bin Rawahah yang gugur.
“Mereka bertiga telah diangkat ke surga,” kata Muhammad ﷺ. Di atas ranjang emas. “Lalu aku lihat ranjang Abdullah bin Rawahah agak miring daripada ranjang dua yang lainnya.” Para sahabat bertanya kepada Muhammad ﷺ mengapa ranjang Abdullah miring. “Yang dua lainnya – Zaid dan Ja’far – terus maju. Tetapi, Abdullah agak ragu-ragu meski kemudian maju pula ke medan laga.”
Keraguan telah membuat miring ranjang Abdullah di surga, padahal ia telah gugur syahid di medan laga. Kita sendiri tak tahu seberapa miring ranjang kita nanti – entah pula di mana letak ranjang kita: surga atau neraka. Keraguan kita terlalu membebat dada, terlalu menghabiskan energi yang semestinya dilimpahkan untuk kebaikan. Keraguan kita terlalu menumpuk, menghalangi kita dari jalan kebenaran dan portal-portal kebaikan.
Ranjang Abdullah miring. Jangan sampai ranjang kita terbalik. Menjatuhkan kita dari ketinggian derajat menuju kenistaan akhirat.
Ahmad Fuady
Rotterdam 1441