Sakinah Menikah

9 mins read

Tugas berat sosial bagi Muhammad ﷺ di Madinah masih menumpuk. Ia bukan saja harus melawan serangan fisik kelompok yang memusuhinya, tetapi juga kerangkeng struktur sosial yang membelenggu masyarakatnya. Kelompok keluarga – mereka menyebutnya sebagai Bani – terpecah-pecah dalam golongan dan strata yang berbeda. Mereka yang berada dalam jalur nasab terhormat merasa tak layak bersanding bersama mereka yang hidup dalam jalur kemiskinan dan perbudakan. Betapapun sepuluh tahun Islam telah hadir dan membawa angin perubahan, darah kesukuan tetap kental mengalir di dalam tubuh bangsa Arab dan belum cukup untuk membuat mereka rela melepas atribut kesukuan dan keturunannya.

Pada suatu siang, Muhammad ﷺ berjalan ke rumah Zainah bint Jahsy, sepupunya sendiri yang ia kenal baik sedari kecil. Ketika Muhammad ﷺ mengetuk pintu rumahnya, ketika itu pula dimulai dobrakan sosial baru di tengah masyarakat Madinah. Muhammad ﷺ tidak datang dengan obrolan dan basa basi, tetapi membawa serta rencana besar yang menggemparkan: ia melamar Zainab untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah – lelaki yang dulu sempat menjadi budak, dimerdekakan oleh Rasulullah ﷺ, lalu diangkatnya sebagai anak.

Zainab sontak menolak. “Aku tidak ingin menikah dengannya,” katanya. Bukan hanya Zainab yang menolak, tetapi juga kakak laki-lakinya, Abdullah bin Jahsy. Bagaimana mungkin seorang perempuan dari galur terhormat, keturunan suku Quraisy dan Bani Hasyim, harus menikah dengan seorang lelaki – yang betapapun ia telah merdeka – memiliki jejas perbudakan dalam statusnya. Bagi keluarga Zainab, langkah ini terasa tak pantas, bahkan menjadi aib di tengah masyarakat Arab yang menjunjung tinggi fanatisme kesukuan.

Tetapi, memang demikianlah strategi sosial Muhammad ﷺ untuk memutus tali kekang struktur sosial yang tidak egaliter. Jauh sebelum Eropa menjunjung tinggi equality, kesamarataan. Jauh sebelum masyarakat modern berteriak tentang keadilan akses, kesetaraan jender, dan kesamaan status. Bagi agama yang dibawa Muhammad ﷺ, tidak ada keganjilan dalam ragam suku, warna kulit, kewarganegaraan, tempat lahir, apalagi status pekerjaan dan keluarga. Yang membedakan derajat mereka di sisi Allah adalah ketakwaannya semata.

Maka, memilih Zainab dan Zaid sebagai sepasang suami-istri adalah luncur strateginya yang paling aman. Muhammad ﷺ tidak mengorbankan orang yang tak dikenalnya luar-dalam. Ia memilih Zaid – anak angkatnya sendiri – dan Zainab, sepupunya sendiri pula. Ia memilih membuat perubahan dari lingkar terdalam keluarganya sendiri, memberi contoh yang membuat mata banyak orang terbelalak dan tersadar penuh.

Membuat perubahan memang harus dimulai dari dalam diri sendiri, dari lingkar terdalam keluarga sendiri, dari sumbu terdekat kelompok sendiri, dari dalam partai sendiri, dari ruang-ruang kerja sendiri. Menyerukan perubahan kepada orang banyak tanpa mengubah apa yang ada di sekitarnya hanyalah angan-angan dan omong kosong belaka. Meminta orang lain berpindah haluan tanpa menggeser kakinya sendiri adalah retorika palsu – seberapapun baik dan hebatnya ide perubahan yang diusungnya itu.

Muhammad ﷺ kali itu membuktikan hal yang sempurna. Ia didorong oleh wahyu, di-back up penuh oleh Allah. Bahkan, ketika Zainab dan keluarganya menolak, wahyu Allah serta merta turun untuk menguatkan. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.[1] Jika Allah dan RasulNya telah membuat keputusan, tidak ada ruang untuk menentukan pilihan lain. Satu-satunya jalan adalah dengan mengikuti dan mematuhinya.

Zainab pun luluh. “Engkau rela menikahkan Zaid denganku?” tanyanya kepada Rasulullah. Setelah Rasulullah ﷺ mengafirmasi, Zainab hanya memiliki satu jawaban, “Aku rela dinikahkan dengannya.” Maka menikahlah mereka. Pernikahan yang dikenang sebagai batu pijak runtuhnya strata sosial masyarakat Arab pada masanya.

Tetapi, betapapun Zainab merasa rela dengan keputusan Muhammad ﷺ, hatinya masih juga gundah gulana. Sekali ia menatap Zaid, sepuluh kali ia berpaling wajah dari Zaid. Baginya, masih ada sisa rasa ketidakpantasan dinikahi oleh seorang mantan budak. Hatinya resah, bahkan berkali-kali disertai kemarahan. Jika Zaid datang kepadanya dengan tutur yang lembut, Zainab membalasnya dengan ketus. Masih terngiang-ngiang di kepalanya bahwa ia adalah perempuan terhormat dari suku Quraisy dan Bani Hasyim – yang dengan begitu, ia selalu tonjolkan di depan wajah Zaid berulang kali. Cukup untuk membuat Zaid terpojok, mengkerut.

