Rokok di Bibir Pak Kiai

13 mins read

“Ah, Kiai ini. Mana ada malaikat maut dekat dengan para pemain sepakbola yang olahraga setiap hari? Apa Kiai lupa kalau sebatang rokok yang Kiai hisap itu bisa membuat para atlet bisa terus berolahraga dan berprestasi, kompetisi sepakbola terus bergulir, bulutangkis bisa juara olimpiade, bola basket jadi kampiun satu benua, bola voli kita bersaing dengan negara maju? Apa Kiai juga lupa kalau sebatang rokok yang Kiai hisap itu sudah berhasil menyekolahkan ribuan mahasiswa cerdas karena rokok-rokok itu yang membiayai sekolahnya? Italia, Inggris, Spanyol, sudah dekat sekali dengan kita, Kiai. Lapangan bolanya sudah sedekat lapangan bola kita, Kiai. Menempel di televisi. Tontonannya sudah masuk ke negeri kita menjadi sangat dekat karena batang rokok yang Kiai hisap itu. Bayangkan betapa girangnya anak-anak muda yang jingkrak-jingkrak di konser musik, dari artis dusun sampai luar negeri, teater dan ruang seni begitu terbuka…”

 

Sudah hampir seminggu Kiai Badrun sakit. Selama sakit itu, murid-muridnya seperti terlantar tak ada yang mengajari. Sebenarnya Kiai Badrun sudah menitipkan nama penggantinya ke para murid, tapi nyaris semua menolak. Alasannya pun seragam, “Ndakada yang bisa menggantikan Kiai.” Entah apa sebutannya, Kiai Badrun sudah melebihi maqampresiden dalam benak murid-muridnya. Dicintai luar dalam, bahkan tanpa perlu sedikit pun Kiai berkampanye dan mengambil hati. Tapi, tak ada satupun muridnya yang berani menyebutnya Wali, apalagi Nabi. Betapapun ia dicintai dan dikagumi, Kiai Badrun hanya ingin disebut kiai. Panggilan itu pun sudah terlampau tinggi, katanya.

Dalam kesakitannya, Kiai Badrun melihat sendiri muridnya mengatur jadwal bergiliran menjaganya. Mereka bergantian setiap delapan jam, mirip jadwal perawat jaga di rumah sakit. Satu hari dibagi menjadi tiga shift; dua shift dipegang murid-murid sedangkanshift ketiga sengaja dikosongkan. Biarlah itu menjadi waktu Bu Hindun merawat suaminya di kamar sejak menjelang tengah malam hingga selepas subuh.

Jarun, murid Kiai Badrun yang terkenal sontoloyo di antara murid-murid lainnya, duduk sambil membacakan jadwal jaga yang harus dipatuhi semua murid. Ia membagi tujuh hari menjadi empat belas waktu jaga sehingga masing-masing murid mendapat giliran satu kali jaga dalam sepekan. Itu urusan mudah baginya. Semuanya manut pada apa yang diaturnya. Tapi, mendadak keningnya berkerut. Kedua alisnya saling mendekat dan nyaris bersatu. Satu tangannya menopang dagu, dan itu cukup untuk membuat keheningan baru. Ia lantas meminta semua temannya tetap di tempat dan tak satu pun boleh bergerak dari ruangan depan tempat mereka mengaji.

Mengendap ia berjalan ke dapur, mengetuk pintunya sambil berdehem. “Ke mana kau, Jarun?” Manun bertanya, hendak berdiri pula. Tapi, Jarun segera mengangkat telunjuk kanannya ke bibir. Isyarat bahwa keheningan harus tetap dirawat sampai ia memberi kode lain. Jarun memanggil setengah berbisik, “Bu Hindun….” Kemudian semua murid tahu bahwa yang dicari Jarun adalah Bu Hindun, perempuan cantik yang dipersunting Kiai Badrun hampir 25 tahun lalu. Hanya saja, mereka tetap tak paham apa yang hendak diperbuat Jarun.

Dalam keheningan yang terpaksa itu, Manun sebenarnya menyimpan geram. “Apa yang dia mengerti tentang demokrasi?” Hanya geraman, sesungguhnya. Matanya masih menunduk sambil mengorek-ngorek karpet hijau panjang dengan telunjuk kecilnya. Tapi, nyatanya gayung bersambut. Demokrasi mana yang sudah dilanggar?” Rajiun menengoknya. Berpura-pura serius.

“Telunjuk di bibirnya itu. Dia hanya mempersilakan hatinya dan Tuhan untuk mengerti apa yang ada dalam pikirannya.”

“Apanya yang keliru? Sah-sah saja.”

“Itu kalau dia hanya berlaku seorang diri. Tapi, kita sementara adalah jamaahnya, mengikut padanya.”

“Selama dia ndak melanggar Tuhan, apanya yang harus kita ributkan? Jamaah ndak perlu tahu semua gerakan.”

“Tapi, kau kan selalu ingat. Imam selalu men-jahar-kan takbir setiap kali berganti posisi, Un.”

Percakapan terhenti. Lirikan mereka berpaling ke arah dapur. Bu Hindun sudah keluar menghampiri Jarun. Tak salah memang jika banyak orang memuji kecantikannya. Bu Hindun, selain cantik rupa, juga adalah perempuan yang menawan jiwanya. Entah dari mana Kiai Badrun membawanya kemari. Ia tampak seperti bidadari yang tak ditemukan di dunia manapun. Suaranya lembut, tak pernah keras. Matanya bulat, dan setiap kali orang menatap bola matanya tampaklah kesejukan yang mengalir diam-diam. Sedangkan periode yang paling ditunggu-tunggu orang adalah masa ketika ia melempar senyum. Berdesas-desuslah semua orang dan mengunjungi Kiai Badrun berduyun-duyun untuk bertanya doa mujarab apa yang patut dilantunkan saat mencari jodoh.

Tampak Bu Hindun mengangguk-angguk tanpa suara di pintu dapur. Jarun seperti tengah membisikkan perkara paling rahasia sehingga tak ada satu desis pun yang terdengar ke ruang depan. Manun menatapnya curiga. Jarun begitu berapi-api, tangannya bergerak naik-turun, dan wajahnya menjadi terlampau asing karena begitu serius. Pada anggukan Bu Hindun yang terakhir, Jarun mengangkat kepalanya. Merasa lega, sepertinya. Bu Hindun yang hampir tak bisa ke mana-mana semenjak Kiai Badrun sakit dan lebihs ering hanya mondar-mandir dari dapur ke kamar, kamar ke ruang tamu, dan balik lagi ke kamar, menyimpan harap dalam tatapannya ke Jarun. Jarun berinjit, masuk ke kamar sang Kiai. Nyaris tanpa suara. Manun yang masih terduduk semakin curiga.

“Kau masih berpikir demokrasi, Nun?” Sami’un menanggapi tatapan curiga Manun sambil tertawa.

“Sekarang ini?”

“Ya, sekarang. Kapan lagi?”

“Apalah arti rakyat, umat, jamaat? Jarun pasti sudah tersandera akalnya yang dipikirnya hebat itu. Mirip penguasa. Kebanyakan penguasa.” Serius sekali Manun berucap. Bisik-bisiknya kepada Sami’un itu sudah mirip dialog tokoh politik di televisi. Dan Sami’un –yang merasa cukup berindak seperti presenter dialog, hanya tertawa kecil.

“Berdoalah saja, Nun,” kata Sami’un. “Berdoalah supaya Kiai Badrun mengajarinya demokrasi di dalam kamarnya. Tiga bab langsung, tanpa jeda.” Sami’un tertawa lagi. Manun diam, mengorek-ngorek karpet lagi dengan telunjuk kecilnya.

Pelan-pelan Jarun masuk ke kamar Kiai Badrun, mengucap salam, lalu mengambil tempat duduk di sebelah sang guru. Pertemuan itu dibuka dengan senyum setelah salam, saling melirik, lalu sama-sama terdiam. Beberapa detik yang serupa dengan lipatan jam penuh rindu. Terasa hampa. Lama.

“Kiai, apa Kiai pernah merokok?” Jarun akhirnya membuka tanya dengan muka serius. Baru kali itu mukanya terlihat serius bukan kepalang. Alis-alisnya menyatu seperti tengah berpikir keras dan berupaya meramal meski ia tahu ramalannya akan tak menghasilkan apa-apa. Ia bukan Yusuf yang mampu membaca mimpi, bukan pula Rahib yang meramal kenabian Muhammad lewat tanda-tandanya. Ia hanya Jarun –yang ibu-bapaknya saling kenal karena bertetangga.

“Maksud kamu, Run?”

“Maksud saya ya, apa Kiai pernah merokok sampai jatuh sakit seperti ini? Kiai kan tahu, rokok itu dapat menyebabkan kanker, gangguan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin… Mungkin saja Kiai terserang penyakit yang rentet saya sebut itu.”

“Maksud kamu, Run?” Kiai Badrun bertanya lagi. Tidak percaya.