Mengubah perspektif ternyata teramat berat. Apalagi bagi mereka yang pernah berada di ketinggian, lalu diminta merunduk dan menunduk, Apalagi bagi mereka yang terbiasa duduk dalam kemewahan dan kesenangan, lalu terpaksa bersila sama rata dengan mereka yang sederhana dan kesusahan.

Menikah, bagi Zainab, tak memberikannya ketenangan. Begitupun pada Zaid. Bagaimana mungkin ia merasa sakinah, tenang, tenteram, jika setiap kali masuk ke dalam pintu rumahnya sendiri hanya untuk mendengar keluh kesah dan keangkuhan istrinya yang belum juga rela menikah dengan dirinya?

Telah genap satu tahun pernikahan mereka ketika akhirnya Zaid datang ke hadapan Rasulullah ﷺ dan menyatakan ketidaksanggupannya untuk meneruskan mahligai pernikahannya. “Aku ingin bercerai darinya,” kata Zaid. Tetapi, Rasulullah ﷺ mengabaikan kehendak itu. Amsik ‘alayka wazawjaka wattaqillah, pesannya kepada Zaid. Tahanlah dirimu dan janganlah menceraikan istrimu. Tetapi, teruslah bertakwa kepada Allah. Muhammad ﷺ tengah berupaya mempertahankan perahu yang retak, juga strategi yang semula diusungnya untuk membenahi masyarakat Arab yang fanatis.

Namun, Allah kemudian datang menegur langsung Muhammad ﷺ, seolah ingin menyampaikan bahwa strategi sosial dan kehendak politik manusia tak boleh mengalahkan kehendak dan garis yang ditulis Allah. Watukhfiy fiy nafsika mallaahu mubdiihi watakhsyannaas. Jangan sembunyikan apa yang Allah akan menyatakannya. Jangan kaburkan sesuatu yang kau tahu bahwa Allah telah jelas gariskan. Jangan takut, khawatir, dan merasa rendah diri jika nanti stategi dan pilihan-pilihan manusiawimu sendiri diolok-olok oleh orang lain di kemudian hari.

Muhammad ﷺ melunak. Zaid pun akhirnya bercerai dari Zainab. Mereka yang tak menemukan rasa tenang dan ketenteraman akhirnya mesti berpisah dengan baik-baik. Ketika Muhammad ﷺ menyetujui proposal Zaid untuk bercerai, rona muka keduanya berubah gembira luar biasa. Ada bebat jiwa yang terlepas dari Zainab, ada ruang lapang pula di hati Zaid.

Pada titik ini, Muhammad ﷺ juga memberi jalan pelajaran baru dalam pernikahan. Pasangan itu diciptakan, kata Allah, litaskunuu ilayhaa.[2] Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Supaya mengalir dalam dirimu rasa tenang. Supaya tumbuh dalam dirimu dan pasanganmu rasa cinta kasih dan kasih sayang yang saling berbalas. Bukan ketidakrelaan satu sama lain, bukan keterpaksaan satu dengan yang lain, bukan rasa jengah saat yang satu melihat yang lain.

Pada titik itu pula, ada jalur hikmah lain yang menetes padanya. Gelombang pasang surut rumah tangga selalu muncul seperti ombak di laut. Tenangnya adalah kedalaman rasa antara kedua pasangan. Riaknya adalah kedangkalan dan ketidaksamarataan. Cinta sebesar apapun selalu memiliki ancamannya tersendiri dari perbedaan status antara kedua pasangan, antara kedua keluarga, antara kedua suku, antara kedua garis keturunan, antara kedua derajat keduniawian. Se-kufu, sederajat, keseimbangan status, memang bukan syarat mutlak pilihan pernikahan, tetapi setidaknya mereduksi potensi buruk agar gelombang pasang tak berubah menjadi pusaran badai yang melumat bahtera pernikahan.

Menikah itu jalan sakinah.

Ahmad Fuady

Rotterdam 1441

[1] QS Al Ahzab: 36

[2] Lihat QS Ar Rum: 21.

 

Gambar fitur diambil dari: https://www.wajibbaca.com/2018/07/syarat-nikah.html

Ahmad Fuady

Bermula dari sebuah blog kecil bernama farranasir.multiply.com yang kini telah almarhum, situs ini kemudian menjadi ladang menabur apa saja yang berkecamuk di dalam kepala saya. Itu saja.

Jejak saya yang lain dapat saja Anda temukan di mana saja, baik atas nama saya atau sudah diaku-aku oleh orang lain di halaman mereka. Tidak apalah. Yang otentik itu bukankah hanya Tuhan?

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

Latest from Blog

Kelas Standar JKN Setengah Hati

Kita menghadapi masyarakat yang tersegregasi. Sebagian—juga karena keterpaksaan—dapat menerima jika mereka harus antre berjam-jam sejak subuh

Populisme Vaksin

Vaksin Nusantara terus melenggang meski diterpa banyak penolakan. Bahkan, Terawan Agus Putranto dengan sangat demonstratif memeragakan