“Kalau bukan karena rokok, lalu karena apa? Rokok itu kan kawan malaikat maut yang paling mengerikan, Kiai.”

“Saya ndak pernah merokok, Run.”

“Kalau begitu, sekarang Kiai mungkin harus merokok.”

“Maksud kamu, Run?”

“Mungkin saja kalau sudah punya label Kiai, rokok itu jadi obat, jadi vitamin, Kiai. Rasanya jadi lebih manis dari anggur. Kiai Makmun, sudah berapa tahun umurnya? Nyaris satu abad, Kiai. Merokoknya sudah lebih dari setengah abad, tapi masih lancar mengajar dan memimpin pengajian.”

Kiai Badrun diam saja. Menatap langit-langit sampai muridnya yang paling sontoloyo itu membisiknya lagi, “Ini mungkin jadi obat, Kiai. Percayalah…”

Baru setelah itu, Kiai Badrun tertawa. Hahaha… Khas. Haha-nya yang tiga kali. Tidak ada raut kesakitan lagi di wajahnya. Jarun melirik ke pintu, khawatir suara Kiai badrun menyelinap keluar dan membuat sekawanan muridnya kaget dan ikut melongok ke kamar.

“Kok Kiai malah tertawa? Apanya yang lucu? Apa Kiai ndak paham kalau Kiai menghisap satu rokok ini saja, ada banyak petani tembakau yang rizkinya terpenuhi? Bayangkan saja kalau semua kemudian berdoa untuk Kiai supaya lekas sehat lagi. Apa Kiai juga ndak paham kalau Kiai menghisap satu rokok ini saja, pendapatan negara ikut naik dan fakir miskin jadi punya lebih banyak jatah pembangunannya? Bayangkan kalau fakir-fakir miskin itu berdoa untuk Kiai supaya lekas sembuh…”

“Jadi rokok ini bisa jadi lebih sehat dari madu? Lebih mujarab dari paracetamol?”

“Dengan izin Allah, Kiai…” Jarun mantap.

“Kalau begitu, ke mana nanti larinya malaikat maut? Yang ikut membunuh orang-orang dari nyala api di ujung bibirnya itu…”

“Ah, Kiai ini. Mana ada malaikat maut dekat dengan para pemain sepakbola yang olahraga setiap hari? Apa Kiai lupa kalau sebatang rokok yang Kiai hisap itu bisa membuat para atlet bisa terus berolahraga dan berprestasi, kompetisi sepakbola terus bergulir, bulutangkis bisa juara olimpiade, bola basket jadi kampiun satu benua, bola voli kita bersaing dengan negara maju? Apa Kiai juga lupa kalau sebatang rokok yang Kiai hisap itu sudah berhasil menyekolahkan ribuan mahasiswa cerdas karena rokok-rokok itu yang membiayai sekolahnya? Italia, Inggris, Spanyol, sudah dekat sekali dengan kita, Kiai. Lapangan bolanya sudah sedekat lapangan bola kita, Kiai. Menempel di televisi. Tontonannya sudah masuk ke negeri kita menjadi sangat dekat karena batang rokok yang Kiai hisap itu. Bayangkan betapa girangnya anak-anak muda yang jingkrak-jingkrak di konser musik, dari artis dusun sampai luar negeri, teater dan ruang seni begitu terbuka… Semua, bisa jadi karena batang rokok yang Kiai hisap itu. Dan Kiai bisa bayangkan sendiri, bandingkan saja apa yang sudah dipersembahkan sebatang rokok yang Kiai hisap itu dibandingkan zakat, infaq dan shadaqah yang setiap hari Kiai suar-suarkan lewat pengajian untuk dikeluarkan…”

Kiai Badrun diam saja. Tatapannya lurus ke muridnya yang paling sontoloyo. Baru kali ini Kiai terkesima karena Jarun bisa terus bicara tanpa berhenti dalam kalimat yang tak habis-habis. Mukanya memerah karena kehabisan napas, dan setelah itulah sang Kiai kembali tertawa. Hahaha…

Jarun membalasnya dengan tawa yang lebih keras. Lalu menyodorkan sebatang rokok dari sakunya ke depan bibir sang Kiai.

“Hisap saja, Kiai… Bahkan, anggur di tangan Kiai menjadi lebih lezat dari susu dan madu.”

Kiai mengambilnya, memasukkannya di sela-sela bibir. Menggamitnya dengan seksama, lalu berbisik saja, “Ndak usah dinyalakan apinya…”

 

Diambil dari serial “Negeri Sukun: Kiai di Sarang Kompeni”. 

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

0 Comments

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan